Proyek gorden DPR yang bernilai Rp 43 miliar dibatalkan oleh Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI. Pembatalan dengan alasan mengedepankan aspirasi masyarakat ini dilakukan sesaat BPK hendak lakukan audit. Oknum yang diduga hendak bermain di ladang basah proyek ini seakan terselamatkan oleh masyarakat dari jerat hukum lantaran belum sempat lakukan transaksi. Namun jika berkaca kepada Kode Etik DPR RI, para anggota dewan yang terlibat harusnya tak boleh luput dari pantauan Mahkamah Kehormatan Dewan.
Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI membatalkan proyek gorden yang menjadi polemik di masyarakat. Proyek dengan nilai Rp 43 miliar itu dibatalkan dengan pertimbangan aspirasi dari masyarakat. Wakil ketua BURT, Johan Budi mengatakan jika pembatalan yang dilakukan setelah mendengarkan pendapat beberapa pihak yaitu Sekretaris Jendral DPR dan Inspektorat DPR.
Meski dianggap sesuai dengan Peraturan Presiden (PP) nomor 12 tahun 2001 tentang pengadaan barang dan jasa, seluruh fraksi yang ikut dalam rapat menolak proyek itu.
“Setelah rapat yang panjang antara BURT dan Sekjen DPR RI, diambil kesimpulan untuk tidak melanjutkan pelaksanaan gorden RJA DPR RI,” kata Ketua BURT DPR RI Agung Budi Santoso di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/5/2022).
Pembatalan proyek ini dilakukan sesaat setelah BURT meminta inspektorat utama dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit pengadaan gorden rumah dinas itu. Audit yang dilakukan tentunya memengaruhi keputusan BURT untuk melanjutkan proyek ini atau tidak. Hal tersebut disampaikan oleh Achmad Dimyati Natakusumah yang juga merupakan wakil ketua BURT.
Pemeriksaan yang dilakukan BPK juga meliputi peserta lelang yang tidak lolos dalam seleksi vendor. Hal tersebut dilakukan karena besaran anggaran yang diajukan perlu diperiksa dan dipelajari.
Nyatanya, semua proses terkait tender gorden sudah dibahas di BURT terlebih dahulu. Maka dari itu, BURT seharusnya mengetahui rencana pengadaan beserta besaran anggaran yang dibutuhkan. Namun, Dimyati membela dengan mengatakan,
“Terkait mekanisme pengadaan itu bebas dan mandiri pimpinan dan anggota DPR apalagi BURT tidak bisa intervensi dan ikut campur,” jelas Damyati.
Sebelumnya Sekjen DPR, Indra Iskandar telah menjelaskan tahapan pemilihan pemenang tender ini. Indra mengatakan, proses tahapan seleksi vendor gorden DPR harus melalui lima tahapan.
“Untuk menjadi pemenang tender, para calon vendor harus melalui tahapan diantaranya penjelasan pekerjaan, penawaran, evaluasi administrasi, evaluasi teknis, dan yang terakhir evaluasi biaya,” ungkap Indra dalam keterangan resmi pada Senin (9/52/2022)
Pada awal pembukaan tender, terdapat 49 calon vendor yang mendaftar, namun hanya ada tiga perusahaan yang mengajukan penawarannya. Tiga vendor tersebut diantaranya PT. Panderman Jaya, PT Bertiga Mitra Solusi, dan PT Sultan Sukses Mandiri.
"Pada tahapan pembukaan penawaran tanggal 21 Maret 2022 dari 49 perusahaan yang mengikuti tender ini, hanya ada tiga perusahaan yang memasukkan penawaran," kata Indra
Ketiga perusahaan itu memberikan penawaran yang beragam diantaranya PT Panderman Jaya dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Rp 42,1 miliar, PT Sultan Sukses Mandiri memberikan HPS Rp 37,7 miliar dan PT Bertiga Mitra Solusi memberikan HPS paling tinggi yaitu sebesar Rp43,5 miliar.
Pada seleksi tahapnya, PT Panderman Jaya dan PT Sultan Sukses Mandiri gugur dan tender dimenangkan PT Bertiga Mitra Solusi.
