Belanda lah yang mengajari orang Indonesia buang limbah rumah tangga ke sungai. Ini menjadi masalah tata ruang kota yang tidak sehat, terlebih, itu melingkupi kantor utama pemerintahan Belanda (sekarang Kota Tua) sehingga istana dipindahkan ke wilayah Gambir. Catatan mengenai Batavia masih terarsip baik mengungkap Tinja sumber masalah ibu kota.
Sebuah keadaan tergambar pada beberapa sumber lama, yaitu dalam tulisan Seyger van Rechteren, Johan Neuhoff, dan Babad Diponegoro. Dituturkan di situ, kalau kotoran manusia pernah menghindarkan Batavia dari ambang kehancuran. Rechteren yang bekerja sebagai krankbezoeker atau petugas penghibur orang sakit menyampaikan bahwa pada penghujung September 1629, serangan Mataram telah membuat panik orang-orang Batavia.
Di tengah situasi darurat itu, seorang sersan bernama Hans Madelijn menerapkan ide gila sebagai salah satu cara mempertahankan benteng kota, yakni menyiramkan tinja ke arah pasukan Mataram yang berupaya memanjat tembok benteng. Agaknya, peristiwa itu amat membekas dalam ingatan orang Jawa.
Thomas Stamford Raffles, dalam karyanya yang terkenal, History of Java, juga menceritakan kejadian yang sama, bahwa pasukan Belanda di Benteng Maagdelijn sudah kehabisan peluru, mereka lantas menggunakan batu dan benda-benda lain sebagai isi meriam. Dan, Raffles menulis, “...even this resource failed; and as a last expedient, bags of the filthiest ordure were fired upon the Javans whence the fort has ever since borne the name of Kota Tai... [Jilid II, 1817, hlm 154).
Di dalam Historical Sites of Jakarta, Adolf Heuken juga kedapatan menyitir sebuah kisah berbahasa Jerman yang diambil dari tulisan Johan Neuhoff, berjudul Die Gesentshaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Nederlandern an den Tatarischen Cham, yang diterjemahkan dari naskah Belanda 1666. Tulisan itu menceritakan sebuah batalion VOC yang nyaris hancur lebur oleh serangan bergelombang para prajurit Mataram. Di tengah krisis makanan, ketiadaan amunisi, serta runtuhnya semangat bertempur para pasukan, tiba-tiba seorang tentara bayaran asal Pfalz, Jerman, yang bernama Sersan Hans Madelijn memerintahkan pasukannya menyiramkan tinja ke tentara Mataram yang sedang berusaha memanjat tembok benteng.
Hendi Jo, mngutip di dalam bukunya yang berjudul Zaman Perang, menyebutkan bahwa demi mendapat serangan aneh dan menjijikkan itu, para prajurit Mataram pun berloncatan lari lintang pukang. Sambil menutupi hidungnya, mereka menghindari Benteng Selatan seraya menggerutu, “O seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay”. Maksudnya adalah, “Oh setan, orang Belanda dia berkelahi pakai tahi. Menurut Adolf Heuken, ini mungkin kata-kata Melayu pertama yang pernah tercatat dalam buku Jerman.
Akibat dari peristiwa itu, daerah di sekitar Benteng Hollandia yang aslinya bernama Buiten-Kaaimansstraar kemudian lebih dikenal sebagai Kota Tahi. Sebutan ini mengandung konotasi positif dalam urusan taktis pertempuran, tetapi negatif dalam sudut kesehatan.
Di awal kedatangannya ke Nusantara orang Belanda memang belum mengenal jamban. Untuk urusan buang ampas, di dalam rumah disediakan tong berisi air dan kursi yang dilubangi di bagian tengahnya sebagai tempat masuk dan penampung tinja.
