Megahnya singgasana Ratu Aceh diceritakan delegasi Belanda usai dijamu sang Ratu. Tahta itu ditaksir 40 bahar emas bertatah berlian dan intan senilai 30 kali 100.000 gulden Belanda. Delegasi Belanda datang untuk meminta hak perdagangan timah, kala itu komoditas hanya bisa dibeli oleh India Islam dari Aceh. Sultanah tidak memberi restu akibat perilaku Belanda yang buruk di Perak.
Di tahun 1644, Belanda mengirimkan satu perangkatan delegasi ke Aceh yang diketuai oleh komisaris tinggi Arnold de Vamingh van Outshoorn. Turut pula bersamanya Jan Harmansz, opperkoopman (kepala jawatan Perdagangan), dengan maksud jika persetujuan bisa tercapai maka Jan akan tinggal menjadi wakil Belanda di Aceh.
Di Aceh, utusan Belanda disambut dengan upacara kebesaran. Komisaris Belanda Vlamingh mencatat kesan-kasan yang dialaminya sendiri ketika diterima audiensi oleh Sultanah Tajal-Alam.
Ia disambut keloji Belanda, tempat ia menginap. Diceritakan bahwa penyambutan dilakukan oleh tiga orang besar, Orang Kaya Bintara Raja, Setia Wangsa dan Saudagar Raja. Selain itu ada pula dua orang Syahbandar yang bertugas membawanya ke tempat resepsi yang sengaja diadakan buat kehormatannya. Surat Gubernur Jendral van Dieman yang dibawanva, turut diarak di depan, diletakkan di atas sebuah cerana perak, di dalam coupe di atas seekor gajah khas untuk membawa surat itu. Rombongan diiring pengawal kerajaan dan diberi pandu oleh orang-orang besar. Ketika tiba di pintu gerbang, rombongan berhenti menunggu izin masuk ke Dalam (kraton).
Sesudah menunggu setengah jam, lalu diterima jawaban mempersilakan rombongan masuk setelah lebih dahulu diatur upacara sembahyang yang harus dilakukan oleh rombongan tamu dengan tersusun menurut tata tertibnya.
Serentak rombongan duduk bersimpuh, menyusun jarinya di lutut. Sesudah bersama-sama mengangkat kedua tangan ke keningnya masing-masing sambil bersembah itu, mereka pun menyerukan “dirgahayu daulat Tuanku!”
Kemudian dibawa ke balai penghadapan, dimana para tamu kalangan atas telah sedia menunggu. Diantaranya terdapat para orang besar, wakil dagang negeri asing, saudagar, nakhoda, dan kaum bangsawan lainnya. Salah satu cara pertunjukan adalah adu gajah sejumlah 60 ekor banyaknya. Sementara melihat pertunjukan, para tamu mendapat suguhan minuman serbat berbahan gula tebu, dan beberapa makanan kacil dari sayur.
Tamu diberi persalin pakaian Aceh. Kemudian para tamu berangkat ke taman dimana terdapat pula semacam balai penghadapan tempat Sultanah. Di sana diadakan jamuan makan. Tamu Komisaris setara dengan Laksamana serta orang besar lainnya, mereka sama-sama makan berpiring mangkok terbuat dari emas, dan untuk golongan di bawah mereka menggunakan suasa dan perak. Sedangkan golongan yang di bawahnya lagi menggunakan perangkat makan dari tembaga.
Mengenai penghadapan ini penulis P.A. Leupe mengutip kesan-kesan dari seorang Komisaris Belanda yang pernah berkunjung lima tahun sebelum itu, yakni penggambaran tentang kehebatan singgasana Aceh. Ia mengatakan bahwa Komisaris itu terkejut melihat hiasan-hiasan di singgasana Ratu, seperti melihat matahari silaunya. Tahta itu saja ditaksir berharga 40 bahar emas bertatah berlian dan intan yang harganya kata Sultanah 30 kali 100.000 gulden Belanda. Dan, Vlamingh juga bercerita kehebatan singgasana tersebut.
Mengenai soal kenegaraan, Vlamingh menceritakan bahwa Belanda terpaksa bertindak “tegas” di Perak, katanya, untuk menghindari kerugiannya. Tetapi Sultanah sama sekali tidak dapat dipengaruhi oleh Vlamingh. Boleh dikatakan, bahwa Belanda ketika itu pulang dengan tangan hampa karena yang dituju tidak tercapai.
Tajal-Alam sama sekali tidak mau mendesak Perak supaya mau memberinya monopoli timah. Mengenai hal ini Winstedt di dalam “Early Rulers of Perak, Pahang and Acheh”, mengatakan antara lain: “Aceh would not lift a finger to persuade Perak to give the dutch a monopoly”.
Dan, Windstedt melanjutkan pula (di tahun berikutnya): “In 1645 an agreement was made between the dutch and Aceh but in spite of it Moors from India enjoyed the tin trade with Aceh and the Malay Peninsula, and the Company get only “fair words and friendly faces”.
Demikian pula dikatakan Brian Harrison (B. Harrison, South-East Asia, A Short History) yang mengutip salah satu kesan-kesan Belanda masa itu: “The Moors (i.e. Indian Moslems) snap up all the tin in Perak under our very noses, and stuff the country full with their piece goods” (orang-orang India Islam seenaknya bisa beli timah-timah itu di Perak dan lewat begitu saja di depan pangkal hidung kita). (*)