Polemik gorden yang muncul tak lain disebabkan oleh besarnya anggaran yang diajukan. Namun Indra memberikan pandangan lain terkait polemik ini. Munculnya isu soal transparansi serta anggaran yang fantastis digulirkan oleh perusahaan yang kalah dalam proses seleksi. Indra menduka informasi mengenai penyelewengan dalam proses pengadaan disebarkan oleh perusahan yang kalah tender kepada penegak hukum serta media.
“Perusahaan yang kalah tender biasa menyebarkan informasi pada aparat penegak hukum dan media, seolah-olah terjadi penyelewengan dalam proses pengadaan,” ungkapnya.
Jika merujuk pada proyek pengadaan gorden yang bahkan belum dimulai pelaksanaannya, Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan penyelidikan dan pemeriksaan dugaan penyelewengan tidak dapat dilakukan karena belum adanya uang negara yang digunakan.
KPK belum bisa mengusut dugaan penyelewengan itu karena proyek ini masih dalam tahap administrasi.
“Ini karena masih dalam proses administrasi, kemudian ada kemenangan tender di sana, pelaksanaannya apakah sudah dilakukan?," ujar Ali Fikri di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (10/5/2022).
Sejalan dengan statement yang dikeluarkan KPK, praktisi hukum, Andre Ericson Simarmata menjelaskan bagaimana pertimbangan yang ada pada tindak pidana. Dalam penjelasannya, seseorang tidak dapat ditindak jika belum ada terbukti meskipun sudah ada niat batin. Istilah ini disebut dengan mens rea.
“Menurut hukum, kalau belum terjadi itu tidak bisa di proses. Karena mens rea tidak terbukti,” jelasnya kepada tim Kuatbaca melalui pesan teks, Rabu, (18/5/2022).
Menilik ilmu hukum, mens rea berarti sikap batin dari pelaku perbuatan kejatan. Sikap ini juga menjadi pertimbangan terutama dalam kasus korupsi. Pertimbangan itu dilakukan karena korupsi dimasukkan ke dalam katagori extra ordinary crime maka tidak semua dilakukan atas kesadaran atau ada niat. Namun tidak sedikit kasus korupsi yang menyeret staff atau pegawai rendahan akibat menjalankan perintah atasannya.
Sebagai contoh proyek perbaikan toilet DPRD DKI Jakarta tahun 2014 lalu juga digagalkan karena anggaran yang tidak masuk akal. Saat itu, proyek ini juga mendapat sorotan dari masyarakat. Nilai yang dianggap tidak wajar memicu kontroversi di publik. Proyek itu dibatalkan oleh Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta. Dengan pembatalan ini, penindakan oknum yang diduga bermain tidak dapat dilanjutkan karena tidak ada bukti.
Dengan kata lain, aspirasi masyarakat yang dianggap kritis hingga berhasil menggagalkan proyek yang berpotensi menjadi ladang korupsi ini sudah menyelamatkan oknum-oknum yang berniat mencuri uang rakyat.
“Sorotan masyarakat untuk menyelamatkan uang rakyat,” pungkas Andre.
Sebagai informasi, orang-orang yang terlibat dalam proyek pengadaan penutup jendela rumah dinas DPR RI ini ialah Ketua dan Wakil Ketua BURT, Agung Budi Santoso (Fraksi Demokrat), Johan Budi (Fraksi PDIP), dan Achmad Dimyati Natakusumah (Fraksi PKS).
Sedangkan sekretaris jendral DPR RI beserta jajarannya dilantik oleh Bambang Soesatyo (Golkar) dengan SK yang dikeluarkan Presiden. Mereka adalah Indra Iskandar, Sumariandono, Inosentius Samsul, Vacant, dan juga Inspektur Utama Setyanta Nugraha.
Meskipun luput dari hukum pidana korupsi lantaran belum ada bukti transaksi, kode etik DPR RI jelas-jelas melarang anggota DPR melakukan suatu tindakan yang berpotensi kepada tindak korupsi.
Hal tersebut tercermin dalam Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Pasal 4 ayat 2 yang berisi; Anggota dilarang melakukan hubungan dengan Mitra Kerjanya untuk maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Narasi “potensi” nampaknya perlu digarisbawahi. Pasalnya kecurigaan masyarakat terhadap proyek gorden ini tentu tak lepas atas dugaan potensi korupsi.
Dengan kata lain, jika mengacu terhadap Kode Etik DPR RI, anggota DPR yang terlibat dalam proyek ini seharusnya menjalani penyelidikan internal DPR, yang disebut Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.