“BPS memberikan potret kondisi pendidikan di Indonesia. Ternyata angka putus sekolah di tahun 2022 lebih tinggi dibandingkan tahun 2019. Meski beberapa daerah memiliki situasi angka putus sekolah yang sama, kebijakan pendidikan gratis tak lantas menjadi pilihan utama para kepala daerah terlihat dari data angka putus sekolah yang terbilang masih tinggi. Namun, dengan adanya pendidikan gratis pun tidak selalu langsung berdampak pada kenaikan angka partisipasi sekolah. Angka putus sekolah menjadi salah satu penyebab rendahnya angka partisipasi sekolah. Maka, kondisi ini perlu jadi perhatian lebih agar dapat menekan jumlah angka putus sekolah dan meningkatkan angka partisipasi sekolah.”
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis Statistik Pendidikan 2022 sebagai salah satu potret pendidikan Indonesia yang menggambarkan kondisi pendidikan Indonesia berdasarkan hasil Susenas Maret 2022.
BPS menyatakan dalam laporannya bahwa angka putus sekolah di Indonesia terpantau mulai meningkat kembali pada tahun 2022, setelah alami tren penurunan sejak tahun 2019. Angka putus sekolah tersebut terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD)/Sederajat, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Sederajat, hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Sederajat.
Secara rinci, angka putus sekolah di jenjang SMA mencapai 1,38 persen pada 2022. Ini menandakan terdapat 13 dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang tersebut. Persentase tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan jenjang pendidikan lainnya. Angkanya juga tercatat naik 0,26 persen poin dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 1,12 persen.
Data pada laman statistik.data.kemdikbud.go.id, melengkapi gambaran jumlah anak putus sekolah per provinsi pada tahun ajaran 2020/2021 yang masih terbilang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari grafik 10 besar provinsi dengan jumlah angka putus sekolah terbesar berikut ini.
Jika menyoroti 5 daerah teratas, Provinsi Jawa Barat menduduki puncak dengan jumlah 10.884 anak yang mengalami putus sekolah. Diikuti oleh DKI Jakarta di posisi kedua dengan jumlah 10.073 anak, Sumatra Utara sebanyak 9.266 anak berada di posisi ketiga. Kemudian di posisi keempat dan kelima ada Jawa Timur dan Sulawesi Selatan dengan masing-masing terdapat jumlah anak putus sekolah sebanyak 6.573 dan 6.107.
Meski memiliki situasi yang sama, masing-masing kepala dari kelima daerah tersebut memiliki preferensi kebijakan yang berbeda dalam meminimalisir angka APS.
Provinsi Jawa Barat (Jabar), DKI Jakarta, dan Jawa Timur (Jatim) yang memiliki jumlah APS yang tinggi, menjalankan kebijakan sekolah gratis. Di sisi lain, Provinsi Sumatra Utara (Sumut), dan Sulawesi Selatan (Sulsel) tak menjalankan program sekolah gratis.
Gubernur Provinsi Sumut, Edy Rahmayadi yang memiliki janji politik pada pendidikan, yaitu mewujudkan masyarakat sumut bermartabat dalam pendidikan dan peningkatan dan pemenuhan akses pendidikan, memilih untuk memberikan “diskon” SPP sebesar Rp35.000 per siswa setiap bulannya.
Sedangkan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah ingin mengoptimalkan Sulsel sehat dan cerdas dan ingin menciptakan sekolah-sekolah yang bersih dari hoaks. Untuk itu, ia tak memprioritaskan pendidikan gratis.
“Sekarang kita butuh pendidikan berkualitas untuk meningkatkan sumber daya berkualitas. Kita tidak bicara lagi pendidikan gratis. Kita bicarakan pendidikan berkualitas untuk menghasilkan SDM berkualitas,” kata Nurdin Abdullah.
Tingginya angka anak putus sekolah memiliki korelasi dengan rendahnya angka partisipasi sekolah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sekaligus Pengamat Kebijakan Pendidikan, Cecep Darmawan.
“Angka partisipasi sekolah bisa jadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingginya angka putus sekolah. Ketika angka partisipasinya rendah berarti banyak anak yang mengalami putus sekolah,” terang Cecep kepada wartawan Kuatbaca.com, Senin (26/12/2022).
Jika mencermati lebih lanjut data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat penurunan yang siginifikan pada usia 16-18 tahun atau jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) di daerah yang sama, menunjukkan kebijakan pendidikan gratis tidak selalu berdampak langsung terhadap peningkatan partisipasi sekolah.
