top ads
Home / Telik / Politik / Dua Kaki Media Turki Sikapi Tewasnya Shireen Abu Akleh

Politik

  • 802

Dua Kaki Media Turki Sikapi Tewasnya Shireen Abu Akleh

  • June 08, 2022
Dua Kaki Media Turki Sikapi Tewasnya Shireen Abu Akleh

Tertembaknya Shireen Abu Akleh oleh militer Israel menyisakan pertanyaan besar tentang framing media tentang seteru pro Israel lawan pro Palestina. Media Barat cenderung mengaburkan peran Israel, sementara itu kubu media dari negara Muslim cenderung pro Palestina. Di sisi lain, ada satu kubu yang berhubungan baik dengan kedua negara berkonflik tersebut, yakni Turki. Gelagat main dua kaki dalam menentukan sudut pandang pemberitaan perlu dilakukan oleh Turki mengingat negara ini berambisi menjadi mediator perdamaian antara Israel dan Palestina.

 

Tepi Barat Palestina, kota Jenin menyimpan sejarah panjang perjuangan rakyat Palestina. Bagi mereka, kota berpenduduk 40.000 orang ini sudah menjadi simbol perlawanan. Semenjak perang 6 hari antara Israel dan tiga negara Arab (Mesir, Suriah, dan Yordania) tahun 1967, Jenin menjadi wilayah pendudukan Israel. Hari, bulan, dan tahun-tahun selanjutnya adalah kisah perjuangan yang syarat akan pertumpahan darah.

 

Pada 11 Mei 2022, Shireen Abu Akleh, Al Samoudi, bersama 2 rekan tim Al Jazeera seperti biasa ditugaskan meliput daerah operasi militer Israel di kamp pengungsian Jenin, Tepi Barat, Palestina. Shireen dan rekan-rekannya sudah melengkapi diri dengan rompi bertuliskan “press” dan helm di kepala. Sebagai jurnalis, mereka berusaha terlihat oleh pasukan militer Israel agar tidak menjadi target sasaran. Sebelum bertugas, Shireen sempat mengirimkan surat elektronik ke kantor Al Jazeera pada pukul 6.13 pagi waktu setempat. Ia menulis, “Pasukan Israel menyerbu Jenin dan mengepung sebuah rumah di lingkungan Jabriyat. Dalam perjalanan ke sana, saya akan membawakan anda berita sesaat setelah gambarnya menjadi jelas,” dikutip dari Al Jazeera.

 

Petaka terjadi, sebagaimana yang diceritakan Al Samoudi kepada Anadolu Agency, saat tembakan pertama dilepaskan oleh tentara Israel ke arah mereka. Tembakan ini tak mengena siapapun. Tak lama, tembakan kedua melukai bahu Al Samoudi. Shiren sontak berteriak, “Ali terluka,” dikutip dari TRT World.

 

Puncaknya, ketika tembakan ketiga dilepaskan dan mengenai kepala Shireen. Ia dibawa ke rumah sakit di Jenin dalam keadaan kritis. Namun, nyawanya tak bisa diselamatkan dan dinyatakan meninggal pada pukul 07.15 pagi waktu setempat.

Berbagai media internasional ikut memberitakan pembunuhan Shireen berikut perkembangan kasusnya. Media-media dari negara-negara muslim cenderung berpihak pada Palestina dan mengutuk pembunuhan Shireen. Di lain sisi, media-media barat punya kecenderungan untuk mengaburkan dalang pembunuhan jurnalis Al Jazeera ini, yaitu Israel.

 

Media asal Amerika Serikat The New York Times, misalnya, menulis judul berita, “Shireen Abu Akleh, Jurnalis Palestina, Wafat di Umur 51”. Selain itu, The New York Times juga merilis koreksi atas kesalahan mengutip pernyataan dari Al Jazeera yang menceritakan Abu Akleh meninggal dalam “bentrokan”.

 

Akan tetapi, bias media tidak hanya terjadi pada media barat saja. Media dari negara muslim sekalipun tak luput dari bias pemberitaan. Atas nama cover both sides, nyatanya media dari negara muslim dapat terjebak dalam narasi Israel dan mengamplifikasi pesan pembelaan tak berdasar.

