“Sri Lanka alami krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah. Kemampuan daya beli masyarakatnya setara dengan biaya hidup di Yogyakarta dengan PDB per kapita sekitar Rp40 juta, namun dengan harga pangan yang lebih mahal. Kekuasaan besar yang dimiliki oleh Keluarga Rajapaksa disinyalir menjadi penyebabnya. Nepotisme, korupsi, hingga penerapan kebijakan yang tidak tepat jadi alasan mengapa Sri Lanka harus terlilit hutang luar negeri hingga alami kelangkaan pangan, energi, dan kebutuhan pokok lainnya.”
Sri Lanka sedang santer dikabarkan menghadapi krisis ekonomi. Salah satu indikasinya ialah ketidakmampuan Sri Lanka membayar hutang luar negeri. Sehingga Kondisi terkini Pemerintah Sri Lanka terpaksa menangguhkan pembayaran hutang termasuk obligasi dan pinjaman antar Pemerintah. Paling tidak hutang senilai USD7 miliar atau setara dengan Rp282 miliar telah jatuh tempo pada tahun ini namun ditangguhkan pembayarannya.
Sri Lanka terancam mengalami kebangkrutan dimana selama beberapa bulan terakhir negeri tersebut sedang dilanda kelangkaan bahan bakar, pangan dan kebutuhan pokok lainnya serta pemadaman listrik setiap hari.
Pada 31 Mei 2022, angka inflasi mencapai angka tertinggi di 39,1% dibandingkan sebulan sebelumnya di angka 29,8%. Tahun ini, Pemerintah Sri Lanka juga mengungkapkan jika kebijakan pemotongan pajak menyebabkan kerugian sekitar 800 miliar Rupee Sri Lanka atau setara Rp32.2 triliun dari pendapatan publik tahunan. Angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan jumlah APBN Sri Lanka 2019 yang mencapai 1,890 milliar Rupee Sri Lanka setara Rp76 triliun.
Mengutip dari media lokal Sri Lanka, harga beras per kilogram pada Maret mencapai 500 Rupee Sri Lanka atau setara dengan Rp20 ribu dan harga susu 400 ml mencapai 790 Rupee Sri Lanka setara Rp31 ribu. Kemudian harga ayam broiler mencapai 900 Rupee Sri Lanka atau sekitar Rp36 ribu. Angka tersebut belum ditambah dengan kenaikan inflasi harga pangan yang mencapai 27.9% dalam kurun Maret-Mei 2022.
Jika dibandingkan dengan harga beras lokal di Indonesia di kisaran Rp11 ribu per kilogram, dan harga susu bermerek satu liternya sekitar Rp17 ribu, kemudian harga ayam di Jateng dan Yogyakarta berkisar Rp18 ribu. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan harga di Sri Lanka yang notabene negara agraris yang menggantungkan ekonominya dengan kekuatan agrikultur.
Kemudian PDB per kapita Sri Lanka turun dari USD 3.815 (Rp55.2 juta) di 2021 ke USD 3.041 (Rp44 juta). Angka tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan PDRB per kapita Yogyakarta mencapai Rp40 juta. Kemampuan daya beli di Sri Lanka itu setara dengan tinggal di Yogyakarta tetapi dengan harga pangan yang jauh lebih mahal.
Krisis ekonomi Sri Lanka disinyalir karena kekuasaan besar yang dimiliki Rajapaksa, khususnya setelah amendemen Sri Lanka ke 20 yang di loloskan oleh 225 anggota parlemen dengan 156 suara setuju, 65 menolak, dan 4 abstain pada 22 Oktober 2020. Hingga saat ini masih belum ada informasi terkait kejelasan mengapa sebagian besar anggota parlemen mengesahkan amendemen tersebut.
Amendemen itu kemudian memberikan kekuasaan lebih kepada pemegang pimpinan eksekutif. Dalam hal ini, aturan tersebut memperbolehkan Presiden untuk juga memegang jabatan kementerian serta bebas menunjuk dan memecat Menteri tanpa persetujuan Parlemen.
Kekuasaan besar yang diberikan amendemen tersebut juga dapat diindikasikan dengan banyaknya jabatan Gothabaya beserta keluarganya setelah ditunjuk sebagai Presiden. Gotabhaya Rajapaksa mulai menempatkan keluarganya dalam jabatan-jabatan strategis di Pemerintah Eksekutif Sri Lanka. Tidak sampai disitu, Gotabhaya beserta saudaranya, Mahinda Rajapaksa juga memperoleh lebih dari satu jabatan penting.
