top ads
Home / Telik / Pendidikan / Ketika Kualitas Jadi Alibi Hindari Pendidikan Gratis

Pendidikan

  • 135

Ketika Kualitas Jadi Alibi Hindari Pendidikan Gratis

  • January 04, 2023
Ketika Kualitas Jadi Alibi Hindari Pendidikan Gratis

“Gubernur Terpilih Nurdin Abdullah seakan menyiratkan jika kualitas SDM akan akan berbanding terbalik dengan program sekolah gratis. Ditambah dengan banyaknya anak-anak Indonesia yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Tentunya itu tidak sesuai dengan mandat EFA dari UNESCO. Di sisi lain masih banyak kasus program sekolah gratis yang mampu memberikan outcome baik bagi siswanya. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kualitas dalam pendidikan gratis yaitu upaya pemerintah serta partisipasi masyarakat. Menilik dari apa yang dilakukan Jerman, suatu negara dapat menerapkan pendidikan gratis dan murah namun tidak mengesampingkan kualitas pendidikan, sehingga pada akhirnya dapat berimbas positif pada kualitas SDM.

 

Kebijakan pendidikan di daerah yang cukup menonjol sebenarnya terjadi di Sulawesi Selatan. Yakni, pada awal Nurdin Abdullah terpilih sebagai Gubernur pada Pilkada 2018. Ia mengungkapkan akan mengesampingkan pendidikan gratis dibandingkan dengan pendidikan berkualitas. Seakan program sekolah gratis akan akan berbanding terbalik dengan kualitas SDM.

 

“Sekarang kita butuh pendidikan berkualitas untuk meningkatkan sumber daya berkualitas. Kita tidak bicara lagi pendidikan gratis. Kita bicarakan pendidikan berkualitas untuk menghasilkan SDM berkualitas,” ujar Nurdin kala itu jelang Pilkada Sulsel.

 

Ucapan Nurdin Abdullah tersebut seakan melihat kondisi pendidikan Indonesia secara kasat mata. Nyatanya masih terdapat anak-anak Indonesia yang tidak mampu mengenyam proses belajar mengajar di sekolah. Nurdin sendiri kini telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus suap dan gratifikasi, serta telah sah diberhentikan sebagai Gubernur Sulawesi Selatan pada Januari 2022.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan laporan bahwa terdapat sejumlah kenaikan pada angka anak putus sekolah berdasarkan jenjang menengah yaitu SMP, dan terutama SMA pada periode 2021-2022. Secara lebih spesifik, angka putus sekolah SMA meningkat menjadi 1,38% di 2022. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 13 dari 1.000 penduduk yang tidak mampu mengenyam pendidikan sekolah pada jenjang ini.

 

Persentase ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 1,12 persen, nilainya juga meningkat sebesar 0,26 persen.

 

Kemudian pada jenjang SMP, angka putus sekolah mencapai 1,06 persen pada tahun 2022. Persentase ini juga meningkat sebesar 0,16 persen dibandingkan 2021 yaitu sebesar 0,90 persen.

 

Tentunya hal-hal ini tidak sesuai dengan mandat EFA (Education For All) dari UNESCO. Berdasarkan laman resminya, negara anggota diminta untuk memenuhi enam sasaran.

 

Berkaitan dengan kualitas dan pendidikan gratis, poin (b) ialah negara anggota harus menjamin setiap anak memperoleh akses wajib belajar secara komplit, gratis, dan berkualitas baik.

 

Kemudian poin (f) ialah meningkatkan semua aspek kualitas dan keunggulan untuk semua. Sehingga hasil pembelajaran yang diakui dan terukur dapat dicapai setiap orang, terutama dalam kewicaksaraan, numeralisasi, dan keterampilan hidup penting

 

Meski fenomena anak putus sekolah melanda daerah-daerah di Indonesia, tak semua kepala daerah memilih kebijakan pendidikan gratis untuk meningkatkan akses terhadap hak pendidikan bagi anak-anak di Indonesia.