Tinja itu harus menunggu lewat dari pukul 21.00 untuk boleh dibuang ke sungai. Keharusan ini ditegaskan melalui peraturan negenuursbloemen yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda pada 1630. Kata "negenuursbloemen" secara harfiah berarti bunga-bunga yang mekar pukul sembilan malam. Demikian eufimisme ala Batavia, mengistilahkan bertong-tong tinja sebagai mekar-mekar bunga yang membawa aroma baunya setiap malam di sepanjang sungai atau kanal di dalam kota. Barangsiapa membuang di luar waktu yang telah ditentukan itu maka akan dikenai denda.
Selain itu, penggunaan sungai sebagai tempat penumpahan limbah di Batavia tergambarkan juga dengan jelas oleh tulisan Frieda Arman dalam Batavia: Kisah Kapten Rogers dan Dokter Strehler. Di buku itu diuraikan bahwa Kanal Molenvilet yang menjadi bagian dari Sungai Ciliwung ramai oleh petani, penjual rumput, penjual mentega, penjual susu, hingga penjual buah-buahan.
Pada pagi hari kanal dipenuhi ratusan lelaki, perempuan, anak-anak, kerbau, kuda, sapi, kambing, dan babi. Ratusan manusia dan binatang bersama-sama mandi, berendam, dan mencuci pakaian. Mereka melaksanakan kegiatan tersebut sebagai bagian dari rutinitas keseharian yang biasa.
Akibat dari kebiasaan dan juga peraturan soal membuang limbah di Batavia, sungai-sungai dalam kota pun tercemar serta berbau busuk. Syahdan, ketika kesehatan Kota Batavia mulai terancam secara serius, pada tahun 1732, di masa Gubernur Jenderal Diederik Durven, diperintahkanlah pembangunan proyek air bersih di Sungai Mookervart (kini wilayah Kali Deres).
Namun, akibat dari terlanjur buruknya kesadaran dan keadaan sanitasi, terutama soal pengelolaan tinja, banyak kuli tewas terserang penyakit dalam pengerjaan proyek Mookervart. Dan, memasuki era selanjutnya, wabah penyakit akibat sanitasi yang buruk makin kerap dijumpai di Batavia.
Selain tinja, buruknya sanitasi di Batavia diperparah pula oleh pembukaan kebun-kebun tebu dan pabrik gula di sekitar Batavia. Limbah olahan kebun dan pabrik yang langsung digelontorkan ke sungai membuahkan bau yang semakin busuk di Batavia terlebih saat musim kemarau.
Awalnya, VOC membangun Batavia dengan mengambil model Amsterdam, kota indah dengan banyak kanal untuk memudahkan transportasi. Namun, akhirnya kanal-kanal itu jadi sangat jelek akibat bermacam limbah yang ditumpahkan oleh warganya sendiri ke situ. Dan, ketika keadaan sudah tidak bisa diatasi akibat lingkungan yang tidak nyaman lagi dihuni serta merebaknya berbagai penyakit seperti malaria dan kolera, kota lama Batavia pun pindah ke daerah Gambir.
Langkah perpindahan kota dipelopori oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff sejak dirinya mulai dilantik tahun 1743. Van Imhoff tidak mau tinggal di kota dalam tembok benteng yang tidak sehat. Langkahnya itu kemudian diikuti oleh pembesar-pembesar dan orang kaya Batavia. Secara berangsur-angsur, hingga akhir abad 18, pusat pemerintahan pun secara keseluruhan telah berpindah ke Weltevreden (di daerah Gambir sekarang). Batavia yang dulu perkasa di tengah kepungan Mataram, ternyata lunglai tidak berdaya menghadapi luapan tinjanya sendiri. Daerah baru bernama Weltevrede, yang berarti dalam suasana tenang dan puas. Titik pusat ibu kota baru ini kemudian menjadi daerah tempat tinggal utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia, berjarak kurang lebih 10 kilometer dari Batavia lama ke arah selatan.
Gambir yang kini menjadi sentral ibu kota harus segera berbenah karena menghadapi masalah tinja. Oh, apakah ini tinja warisan sejarah atau luapan karena berjejalan dengan air hujan yang dipaksa masuk ke dalam tanah? (*)