 

Berbeda dengan media-media dari Turki. Meskipun termasuk negara muslim, Turki punya hubungan baik dengan Palestina dan juga Israel. Karena itu, pemberitaan media-media Turki menjadi sorotan yang penting untuk mengetahui bagaimana hubungan luar negeri suatu negara mempengaruhi pemberitaan media-medianya. Ditambah lagi, media-media Turki dikuasai sekolompok elit yang terafiliasi pemerintah.

 

Tim Kuatbaca.com menganalisis pemberitaan dari empat media Turki, diantaranya Anadolu Agency, Huriyet Daily News, Daily Sabah, dan TRT World. Keempat media ini dianggap bisa mewakilkan media-media Turki karena popularitasnya.

 

Dengan pencarian kata kunci “Shireen Abu Akleh”, total pemberitaan yang ditemukan dari keempat media tersebut berjumlah 71 berita dari 11 Mei hingga 18 Mei 2022. Rinciannya, Anadolu Agency dengan 44 berita, Hurriyet Daily News dengan 6 berita, Daily Sabah dengan 10 berita, dan TRT World dengan 11 berita.

 


Media Massa Turki di Bawah Kontrol Pemerintah

Media massa di Turki pada umumnya didominasi sosok yang terafiliasi dengan pemerintah. Laporan dari Reporters Without Borders menemukan 90% media Turki di bawah kontrol Pemerintah Erdogan dan para pebisnis yang dekat dengannya. Di tahun 2020 saja, sekitar 1.358 item berita dihapus atas putusan pengadilan Turki terhadap media lokal.

 

Ketua Serikat Jurnalis Turki Gokhan Dormus berbicara mengenai sulitnya media independen bertahan di tengah kontrol dan sanksi dari pemerintah.

 

“Media independen menghadapi tantangan dan hambatan serius dalam waktu yang lama, sebab RTUK (Dewan Tinggi untuk Radio dan Televisi) dan BIK (Otoritas Iklan Pers) mengawasi dan memberikan sanksi finansial atas nama pengaturan kerja media,” tutur Gokhan Dormus dikutip dari Atalayar.

 

Dengan catatan tersebut, tak mengagetkan jika Turki berada pada ranking 149 dari 180 negara untuk indeks kebebasan pers 2022. Bahkan, Turki juga berada pada peringkat 6 sebagai negara paling banyak yang memenjarakan jurnalis di tahun 2021 berdasarkan laporan dari the Committee to Protect Journalist.

 

Kondisi di atas berpengaruh besar pada pemberitaan yang dipublikasikan oleh media-media turki, termasuk Anadolu Agency, Huriyet, Daily Sabah, dan TRT World.

 

“MediaTurki didominasi oleh media-media yang dikontrol pemerintah (setelah terjadinya upaya kudeta tahun 2016 banyak media oposisi yang dibredel) bisa disimpulkan bahwa umumnya media Turki akan sejalan dengan kebijakan pemerintahnya,” ucap Dina Sulaeman, Analis Geopolitik Suriah.

 



Menyuarakan Dua Sisi

Pemberitaan media Turki memperlihatkan keberpihakan kepada Palestina terutama pada pemilihan judul berita. Dibanding judul pemberitaan media-media Barat, judul pemberitaan media Turki jelas menunjuk peran Israel dalam pembunuhan Shireen Abu Akleh. Mereka menggunakan frasa “Dibunuh Pasukan Israel”, “Dibunuh saat serangan Israel”, “Pasukan Israel membunuh Jurnalis Veteran Al Jazeera”, “Pasukan Israel ‘Tembak Mati’ Jurnalis Al Jazeera”.

 

Akan tetapi, di badan berita, perbedaan mulai terlihat ketika narasi pembelaan bahkan tuduhan dari Israel turut disertakan. Sebagian besar menulis kemungkinan pembunuhan oleh orang Palestina sendiri. “Ada kemungkinan jurnalis ditembak oleh warga Palestina yang bersenjata”, tulis Jurnalis Huriyet, Daily Sabah, dan TRT World dalam pemberitaannya.