 

Di sisi lain, terdapat beberapa fenomena dimana program sekolah gratis mampu memberikan outcome peningkatan kualitas siswanya. Salah satunya adalah SMK/SMA Mandara Bali.

 

Dosen Tetap Universitas Pendidikan Nasional, Gede Suardana mengatakan bahwa siswa di sekolah semi-boarding tersebut, 97 persen siswa berlatarbelakang sangat miskin, kemudian 90 persen diantaranya memiliki intelektual di bawah rata-rata.

 

Namun sekolah gratis untuk masyarakat miskin tersebut telah meloloskan 96,7 persen siswanya ke perguruan tinggi negeri dan ikatan dinas. Tentu angka ini seakan berbicara keefektifan sekolah gratis tersebut.

 

Sebuah jurnal mengenai program sekolah gratis di Blitar menunjukkan bahwa program sekolah gratis dinilai meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kenaikan persentase angka kelulusan serta kualifikasi dan kinerja guru, di sisi lain angka putus sekolah mengalami penurunan

 

Hal tersebut sebagaimana ditulis oleh Tutut Wahyuni dalam jurnalnya yang berjudul “Sekolah Gratis Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pemangunan Manusia (Studi Di Kota Blitar, Jawa Timur)”

 

“Penerapan program sekolah gratis di lingkungan sekolah memiliki pengaruh yang cukup besar” tulis Tutut Wahyuni di dalam jurnalnya.

 

Sebuah naskah akademis lainnya menggambarkan implementasi pendidikan gratis di ibukota dan sekitarnya. Dalam tulisan karya pakar pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Asep Ediana Latip berjudul “Analisis Mutu Implementasi Pendidikan Gratis Di Jabodetabek”, pemenuhan standar kualitas pendidikan yang baik dinilai dari input, proses, output, dan outcome. Berdasarkan akreditasi, mutu sekolah gratis di Jabodetabek juga memperoleh nilai A.

 

“Implementasi pendidikan gratis di Jabodetabek dengan standar mutunya tetap memiliki partisipasi dari masyarakat, memiliki kepuasan atas lulusannya, dan terbantu dari pembiyaan pendidikan secara gratis” tulis Asep Ediana Latip.

 

Gambaran-gambaran implementasi sekolah gratis di atas tampaknya membantah ucapan dari Nurdin Abdullah yang kini telah menjadi tahanan KPK. Hal tersebut menunjukan bahwa pengejaran kualitas tidak serta merta mengesampingkan program sekolah gratis.

 

Lektor Kepala Pendidikan Islam IAIN Curup, Abdul Rahman menilai Kualitas pendidikan dapat menjadi kendala dari konsep sekolah gratis jika tidak memenuhi dua hal yaitu lemahnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat khususnya orang tua di sekolah.

 

Hal itu Abdul Rahman tuliskan dalam jurnal yang berjudul jurnal “Mampukah Sekolah Gratis Mencapai Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan?”

 

“Hal berbeda terjadi Ketika masyarakat masih dilibatkan dalam pembiayaan pendidikan, orang merasa kecewa, marah dan bahkan meluapkan emosi ketika anaknya gagal dalam pendidikan,” tulis Abdul Rahman.

 

Abdul Rahman menuliskan juga dalam naskah tersebut, sebuah penilaian bahwa upaya pemerintah tersebut masih dalam taraf standar minimum dalam memenuhi program sekolah gratis. Terlebih masyarakat menganggap kualitas pendidikan di sekolah akan sangat baik karena dibiayai oleh pemerintah. Bahayanya, anggapan seperti itu dapat melemahkan partisipasi orang tua dalam pendidikan anak.

 

“Masyarakat telah dikejutkan dan mengubah pola pikir jadi menganggap semua gratis dan berkualitas karena telah dibiayai oleh pemerintah, sedangkan pemerintah sendiri baru mampu membiayai dengan standar minimal” tulis Abdul Rahman.

