top ads
Home / Telik / Pemerintah / Pemerintah Atasi Polusi Jakarta: Cari Solusi atau Akal-akalan?

Pemerintah

  • 96

Pemerintah Atasi Polusi Jakarta: Cari Solusi atau Akal-akalan?

  • September 13, 2023
Pemerintah Atasi Polusi Jakarta: Cari Solusi atau Akal-akalan?

Jakarta polutif! Narasi yang bergulir belakangan ini dinilai gimmick untuk kepentingan tertentu. Fakta data, polusi di ibu kota Indonesia ini sudah terjadi sejak era 1990-an. Berbagai upaya penanggulangan belum menyentuh aspek fundamental. Memang, kendaraan bermotor hingga sejauh ini menjadi kontributor utama polusi di perkotaan.

 

 

Isu polusi masih menghantui masyarakat Jakarta. Musim kemarau yang datang sejak beberapa bulan lalu memperparah kondisi buruknya udara Jakarta. Tak hanya itu, sejak Maret 2023, situs seperti Nafas dan IQAir tak jarang menempatkan kualitas udara Jakarta dalam kondisi merah atau tidak sehat.

 

Sejumlah upaya dilakukan pemerintah untuk menanggulangi udara di Jakarta yang kian mencekik. Kendati demikian, kritik pun terus bermunculan imbas pemerintah yang dinilai menerapkan penanggulangan solusi jangka pendek dan tak kunjung menerapkan solusi jangka panjang.

 

Sumber polusi Jakarta yang beragam pun menjadi tantangan berbagai pihak untuk menanggulangi isu ini dengan serius. Mulai dari penyediaan ruang terbuka hijau hingga rekayasa lalu lintas yang bisa membuat jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi per harinya berkurang.

 

Berdasarkan data Electronic Registration Identification (ERI) Korps Lalu Lintas Polri, ada 22,97 juta unit kendaraan di sejumlah wilayah Jabodetabek atau wilayah hukum Polda Metro Jaya hingga akhir Agustus 2023. Mayoritas jumlah kendaraan tersebut berupa sepeda motor yang mencapai 18,28 juta unit kendaraan. Jumlah itu setara 79,85% dari total kendaraan yang tercatat di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Data itu menunjukkan, sektor transportasi berkontribusi sebesar 44% dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, diikuti industri energi 31%, lalu manufaktur industri 10%, sektor perumahan 14%, dan komersial 1%.

 

 

 

Dari sisi penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar, disebutkan disumbang dari sektor transportasi sebesar 96,36% atau 28.317 ton per tahun, disusul pembangkit listrik 1,76% atau 5.252 ton per tahun dan industri 1,25% mencapai 3.738 ton per tahun.

 

 

Sepeda motor merupakan menghasilkan beban pencemaran per penumpang paling tinggi dibanding mobil pribadi bensin, mobil pribadi solar, mobil penumpang, dan bus. DKI Jakarta tercatat memiliki pertumbuhan 1.046.837 sepeda motor per tahun.

 

Menanggapi hal ini, pengamat transportasi Deddy Herlambang menyatakan pandangannya terkait kendaraan bermotor yang digadang-gadang menjadi sumber utama polusi. Menurutnya, pemerintah memiliki kesalahan dalam menerapkan kebijakan subsidi bahan bakar minyak yang buruk yang memperparah kondisi udara Jakarta.

 

“Heran kenapa kita malah produksi BBM yang buruk kualitasnya. Justru mayoritas motor, mobil, itu mayoritas beli pertalite. Nah sementara pertalite sendiri disubsidi,” ujar Deddy kepada Kuatbaca.com melalui sambungan telepon belum lama ini.

 

Selain memberikan subsidi kepada BBM berkualitas buruk, pemerintah juga dinilai keliru untuk memberikan subsidi pada kendaraan Low-Cost Green Car yang bisa menyebabkan kemacetan. Akibat kebijakan ini lingkungan serta alam menjadi korban penggenjotan sektor industri otomotif.

 

“Pemerintah itu salah sendiri kok, bukan salah rakyat bukan salah masyarakat. Pemerintahnya sendiri. Tidak ada batasan mengenai penggunaan kendaraan pribadi,” terang Deddy.

 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020 sebanyak 51,24% pekerja komuter Indonesia menggunakan kendaraan pribadi atau dinas. Sementara pengguna kendaraan umum lebih kecil, yakni 41,93%. Proporsi tersebut mengalami pergeseran dibanding tahun sebelumnya. Pada 2019 pengguna kendaraan pribadinya lebih banyak lagi, yakni 83,76%, sedangkan pengguna kendaraan umum 11,81%.

  

 

Cara masyarakat bertransportasi ini harus menjadi perhatian pemerintah. Sektor transportasi yang menjadi penyebab polusi udara kota memang tidak terlepas dari cara masyarakat bertransportasi. Di Jepang, masyarakat mayoritas bertransportasi dengan kendaraan yang memberikan implikasi jangka panjang; kotanya relatif tidak terlalu polutif, hemat energi (BBM) dan jalanan kota terhindar dari kemacetan parah.

 

“Parkir yang mahal juga itu bisa membatasi (penggunaan kendaraan bermotor). Katakanlah di Jepang, misal satu jam itu Rp100.000. Jadi bisa dibatasi. Makanya di Jepang itu mobil tidak laku, mereka itu menjualnya ke negara berkembang. Seperti di kita, di Asia Tenggara,” jelas Deddy.