 

Narasi Israel berputar pada pengaburan fakta mengenai siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut.

 

“Tidak jelas siapa yang bertanggungjawab, terlalu dini dan tidak bijak untuk menyalahkan di titik ini”, dikutip dari Huriyet Daily News, Kamis (12/5/2022).

 

Marc Owen Jones, seorang Asisten Profesor dari Studi Timur Tengah di Universitas Hamad Bin Khalifa menjelaskan Israel mempunyai jejak menyebarkan informasi salah di jagat media sosial dan berupaya “mengeruhkan persoalan (muddy the waters)”.

 

“Israel terbiasa mengatasi situasi krisis seperti ini yang mana mereka membunuh rakyat Palestina atau jurnalis. Jadi, apa yang mereka kerjakan sudah ada narasi tersendiri, dan narasi itu berisi ambiguitas mengenai pembunuhan Shireen. Dan dalam kasus ini, ada narasi (pelaku pembunuhan) adalah orang Palestina,” tegas Jones kepada Al Jazeera.

 

Berbeda dengan Jones, Dina Sulaeman berpendapat media Turki (TRT dan Daily Sabah) tetap pro Palestina dan memberitakan pembunuhan Shireen Abu Akleh dengan semestinya, tidak berupaya menjustifikasi media Barat.

 

“Ini bentuk jurnalisme yang biasa, menyuarakan dua pihak (cover both sides), tapi posisinya tetap pro Palestina,” ujarnya.

 

Sementara itu, konflik Israel dan Palestina sendiri sebenarnya bersifat asimetris. Hal ini disebutkan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi.

 

“Kita semua memahami bahwa konflik ini bersifat asimetris, antara negara penjajah dan penindas dan bangsa Palestina, yang diduduki, yang terus menerus ditindas,” jelas Retno dalam konferensi pers, Jumat (12/5/2021).

 

Dalam konteks konflik asimetris, Dosen Ilmu Komunikasi UGM Wisnu Prasetyo Utomo menuturkan narasi dari pihak yang dominan perlu dituliskan dengan tujuan menguji, bukan untuk memproduksi narasi tersebut.

 

“Media yang punya afiliasi politis maupun ideologis tertentu tentu punya preferensi sendiri dalam menulis berita dan menampilkan dari sudut pandang mana”, jelas Wisnu saat dihubungi Kuatbaca.com, Rabu (25/5/2022).

 

Wisnu memandang, sikap media Turki yang bermain dua kaki dalam pemberitaannya dengan model pemberitaan menyuarakan dua sisi mereka (cover both sides) memperlihatkan posisi kebijakan luar negeri yang mendua terhadap Israel dan Palestina. Terlebih lagi, media Turki dikontrol dengan ketat oleh pemerintahnya.

 

“Iya, dalam sistem politik yang otoriter, seperti Indonesia di era Orde Baru, tentu media tidak bisa bebas bergerak dan cenderung punya posisi yang sama dengan pemerintahnya untuk isu-isu tertentu,” ujar Wisnu.



Hubungan Segitiga Antara Turki-Israel-Palestina

Umum diketahui bahwa konflik Israel dan Palestina sudah berlangsung lama. Awal mulanya berasal dari klaim tanah Yahudi di Palestina pada Kongres Zionis Pertama di tahun 1987 dan Deklarasi Balfour dari Pemerintah Inggris di tahun 1917. Sementara itu, hubungan Turki-Palestina dan Turki-Israel mempunyai perjalanannya masing-masing.

 

Dari laman Kementerian Luar Negeri Turki, hubungan resmi Turki pertama dengan PLO (Palestine Liberation Organization) di tahun 1975. Turki juga menjadi salah satu negara yang mengakui Negara Palestina pada 15 November 1988.

 

Lalu, Turki aktif menyuarakan kemerdekaan Palestina di panggung internasional. Dari catatan pemerintah Turki, total bantuan yang diberikan ke Palestina baik langsung dari pemerintah ataupun melalui organisasi internasional berjumlah lebih dari 300 juta dollar AS.

