Babak ini mengulas Diponegoro yang hidup selama terjadinya perubahan dari tatanan lama Jawa abad ke-18, yakni ke masa puncak hegemoni kolonial atas Jawa. Spirit perjuangan yang telah diramalkan oleh Sultan Agung.
Ketika kecil, Pangeran Diponegoro diperkenalkan ibundanya, Raden Ayu Mangkorowati, kepada Sultan Mangkubumi (Hamengku Buwono I). Saat itu raja yang telah sepuh meramalkan cucunya akan mendatangkan kehancuran lebih hebat buat Belanda ketimbang dirinya selama Perang Giyanti (1746-1755). Raden Mas Surojo, ayah Diponegoro, kelak menjadi Sultan Yogya bergelar Hamengkubuwono III.
Ramalan itu disebut juga tak berdiri sendiri. Kepada Mangkorowati, Mangkubumi juga menyampaikan ramalan Sultan Agung. Menurut Sultan Agung, setelah wafatnya, Belanda memerintah Jawa selama 300 tahun dan meski seorang di antara keturunan raja Mataram akan bangkit melawan, akhirnya ia akan dikalahkan.
“Tampaknya hampir pasti bahwa Diponegoro menganggap dirinyalah yang dimaksud oleh (Sultan) Agung sebagai keturunan itu,” tulis Peter Carey.
Berbagai penampakan yang kemudian terjadi pada dirinya selama ziarah ke pantai selatan memberi wawasan bagaimana dia memahami kedudukannya dalam takdir kerohanian Jawa.
Perang Jawa meletus pada 1825. Adegan perang bermula dari pematokan jalan oleh Belanda ketika akan membuat jalan raya yang melintas di sebelah timur Tegalrejo. Pematokan itu meresahkan masyarakat. Diponegoro, sebagai ‘penguasa’ di daerah tersebut, tak pernah mendapat pemberitahuan dan baginya ini adalah pelanggaran berat tatakrama. Bentrok pun terjadi antara orang-orang Diponegoro dengan pekerja jalan, yang akhirnya meluas sehingga pecah perang besar selama lima tahun.
Ending-nya, kita tahu. Pada 28 Maret 1830, setelah melewati serangkaian pertempuran sengit dan negosiasi yang alot, Diponegoro ditangkap di Magelang. Setelah ditahan berpindah-pindah, dia wafat pada Januari 1855 di tempat pembuangan terakhirnya di Makassar.
Bagi Peter Carey, perjuangan Diponegoro dalam Perang Jawa adalah sebuah sikap keteguhan membela kebudayaan Jawa. Budaya Eropa yang melanda Jawa, dari pakaian hingga bahasa, mendorong Diponegoro untuk angkat senjata. Peristiwa pematokan jalan hanyalah pemantik.
Di sisi lain, Diponegoro menyaksikan penderitaan masyarakat Jawa. Masalah kesehatan, lingkungan yang buruk, dan lonjakan harga beras memicu perlawanan rakyat.
Untuk membela rakyat, Diponegoro tak segan melepas sepatu buat dipakainya menempeleng Patih Danurejo. Ia murka pada pejabat itu, yang menggerakan pemerintahan tapi malah mengambil keuntungan di atas kesusahan kawula alit.
Peter Carey, profesor emeritus Sejarah Modern di Trinity College, Oxford, Inggris, menganggap Pangeran Diponegoro sebagai sosok unik. Itulah yang membuatnya rela menghabiskan waktu hingga 30 tahun untuk menulis biografi Diponegoro.
Dalam bukunya, Peter Carey memasukkan unsur-unsur ramalan dan mitos ‘yang menaungi alam pemikiran orang Jawa pada umumnya’ tanpa maksud menjadikannya alat untuk membuat Diponegoro jadi sosok heroik. Carey juga menggunakan babad dan arsip-arsip kolonial Belanda dan Inggris sebagai tulang punggung penulisan, sehingga ketekunannya itu membuahkan riwayat yang sulit ditandingi tentang Diponegoro.
Diponegoro lahir di Keraton Yogyakarta pada fajar 11 November 1785 dengan nama kecil Bendoro Raden Mas Mustahar. Dia dikenal punya bacaan luas, cerdas, dan ahli dalam perkara hukum Islam-Jawa. Dia pemeluk Islam yang taat sekaligus penganut kebatinan. Namun, Diponegoro juga sosok manusiawi. Seperti diakuinya sendiri, semasa muda dia ‘sering tergoda oleh perempuan’. Dan selama Perang Jawa, salah satu kekalahan terbesarnya (Gawok, 15 Oktober 1826) terjadi akibat penyelewengannya dengan tukang pijat, seorang gadis Tionghoa.
Diponegoro sendiri hidup selama terjadinya perubahan dari tatanan lama Jawa abad ke-18, yakni ke masa puncak hegemoni kolonial atas Jawa. Pangeran Diponegoro tak berhasil mencapai tujuannya untuk memulihkan kebesaran Islam dan kebudayaan Jawa. Dan, dengan berakhirnya Perang Jawa, terbuka jalan bagi Gubernur Jenderal Van den Bosch untuk menerapkan sistem tanam paksa yang menyelamatkan negeri Belanda tapi menimbulkan malapetaka bagi rakyat Jawa. (*)