Data tersebut menunjukkan bahwa daerah seperti Jatim yang menjalankan program pendidikan gratis justru mengalami penurunan angka partisipasi sekolah pada tahun 2022. Sedangkan Jabar yang telah menjalankan program pendidikan gratis mulai tahun ajaran 2020/2021 mengalami kenaikan angka partisipasi sekolah.
Di sisi lain, DKI Jakarta yang juga menjalankan program pendidikan gratis mengalami stagnasi angka partisipasi sekolah. Situasi yang sama juga dialami oleh Sumut, padahal Sumut tidak menjalankan program sekolah gratis.
Sementara itu, Sulsel yang tidak menjalankan program pendidikan gratis dan sedang mengedepankan pendidikan yang berkualitas mengalami penurunan angka partisipasi sekolah.
Menanggapi soal angka partisipasi sekolah, Cecep menjelaskan penyebab bedanya jumlah angka partisipasi sekolah di masing-masing jenjang, mulai dari SD, SMP, hingga SMA.
“Angka partisipasi sekolah di jenjang SD tinggi karena selain sudah ada kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya anak untuk sekolah, juga di SD tidak dipungut biaya serta lokasi sekolah biasanya masih dekat dengan rumah dan biaya masih belum terlalu tinggi. Kemudian pada jenjang SMP juga begitu, meski untuk beberapa daerah lokasi mungkin saja jauh. Namun SD dan SMP merupakan sekolah gratis secara nasional. Berbeda saat memasuki jenjang SMA yang lokasinya sebagian mungkin, selain SMA mungkin saja berbayar,” ujar Cecep.
Lalu Cecep juga memaparkan bahwa ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab rendahnya angka partisipasi sekolah di jenjang SMA. “Dari jenjang SMP ke SMA mulai banyak berguguran karena faktor apa? Menurut saya faktor utamanya yaitu faktor biaya,” tambahnya.
Cecep menyebutkan bahwa selain faktor biaya, masih ada beberapa faktor sosial seperti adanya persepsi masyarakat di sejumlah daerah yang mengatakan bahwa ‘tidak perlu sekolah tinggi kalau ujung-ujungnya bisa kerja’.
Selain itu, ada juga faktor-faktor lainnya yang turut mempengaruhi anak enggan untuk lanjut bersekolah, salah satunya adalah pandemi Covid-19. Angka putus sekolah meningkat hingga 10 kali lipat karena para peserta didik banyak yang membantu ekonomi keluarga mereka di masa pandemi.
Sekretaris Jendreral (Sekjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Suharti menyebut angka ini cukup tinggi.
“Sebagai contoh saja anak-anak yang putus sekolah untuk anak SD saja ini meningkat 10 kali lipat dibanding tahun 2019. Banyak sekali tekanan dari orang tua khususnya tekanan ekonomi yang memaksa mereka untuk mengajak anaknya bekerja,” tutur Suharti Senin, (3/1/2022).
Suharti mengatakan, angka putus sekolah ini juga disebabkan oleh orang tua yang menganggap Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak efektif dan mengartikan jika PJJ sama dengan tidak sekolah.
“Orang tua yang merasa pembelajaran jarak jauh yang diikuti oleh anaknya tidak memberikan kemampuan bagi mereka, dan merasa sama saja anak-anak tidak sekolah, jadi mereka juga tidak menyekolahkan anaknya,” terangnya.
Melengkapi pandangannya mengenai anggaran pendidikan, Cecep menilai bahwa kita kerap kali mengalami gagal paham terkait 20 persen anggaran yang dialokasikan dari APBN untuk sektor pendidikan.
Terdapat 3 jenis biaya yang diutarakan oleh Cecep pada sektor pendidikan, yaitu biaya operasional, biaya investasi, dan biaya personal peserta didik. Dari ketiga biaya tersebut hanya biaya operasional dan investasi yang ditanggung oleh pemerintah.
Justru lanjut Cecep, seharusnya bagi masyarakat marginal, biaya personal peserta didik pun harus menjadi perhatian pemerintah juga karena memakan jumlah biaya yang cukup besar yang masih ditanggung oleh para orang tua murid yang meliputi ongkos perjalanan sekolah, seragam sekolah, buku sekolah, dan kebutuhan lainnya.
Kemudian, dari 20 persen anggaran yang digelontorkan untuk sektor pendidikan perlu adanya revisi dalam pemakaiannya.
“Seharusnya untuk gaji dan tunjangan bagi guru dan dosen jangan dimasukkan kepada biaya operasional, termasuk biaya-biaya kementrerian lain yang memakai label pendidikan,” tutupnya. (*)