Kuatbaca
06 May 2023 20:53
Proyek penelitian dan pengembangan drone kombatan “Elang Hitam” sempat menjadi prioritas utama pemerintah. Namun, oleh BRIN, tahun 2022, drone elang hitam dihentikan pengembangannya untuk kepentingan militer dan dialihkan ke kepentingan sipil. BRIN mengatakan, peruntukan drone Elang Hitam untuk militer membuat negara lain menghalangi proyek nasional tersebut. Sebagai gantinya, pemerintah akan mengimpor drone kombatan dari Turki untuk kebutuhan TNI.
Nasib ironi terjadi pada proyek drone kombatan Indonesia, bernama "Elang Hitam". Harapan tinggi muncul ketika purwarupa pertamanya meluncur pada tanggal 30 Desember 2019. Akan tetapi, proyek drone jenis Medium Altitude Long Endurance (MALE), tersebut dihentikan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada September 2022. Padahal proyek Elang Hitam masuk sebagai salah satu program Strategis Nasional.
Spesifikasi Elang Hitam
Panjang : 8,65 m
Bentang sayap : 16 m
Tinggi : 2,6 m
MTOW : 1.300 kg
Payload : 300 kg
Kapasitas Bahan Bakar : 420 liter
Durasi terbang : 24-30 jam
Radius kendali: : 250 km
Kecepatan maksimum : 235 km/jam
Kecepatan jelajah : 50-180 km/jam (pada ketinggian 5.000 m)
Ketinggian terbang : 15.000-30.000 kaki
Pajang landasan untuk take off : 700 m
Pajang landasan untuk landing : 500 m
Kabar penghentian tersebut langsung dibantah oleh Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Ia menyebut Elang Hitam dialihkan dari pengembangan untuk kebutuhan militer menjadi drone sipil. Hal tersebut merupakan hasil evaluasi dan audit mendalam pasca kegagalan Elang Hitam terbang dalam uji coba pada Desember 2021.
Adanya berbagai masalah teknis yang berhubungan dengan mitra pemilik "teknologi kunci" disinyalir menjadi penyebab. Karena itu, menurut Laksana memulai proyek drone dengan label kombatan untuk militer merupakan kesalahan.
“Karena akses kita ke teknologi kunci tersebut menjadi sangat terbatas. Karena semua negara membatasi transfer teknologi kunci terkait hankam (pertahanan keamanan),” kata Laksana.
Teknologi kunci yang dimaksud adalah mission system. Laksana mengatakan bahwa teknologi tersebut kini menjadi fokus utama pada penguasaan teknologi kunci drone di Pusat Riset Penerbangan, Rumpin, Bogor, bekerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia.
“Mission system itu semacam otak dari drone yang mengendalikan seluruh sistem elektronik, komunikasi dan mekanik,” jelas Laksana.
Keputusan untuk alih fungsi menjadi drone sipil tersebut tak lepas dari pengalaman saat BRIN masih bernama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat itu LIPI sedang mengembangkan teknologi radar pelacak.
"Boro-boro dapat komponen, akses saja ditutup. Kita sudah pernah mengalami itu, itu kasus riset radar waktu saya di LIPI. Kita diboikot AS 2 tahun. Repot kita, kalau diboikot AS diboikot negara lain (juga) karena satu rantai supply chain," tutur Laksana.
Dengan pengalihan ke versi sipil, Laksana yakin Elang Hitam punya pangsa yang lebih menjanjikan. Selain itu, pengalihan ini juga membuat proyek Elang Hitam, dalam proses risetnya tidak terkena restriksi suplai dari negara asal. Karena pada kenyataanya, drone versi sipil juga memanfaatkan teknologi kunci yang sama dengan versi militer.
Mencermati niat dari BRIN, maka yang dilakukan kepada drone Elang Hitam mengkonversi drone yang sudah dirancang untuk kepentingan militer menjadi drone untuk kepentingan sipil. Menjadi tantangan tersendiri untuk menyesuaikan spesifikasi militer yang sangat tinggi ke sipil.
Meski demikian, penjelasan mengenai perubahan proyek drone tersebut tak menghindarkan BRIN dari kritik. Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim menilai perubahan yang terjadi pada proyek drone Elang Hitam tersebut memperlihatkan nihilnya perencanaan strategis jangka Panjang. Pendapat Chappy cukup masuk akal jika mengingat setiap proyek pasti menghabiskan biaya, tenaga, dan waktu.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto ikut menyayangkan keputusan penghentian riset drone untuk kepentingan tempur tersebut. Disebutkan bahwa keputusan tersebut merupakan bentuk kurangnya kepedulian pemerintah atas pengembangan teknologi hankam dan kedirgantaraan nasional.
“Betapa pemerintah senangnya hanya jalan pintas impor produk bangsa lain. Sementara alergi riset dan inovasi anak bangsa. Ini Langkah kontraproduktif dalam bingkai membangun kemampuan teknologi hankam nasional,” imbuh Mulyono.
Sebagai ganti kebutuhan TNI terhadap drone kombatan, Kementerian Keuangan (Kemekeu) telah menyetujui permintaan TNI untuk pengadaan drone kombatan dari luar negeri. Janes.com (9/2/2023) melaporkan bahwa pengadaan tersebut merupakan bagian dari daftar 16 program berskema pinjama luar negeri. Persetujuan Kemenkeu disertai dengan syarat bahwa kontrak formal pengadaan telah ditandatangani Kementerian Pertahanan (Kemhan) sebelum tanggal 31 Desember 2023.
Kemhan sendiri sudah menyatakan siap untuk membeli dua jenis dorne kombatan asal pabrikan Turki, yaitu Bayraktar TB2 buatan Roketsan dan Anka yang diproduksi oleh Turkish Aerospace Industries (TAI). Kedua industry Turki tersebut menyatakan akan mengajak PT. Dirgantara Indonesia (DI) untuk melakukan produksi bersama drone kombatan di hangar Kota Bandung dan memberikan transfer teknologi.
Persetujuan pembelian drone kombatan dari luar negeri diberikan terpisah kepada TNI-AL, TNI-AD, dan TNI AU. TNI AL mendapatkan jumlah pinjaman hingga USD100 juta, kemudian TNI-AD mendapat persetujuan pinjaman sebesar USD10,89 juta untuk membeli amunisi MAM-L (Mini Akilli Muhimmat Lazer) atau rudal pintar ringan berpandu laser. Sedangkan TNI-AU mendapatkan jatah pinjaman hingga USD200 juta untuk pengadaan drone kombatan dan USD38,115 juta untuk pengadaan rudal MAM-L. (*)
Jurnalis : Gery Gugustomo
Editor : Gery Gugustomo
Illustrator : Fandy Dwimarjaya
Infografis : Fandy Dwimarjaya
Komentar
Belum ada komentar