 

Pakar pendidikan Universitas Negeri Malang, Asep Sunandar, menyebutkan jika pemberian fasilitas pendukung yang lebih baik dapat meningkatkan motivasi pelajar siswa, kemudian kedua aspek tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa. Tentunya fasilitas sekolah dapat didukung melalui upaya pemerintah yang maksimal.

 

Hal tersebut ia tulis dalam “Hubungan Pemberian Fasilitas Pendukung Pendidikan Gratis dengan Motivasi Belajar Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama”



Menilik Pendidikan Gratis di Jerman

Jika menilik negeri lain, Jerman merupakan salah satu negara yang menerapkan pendidikan gratis.

 

Di ambil dari berbagai sumber, sistem pendidikan Jerman menerapkan sekolah gratis mulai dari jenjang primer (dasar), sekunder (menengah), hingga tersier (perguruan tinggi) di lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah, atau biasa disebut sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri. Terkecuali pendidikan Taman Kanak-kanak (TK).

 

Meskipun demikian, Pemerintah Jerman tetap menawarkan pendidikan yang berkualitas tinggi. Sehingga mayoritas anak-anak di Jerman menjalani proses belajar di sekolah negeri. Dari 8.4 juta pelajar, hanya 750 ribu yang menempuh pendidikan swasta selama tahun ajaran 2016-2017.

 

Kemudian dari sisi pendidikan tersier, perbagai universitas negeri di Jerman hanya akan mengenakan biaya administrasi hanya sebesar 100-350 Euro per semester untuk kebutuhan mahasiswa.

 

Angka tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pendidikan di sebagian besar negara Eropa. Misalnya perguruan tinggi negeri di Inggris yang menetapkan biaya pendidikan berkisar 5.500-10.200 Euro per tahun.

 

Tentu tidak dapat dipungkiri jika kualitas sumber daya manusia hasil di Jerman sangat baik. Berdasarkan skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang dianalisis oleh OECD pada tahun 2018. Pendidikan di Jerman memenuhi standar diatas rata rata.

 

Skor PISA di bidang Matematika mencapai nilai 500, di bidang sains SDM di Jerman memperoleh skor 503, kemudian 498 dalam bidang membaca. Sehingga total skor yang didapat ialah 500,3.

 

Dari segi kualitas SDM secara kesuluruhan, berdasarkan laporan dari United Nations Development Programme (UNDP) pada 2021, Jerman memperoleh nilai Human Development Index (HDI) hampir sempurna yaitu 0.942 dengan menduduki peringkat 9 dari 191 negara, melampaui Belanda (10),Singapura (12), Inggris (18), Jepang (19) dan Prancis (28). 

 

Kemudian berdasarkan penilaian dari QS (Quacquarelli Symonds) dan CWUR (Center for World University Rankings), sejumlah perguruan-perguruan tinggi di Jerman banyak yang masuk 100 besar peringkat dunia.

 

Berdasarkan data-data diatas, Jerman telah berhasil menjadi contoh yang baik dalam menerapkan pendidikan gratis dan murah namun tidak mengesampingkan kualitas pendidikan. Sehingga, menghasilkan dampak yang positif terhadap sumber daya manusia di negara tersebut.  

 

Kabar baiknya, Pemerintah Indonesia telah menetapkan penguatan kualitas SDM menjadi salah satu dari enam fokus prioritas pelaksanaan APBN di 2023. Sehingga dapat diharapkan optimalisasi peningkatan kualitas pendidikan.

 

Dengan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses belajar anak di sekolah maupun dirumah, upaya pemerintah dalam memberikan fasilitas yang baik kepada pelajar dirasa akan lebih maksimal. Sehingga setiap anak-anak di negeri ini mampu mengenyam pendidikan sekaligus meningkat kualitasnya sebagai sumber daya manusia Indonesia. (*)

Jurnalis :Ade Pamungkas
Editor :Gery Gugustomo
Illustrator :Bagus Maulana
Infografis :Bagus Maulana
side ads
side ads