SidebarKanan
Politik

Kemasukan Politik, Pemberantasan Korupsi KPK Tak Membaik

Kuatbaca

17 May 2023 10:06

Test

Kisah Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Muhammad Romahurmuziy (Rommy) mengindikasikan KPK berpolitik. Indikasi lain tergambar dari kinerja KPK dalam spirit pemulihan atau penyelamatan uang negara atas tindakan praktik korupsi, yang masih tak mampu menyamai kinerja Kejaksaan Agung dan Polri. Perubahan status kelembagaan KPK melalui Revisi UU KPK, Tes Wawasan Kebangsaan (TWS), hingga pengembalian dua pegawai KPK pada posisi strategis ke Polri membuat suara-suara masyarakat mengemuka, bahwa sudah saatnya KPK dibubarkan.

 

Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Muhammad Romahurmuziy (Rommy), menceritakan dengan detail kisahnya ketika ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam podcast Total Politik edisi 2 Mei 2023. Ia mengungkapkan keganjalan-keganjalan, yang mengantarkan pada pemikiran bahwa ini bukanlah murni kasus pidana, melainkan ada unsur politik dalam penangkapan tersebut.

 

“Bayangkan seorang ketua umum partai dijuduli OTT untuk rupiah yang hanya Rp50 juta. Buat saya itu sangat tidak masuk akal. Nggak ada cerita ketua umum partai politik ditahan satu bulan sebelum pemilu, kecuali itu tindakan politik dengan menggunakan baju hukum,” kata Rommy.

 

Pernyataan Rommy tersebut secara kualitatif menggambarkan kondisi pemberantasan korupsi saat ini, yang masih belum mengalami perbaikan. Meski KPK telah memaparkan peningkatan jumlah OTT dan jumlah tersangka kasus korupsi, hal tersebut justru memperlihatkan bahwa kasus korupsi di Indonesia masih tinggi.

 

Jika dilihat dari spirit pemulihan atau penyelamatan uang negara atas tindakan praktik korupsi, lima tahun kerja KPK belum mampu menyamai angka pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Polri maupun Kejagung.


Diolah dari berbagai sumber

 


Pengembalian Aset Tindakan Pidana Korupsi ke Negara oleh KPK (Rp Miliar)


Diolah dari berbagai sumber

 

Permintaan masyarakat untuk membubarkan KPK bermunculan dan hal tersebut bukanlah bukanlah hal baru. Suara-suara masyarakat untuk membubarkan KPK muncul seiringan dengan berberapa isu miring terkait KPK. Salah satu adalah Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

 

Revisi tersebut menjadi titik kritis tuntutan pembubaran KPK, karena dengan mengubah status KPK menjadi lembaga negara, posisi independen KPK dipertanyakan. Sistem yang selama ini dibangun tercerabut, KPK pun menjadi rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.

 

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan momen revisi UU KPK tersebut merupakan langkah awal keinginan untuk membubarkan KPK.

 

"Bahkan, bukan hanya pelemahan, tetapi juga seperti langkah awal membubarkan KPK oleh orang-orang yang dikumpulkan partai yang khawatir terjerat KPK," ujar Abdul Fickar.

 

Implikasi dari perubahan status menjadi lembaga negara menjalar ke para pegawai KPK. Status mereka diubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan itu berarti harus dilakukan Tes Wawasan Kebangsaan kepada pegawai-pegawai lama mereka.

 

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK kemudian menjadi kontroversi tersendiri. Pegawai yang tidak lulus TWK dipecat, mengesankan pimpinan KPK sedang melakukan politik praktis di dalam organisasi untuk menyingkirkan pegawai-pegawai komisi yang tidak sesuai dengan visi pimpinannya.

 

TWK tersebut menambah kekhawatiran akan adanya tindakan yang dapat merusak integritas dan independensi lembaga tersebut. Seperti yang disampaikan Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar.

 

“Kalau semua sudah diratakan menjadi ASN, sederhananya, enggak ada lagi penyidik independen. Makanya saya berani membangun narasi bubarkan saja KPK yang sekarang dan lebih baik membangun KPK yang baru,” kata Zainal.

 

Pendepakan orang-orang di dalam organisasi KPK tak berhenti sampai pada masalah TWK saja. Polemik berlanjut seiring dengan tidak diperpanjangnya masa tugas Direktur Penyelidikan (Dirlidik) KPK, Brigjen Pol Endar Priantoro. Pendepakan Endar didasarkan pada surat Nomor 152/KP.07.00/50/03/2023 yang diterbitkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK, Cahya H. Harefa pada 31 Maret 2023. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengklaim, pemberhentian Endar murni karena persoalan masa tugas yang habis, dikembalikan ke kepolisian untuk mendapatkan pembinaan karir.



