Ekspedisi pelayaran Belanda diawali oleh misi untuk menghapus monopoli rempah Portugis di Maluku. Di dalam negerinya dipersiapkan perusahaan penerima produk asing yang disebut Compagnie van Verre. Dalam kurun waktu 1592 hingga 1598 terdapat belasan ekspedisi pelayaran yang dikirimkan dalam pencarian Nusantara.
Masuk tahun tahun 1592, Cornelis de Houtman dikirim oleh para pedagang Amsterdam ke Lisbon untuk menemukan sebanyak mungkin informasi mengenai “Kepulauan Rempah-rempah”. Pada saat de Houtman kembali ke Amsterdam, Jan Huygen van Linschoten juga kembali dari India. Para pedagang tersebut kemudian memastikan bahwa Banten merupakan tempat yang paling tepat untuk membeli rempah-rempah. Maka, di tahun 1594 segera didirikan Compagnie van Verre.
Pada tahun 1595, Jan Huygen van Linschoten menulis buku “Itinerario”, yang berisikan tentang potensi perdagangan dengan Nusantara (Oost Indies), dan juga menjadi inspirasi pengiriman Cornellis De Houtman dari Belanda ke Nusantara.
Perjalanan yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini sejak awal sudah dipenuhi berbagai macam persoalan. Akibat kurangnya makanan, penyakit sariawan merebak hanya beberapa minggu setelah pelayaran dimulai. Selain itu, pertengkaran di antara para kapten kapal dan para pedagang menyebabkan beberapa orang terbunuh atau harus dipenjara dalam kapal.
Di Madagaskar, misalnya, dimana direncanakan sebuah perhentian sesaat, muncul pula masalah yang menyebabkan kematian. Akibatnya, selama enam bulan kapal-kapal dibawah pimpinan de Houtman itu mesti bertahan di Madagaskar. Di Teluk di Madagaskar tempat mereka berhenti kini dikenal sebagai “Kuburan Belanda”.
Pada 2 April 1595, empat kapal meninggalkan pelabuhan di kota Amsterdam, yaitu Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken. Armada ini berada dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Mereka pertama kalinya tiba di Nusantara dan bersandar di Pelabuhan Banten pada tanggal 22 Juni 1596. De Houtman sempat terkesima ketika melihat adanya koloni (pemukiman) Tionghoa yang memiliki hubungan harmonis dengan penduduk dan penguasa setempat.
Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok-tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan luasnya sebesar kota Amsterdam di tahun 1480 M, dan orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai (kanal). Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk. Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan pertukaran mata uang sudah dikenal.
Akan tetapi, kedatangan de Houtman tidak membawa hasil yang baik. Karena prilakunya, de Houtman dan yang lainnya ditangkap. Setelah membayar uang pembebasan dan juga sejumlah lada yang pantas, mereka pun diusir oleh pemerintah Banten. Mereka digiring keluar dengan tembakan meriam dari benteng kota Banten.
Selanjutnya de Houtman berusaha meneruskan ekspedisi pelayarannya dengan menyusuri sepanjang pantai utara Jawa. Dan, ekspedisi Belanda ini lagi-lagi mendatangkan masalah di Sedayu dan Madura.
Di masa pemerintahan Pangeran Tengah, pada awal Desember 1596, di Arosbaya (Madura) terjadi peristiwa berdarah. Saat itu dua orang utusan Arosbaya tewas oleh Belanda, yaitu Patih Arosbaya yang bernama Kiai Ronggo dan Penghulu Arosbaya yang bernama Pangeran Musarip. Maka beberapa awak kapal Belanda pun ditangkap dan ditahan hingga de Houtman bersedia membayarkan denda untuk melepaskannya. Dari Madura, armada kapal pimpinan De Houtman itu terus melanjutkan pelayarannya ke Bali.
Seorang Guru Besar dari Univeritas Leiden, Bernard H.M. Vlekke, menyimpulkan bahwa orang Belanda yang pertama-tama datang ke Indonesia telah menemui kesulitan besar dalam mengadakan hubungan dengan Raja-raja di Indonesia karena mereka kasar, tidak sopan dan terburu-buru, dan kesalahan terbesar harus dipikulkan kepada Cornelis de Houtman.
Setelah pelayaran selama 2 tahun 4 bulan, dari 249 orang yang ikut dalam perjalanan tersebut hanya 87 orang saja yang hidup kembali ke negeri Belanda, ditambah 2 orang lagi yang ikut kembali setelah pelayaran berikutnya.
Pada ekspedisi pertama ini, 2 orang anak buah Cornelis de Houtman tinggal di pulau Bali dan dijemput kembali pada saat kapal Belanda berikutnya singgah di sana.
Kapal-kapal dagang milik Compagnie van Verre di bawah komando Cornelis de Houtman dan Gerrit van Beuningen yang dikirim ke Hindia-Timur memiliki tujuan utama mengakhiri monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku yang pada waktu itu berada di tangan Portugis. Namun, armada itu tidak pernah sampai di Maluku meskipun telah dibekali dengan perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan untuk sebuah ekspedisi maritim.
Pelayaran pertama ke Hindia-Timur yang dilakukan oleh Compagnie van Verre itupun harus dibayar mahal. Dari empat kapal yang meninggalkan Amsterdam pada 1 April 1595 itu, hanya tiga yang berhasil pulang setelah menempuh pelayaran selama tiga tahun. Dari 247 awak kapal hanya 87 orang yang berhasil selamat dalam perjalanan pulang. Lebih dari itu, kompeni tidak memperoleh keuntungan apa pun.
Akan tetapi, kegagalan tersebut sama sekali tidak memundurkan tekad bertualang yang waktu itu menjadi obsesi banyak orang di negeri Belanda. Kegagalan yang dialami Compagnie van Verre justru menjadi tantangan bagi berbagai pihak untuk melakukan ekspedisi serupa. Berbagai pelabuhan di beberapa provinsi Belanda pun meluncurkan armada-armadanya menuju Hindia-Timur. Pada tahun 1598, salah satu armada di bawah Jacob van Neck dan Wybrand van Warwijck berhasil mencapai pulau rempah-rempah dan kembali ke Belanda dengan muatan yang sangat berharga.
Cornelis de Houtman sendiri tewas dalam duel pertempuran di Aceh dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599. (*)