Setahun setelah menjabat sebagai Presiden, Gotabhaya memimpin Kementerian Teknologi dan Kementerian Pertahanan. Kemudian, Mantan Presiden Sri Lanka Periode 2005 hinga 2015, Mahinda Rajapksa memperoleh lima jabatan sekaligus yaitu Perdana Menteri, Menteri Kebijakan & Implementasi Ekonomi, Menteri Agama dan Budaya, Menteri Perumahan dan Pengembangan Urban, dan Menteri Keuangan.
Selain dua bersaudara tersebut, anggota keluarga Rajapaksa juga memperoleh manisnya pembagian jabatan. Beberapa nama tersebut ialah Namal Rajapaksa sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, serta Basil Rajapaksa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Mahinda pada 2021.
Kemudian dua Menteri Negara Bagian (State Minister) yang berkaitan dengan agrikultur dipegang oleh Shasheendra Rajapaksa, serta Menteri Negara Bagian yang berkaitan dan pertahanan dipegang oleh Chamal Rajapaksa.
Mengutip dari media lokal, Keluarga Rajapaksa di pemerintahan diestimasikan memegang lebih dari 75% anggaran total Sri Lanka.
“Kami ada anak (Presiden) sebagai Menteri Olahraga, saudara yang lain, keponakan anak tiri dari ibu dan sepupu dan sebagainya. Semuanya ditunjuk untuk posisi yang berbeda dan itu menjadi bisnis keluarga,” kata Ambika Satkunanatha, Ketua Neelan Tiruchelvam Trust, NGO di Sri Lanka yang bergerak di bidang demokrasi, good governance, dan keadilan sosial.
Di sisi lain, amendemen itu juga memberikan kewenangan Gotabhaya atas Komisi Independen yang sebelumnya mengawasi Pemilu, Polisi, Hak Asasi Manusia, dan Anti Korupsi, termasuk Kantor Audit Nasional serta Komisi Investigasi Dugaan Korupsi dan Penyuapan. Hal ini disinyalir dapat mempermudah keluarga Rajapaksa untuk memuluskan langka koruptif mereka.
Pada dasarnya, keluarga Rajapaksa juga seringkali terseret kasus korupsi. Wakil Direktur Eksekutif Transparency International Sri Lanka Sankhitha Gunaratne mengungkapkan bahwa Mahinda dan Basil telah berkali-kali menghadapi tuduhan korupsi, termasuk menggelapkan dana bantuan tsunami dan menggunakan dana publik untuk kebutuhan pribadi seperti membeli tanah. Namun banyak kasusnya yang dibatalkan atau dihapus.
“Dugaan korupsi Rajapaksa seperti pohon besar yang menaungi banyak orang” ujar Sankhitha sebagaimana dikutip dari laman Washington Post.
Kasus korupsi juga seringkali terjadi pada saat Mahinda masih menjabat sebagai Presiden periode 2005-2015. Sejumlah kasus berhasil dibongkar pada masa Kepresidenan Maithripala Sirisena. Selama 18 bulan Kepemerintahan Sirisena, sejumlah pejabat-pejabat tinggi dari Keluarga Rajapaksa ditangkap karena dakwaan korupsi.
Berdasarkan kasus yang tersebar di pemberitaan, pada 2016, Gotabhaya pernah menjadi terdakwa kasus korupsi karena terlibat dalam penjualan senjata secara illegal hingga merugikan negara sebesar USD75 miliar atau sebesar Rp1 triliun. Di tahun yang sama, Namal Rajapaksa ditetapkan menjadi tahanan oleh Magistrat di Kolombo atas kasus pencucian uang.
Tidak sampai di situ, dilansir dari ICIJ, keponakan Mahinda dan Gotabhaya, Nirupama Rajapaksa beserta suaminya telah mengakumulasikan kekayaan bebas pajak secara rahasia sebesar USD18 juta atau setara Rp263,8 miliar yang tercatat dalam Pandora Papers 2021.