 

Inisiatif penting Turki lainnya, yaitu pembentukan Forum Ankara (Forum Ekonomi untuk Kerjasama antara Palestina, Israel dan Turki). Forum ini diresmikan oleh presiden kamar dagang masing-masing negara. Salah satu proyek dari forum ini adalah rehabilitasi zona industri di Jenin dengan ditandatanganinya memorandum pada 19 November 2013.

 

Sementara itu, hubungan Turki-Israel jauh lebih lama ketika Turki menjadi negara Muslim pertama yang mengakui Israel pada Maret 1949. Akan tetapi, pasang-surut hubungan kedua negara ini acapkali terjadi dari masa ke masa.

 

Dalam Turkey and Israel in the 2000s—From Cooperation to Conflict yang diterbitkan di Jurnal Israel Studies (2012), Ozlem Tur menerangkan ada beberapa faktor yang memengaruhi turunnya hubungan Turki-Israel di periode 2000-an. Pertama, hubungan dengan negara Arab yang semakin kuat, khususnya sejak AKP (Parta Erdigan) berkuasa. Kedua, jaga jarak Turki dengan Israel terjadi ketika Palestina terus digempur Israel, terutama saat Intifafada Al-Aqsa (2002-2005) dan Perang Irak. Ketiga, puncaknya ketika serangan Israel terhadap Kapal Mavi Marmara yang menewaskan 9 orang pada tahun 2010.

 

Pada Maret 2013, Israel meminta maaf atas serangan tersebut, dan berharap bisa membuka normalisasi hubungan. Namun, pada Agustus 2013, kali ini Turki mengklaim Israel bertanggungjawab atas penumbangan Mohamad Morsi di Mesir. Pasang-surut hubungan ini terus berlanjut hingga 2021 dan 2022. Di konflik Israel-Palestina 2021, Presiden Turki menyebut Israel sebagai negara teror.

 

Di tahun 2022, Presiden Israel Isaac Herzog membuat sejarah baru. Ia menjadi Presiden Israel pertama dalam 14 tahun terakhir yang berkunjung ke Ibukota Turki, Ankara.

 

“Tujuan bersama kita adalah merevitalisasi dialog politik antara negara kami berdasarkan kepentingan bersama dan saling menghormati sensitifitas bersama”, ucap Erdogan sebelum dialog bersama Herzog yang dikutip dari Al Jazeera.

 

Turki terbukti terus menjaga hubungan antara kedua belah pihak baik itu Palestina maupun Israel. Upaya ini tentu beralasan sebab Turki sendiri sudah berambisi menjadi mediator antara Israel dan Palestina dari proses perdamaian Oslo pada 1993. Sejak itu, berbagai forum dan kerjasama dilakukan Turki untuk menunjukkan perannya sebagai mediator.

 

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Dina Sulaeman, wanita yang juga dikenal sebagai pengamat Timur Tengah asal Universitas Padjadjaran itu menjelaskan bahwa Turki memiliki dua kaki dalam konflik Palestina-Israel.

 

“Turki memiliki sikap KLN yang mendua, di satu sisi berhubungan baik dan terang-terangan dengan Israel, tetapi retorika Erdogan juga terang-terangan mengecam kejahatan yang dilakukan Israel,” jelasnya saat dihubungi Kuatbaca.com.

 

Ambisi Turki sebagai mediator perdamaian antara Israel dan Palestina mendapat sinyal baik. Menteri Luar Negeri Palestina, Riad Malki pada Maret 2022 lalu mengatakan Turki akan menjadi tempat konferensi perdamaian internasional.

 

“Saat ini kedua pihak akan menentukan dimana konferensi perdamaian internasional akan diselenggarakan. Biasanya, kedua pihak memilih negara yang benar-benar bersahabat dengan masing-masing pihak. Turki mampu menjalakan peran ini,” ucap Riad Malki dikutip dari Daily Sabah. (*)

Jurnalis :Muhammad Fakhri
Editor :Virga Agesta
Illustrator :Priyana Nur Hasanah
Infografis :Priyana Nur Hasanah
side ads
side ads