Perlu dicermati bahwa Brigjen Endar dan juga Irjen Karyoto yang menjadi pejabat KPK yang berbeda pandangan mengenai penanganan Formula E. Irjen Karyoto sebelumnya menjabat sebagai Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK. Ia dikembalikan ke kepolisian setelah tiga tahun menjabat di KPK, kemudian oleh di Polri menduduki jabatan sebagai Kapolda Metro Jaya. Namun, Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo keberatan apabila Brigjen Endra juga dipulangkan bersamaan dengan Irjen Karyoto.

 

"Kalau dua orang pada posisi strategis di KPK secara bersamaan kita tarik, tentunya justru melemahkan KPK," kata Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo.

 

Serangkaian peristiwa tersebut berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat. Laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menempatkan KPK pada peringkat keenam sebagai Lembaga yang paling dipercaya masyarakat dengan total torehan proporsi sebesar 64 persen, di bawah Kejaksaan Agung yang mencapai porprosi sebesar 69 persen.

 

Pembubaran Lembaga anti-korupsi bukanlah pula hal yang aneh. Brazil yang memiliki nilai indeks persepsi korupsi (IPK) yang sama dengan Indonesia membubarkan Lembaga anti-korupsinya. Unit anti-korupsi yang dikenal dengan nama 'Car Wash' itu akhirnya resmi ditutup karena kinerjanya dianggap menurun saat menyelidiki kasus dugaan korupsi Presiden Brasil saat itu, Jair Bolsonaro.

 

Selain Brazil, ada juga beberapa negara dengan IPK di bawah Indonesia, seperti Zambia, Nigeria, Guatemala, hingga Honduras yang juga membubarkan Lembaga anti-korupsinya. Negara-negara tersebut kehilangan urgensi untuk mempertahankan lembaga anti-korupsi karena keberadaannya berubah menjadi alat kepentingan politik yang mengganggu stabilitas sosial-ekonomi.

 

Perlu dicermati pula fakta bahwa beberapa negara yang tidak memiliki lembaga anti-korupsi tertentu berhasil mencapai tingkat kebebasan dari korupsi yang tinggi. Denmark dan Finlandia, merupakan dua negara dengan nilai IPK tertinggi di dunia saat ini. Kedua negara tersebut tidak memiliki lembaga anti-korupsi, namun lembaga pemerintah bertanggung jawab dalam pencegahan korupsi dan memiliki unit kontrol pengawasan anti-korupsi.

 

Terkhusus Denmark, negara tersebut memiliki kultur transparansi di setiap sektor publik, partai politik, maupun swasta. Sedangkan di Finlandia, pengawasan anti-korupsi tak hanya menjadi pekerjaan eksekutif, tapi legislatif, yudisial, dan administratif turut mengawasi dan menjaga penyalahgunaan kekuasaan di internal eksekutif.

 

Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan sebuah lembaga anti-korupsi tidak menjamin sebuah negara memiliki nilai IPK yang tinggi. Keberadaan lembaga anti-korupsi juga bukanlah satu-satunya jalan untuk melawan korupsi, pendekatan yang berbeda dalam memberantas korupsi juga memiliki tingkat keberhasilan dalam konteks tertentu.

 

Pengaitan KPK dengan isu-isu politik, menurut Ahli Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, merupakan tanda bahwa Marwah KPK sedang mengalami penurunan. Dan jika memang KPK berpolitik, maka sudah saatnya KPK dibubarkan.

 

“Kalau jadi alat politik kekuasaan dan bukan sebagai lembaga anti KKN sesuai Amanat Reformasi, sebaiknya KPK dibubarkan,” kata Direktur Gerakan Perubahan dan Koordinator Indonesia Bersatu, Muslim Arbi.

 

Demi efektifnya penanganan tindak pidana korupsi, lembaga anti-korupsi harusnya tetap bersifat independen dan efektif, agar pembangunan bisa bersih dan berintegritas. Namun lebih daripada independen, diperlukan juga kesadaran dan kemauan politik serta dukungan masyarakat yang masif untuk menciptakan ekosistem politik dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Maka dari itu, negara harus mempertimbangkan suara yang menuntut pembubaran KPK. (*)

Jurnalis : Gery Gugustomo

Editor : Jajang Yanuar

Illustrator : Rahma Monika

Infografis : Rahma Monika


Komentar

Pencarian tidak ditemukan

Belum ada komentar

SidebarKanan
Kuatbaca.com

Informasi


Tentang Kami

Pedoman Media Siber

Susunan Redaksi

2023 © KuatBaca.com. Hak Cipta Dilindungi