Kemudian kasus terbaru pada awal Mei 2022, Namal Rajapaksa dilaporkan kembali atas kasus korupsi pencucian uang berdasarkan investigasi dari Australian Broadcasting Corporation (ABC). ABC menyebutkan, jika Namal mengeruk keuntungan jutaan dolar dari Perusahaan Medis Australia, Aspen Medical.
Korupsi bukanlah satu-satunya sebab dari krisis moneter yang dialami Sri Lanka. Kebijakan pemerintah yang dinilai fatal dan salah langkah, serta hutang luar negeri yang menggunung merupakan sejumlah alasan utama dibalik krisis, inflasi dan pemberontakan yang semakin menjadi-jadi.
R. Ramakumar, Profesor Ekonomi dari Tata Institute of Social Science mengungkapkan sebagian besar pendapatan negara Sri Lanka berasal dari devisa yang didapatkan dari ekspor produk agrikultur seperti teh, kopi, pohon karet, dan rempah-rempah. Selain itu, Sri Lanka juga mulai mengekspor pakaian, dan mendapatkan devisa negara dari pariwisata dan remitansi.
Pada 2019, sejumlah kasus pengeboman terjadi di Sri Lanka dan membuat angka kedatangan turis anjlok hingga 80%. Sedangkan pariwisata menyumbang hampir 13% dari PDB nasional. Bersama dengan adanya ledakan tersebut, Sri Lanka disinyalir mengalami kerugian sekitar USD4 miliar atau setara Rp58 triliun dari pemasukan devisa tahunan yang didapatkan dari sektor pariwisata.
Setahun kemudian, pandemi Covid-19 muncul dan semakin menjatuhkan pemasukan Sri Lanka. Hal tersebut terlihat dari banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan, jatuhnya permintaan ekspor, dan anjloknya pendapatan pariwisata di negeri tersebut.
International Monetary Fund menyarankan pemerintah Sri Lanka untuk menurunkan nilai mata uang (devaluasi) serta menaikan pajak dalam rangka menangani masalah krisis ekonomi yang telah dialami negeri kepulauan tersebut. Sebaliknya, Gotabhaya Rajapaksa justru memilih menepati janji kampanyenya yaitu memotong nilai pajak.
Kebijakan tersebut dinilai kurang tepat oleh sejumlah pengamat. Akibat dari kebijakan itu, Juru Bicara Kabinet Bandula Gunawardena menyebutkan jika pendapatan Pemerintah Sri Lanka turun hingga 25%. Lebih tragis lagi, Ali Sabry, Menteri Keuangan pasca diturunkannya Basil Rajapaksa mengungkapkan bahwa Sri Lanka telah kehilangan sekira 1 juta pembayar pajak sejak kebijakan itu ditetapkan.
“Tarif pajak yang penambahan dipotong dari 15% menjadi 8%. Pajak tidak langsung lainnya dihapuskan. Tarif pajak perusahaan dikurangi dari 28% menjadi 24%. Sekitar 2% dari PDB kehilangan pendapatan karena pemotongan pajak ini,” tulis Ramakumar dalam artikelnya di The Conversation.
Setahun pandemi, tepatnya April 2021, Rajapaksa membuat kesalahan fatal lainnya. Sebagai langkah untuk menghindari penyerapan cadangan devisa yang berlebih, Pemerintah Sri Lanka melarang pengadaan impor seluruh pupuk masuk ke negaranya. Meskipun sudah dicabut pada November 2021, kebijakan ini berdampak pada lesunya produktivitas agrikultur sehingga membuat Pemerintah Sri Lanka terpaksa mengimpor komoditas tani.
Jatuhnya produktivitas komoditas agrikultur seperti teh kopi jelas membuat anjloknya pendapatan ekspor. Karena keterbatasan pendapatan, maka semakin sedikit uang yang tersedia untuk mengimpor produk pangan sehingga menciptakan kondisi kelangkaan pangan dan tentunya menyebabkan inflasi semakin tinggi.
Kondisi Sri Lanka tersebut tampaknya tepat jika disandingkan dengan kutipan dari Lord Acton yaitu Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Ungkapan itu senada dengan Amita Arudpragasam, Analis Kebijakan Sri Lanka yang juga merupakan lulusan magister di Harvard Kennedy School of Government. Dirinya menjelaskan, jika kebijakan yang kontroversial serta korupsi yang merajalela menjadi sebab dari krisis yang dialami negara kepulauan yang terletak di selatan India tersebut.(*)