 

Sementara di Hong Kong, tutur Deddy, sebanyak lebih dari 90 persen masyarakatnya menggunakan transportasi umum. Sementara di Indonesia, khususnya di Jakarta dan kota-kota penyangga, masyarakatnya belum memiliki kesadaran untuk menggunakan transportasi umum massal.

 

“Di Hong Kong itu benar-benar orang kaya yang menggunakan mobil. Karena mereka mampu membayar pajak dan mereka mampu bayar parkir, di Hong Kong itu lebih banyak busnya dan keretanya dibandingkan mobil. Kebalikannya itu dengan di Jakarta,” tutur Deddy.

 

Masyarakat Indonesia yang lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi berimbas pada jalanan yang menjadi padat, macet, dan tentu saja menjadi penyebab polusi udara yang membahayakan.

 

“Mereka bisa menggunakan angkutan umum. Bukan masalah si kaya atau si miskin. Kita kan masih ada stigma, masih ada paradoks yang naik angkutan umum itu si miskin, ya nggak juga. Di Hong Kong taipan kaya yang punya apartemen yang punya bank naik kereta mereka gak masalah,” ungkap Deddy.

 

Strategi push and pull, kata Deddy, juga penting untuk mengurangi polusi yang menghantui Jakarta. Push adalah bagaimana cara menekan atau membatasi kendaraan pribadi. Lalu, pull adalah cara menarik masyarakat menggunakan kendaraan umum.

 

"Kita kan sudah banyak bus Rapid Transit (BRT), TransJakarta seperti itu, baik Metro Trans, Mini Trans, Mikro Trans. MRT juga itu kan belum optimal, kalau kemarin press conference Menhub itu sehari bisa 180 (ribu penumpang) tapi sementara itu (penumpang) 80 (ribu),” paparnya.

 

“Kalau dalam hitungan saya, sehari bisa lebih dari 180 (ribu), jumlah itu kan load factor 1 persen, kalau angkutan massal itu bisa sampai 200 persen. Kalau hitungan saya LRT itu bisa 250 (persen) per hari. Kalau KRL itu bisa sampai 300 (persen) juga. Saat ini KRL sepenuhnya itu 200-250 (persen). Jadi memang KRL itu bisa sampai 300 persen,” sambung Deddy.

 

Senada dengan Deddy, Muhammad Aminullah selaku Aktivis Walhi Jakarta, menyoroti langkah pemerintah yang kurang efektif menanggulangi polusi Jakarta. Seperti kebijakan Work From Home (WFH) untuk 50 persen Aparatur Negeri Sipil (ASN) yang dikatakan bisa mengurangai polusi udara Jakarta serta mengurai kemacetan KTT ASEAN.

 

“Ini jauh dibilang tepat dari langkah mengendalikan polusi. Yang pertama dia itu sumbernya tidak tersentuh, itu hanya bersifat sementara saja. ASN pun kalau dijumlah itu kan sekitar 30.000. Angka itu kita gak bisa jamin apa dia diam di rumah atau bekerja di tempat lain,” beber pria yang akrab disapa Anca tersebut kepada Kuatbaca.com melalui sambungan telepon belum lama ini.

 

Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta yang diketahui berjumlah 22 juta unit tak sebanding dengan 30.000 ASN yang menerapkan kebijakan WFH. Kebijakan jangka pendek ini, tutur Anca, tidak masuk akal dan hanya gimmick dari pemerintah.

 

“Kebijakannya short term dan tidak masuk akal dari apa yang diharapkan. Polusi udara itu sudah jauh kita suarakan di WALHI dari tahun 90an, sekarang perkembangan keresahan di publik itu menguat dan kami rasa itu hanya gimmick aja,” jelas Anca.

 

“Menurut kami itu sebuah upaya mengurai kemacetan KTT ASEAN saja. Mereka mengondisikan itu, polusi udara kebetulan sedang naik beritanya ya sudah mereka lakukan. Mereka malu dan mau mengurai kemacetan KTT ASEAN,” sambung dia.

 

Anca juga menyayangkan pada 2023 Jakarta hanya memiliki sekitar 5 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang merupakan RTH yang tersisa pada 1970-an yakni sekitar 37 persen RTH. Hal ini merupakan sebuah tamparan keras bagi pemerintah.

 

“Banyak yang bilang polusi udara juga disebabkan gedung-gedung tinggi. Adanya gedung-gedung tinggi pun itu kontribusi mereka. Kalau kita bicara hutan lindung gitu ya, jangankan RTH, mereka (pemerintah) itu kurang kuat perlindungannya pada hutan lindung yang ada,” jelas dia.

 

Pihaknya, tutur Anca, menyayangkan tindakan pemerintah yang kerap berlaku kontradiktif dari peraturan yang sudah dibuat. Pasalnya, kawasan green belt atau zona bebas bangunan yang seharusnya bebas dari pembangunan komersil malah kerap dilanggar.

 

“Yang seharusnya jadi green belt itu jadi bangunan semua. Sudah jadi apartemen, hotel, mall. Itu kan tidak lepas dari peran pemerintah. Makanya di RTH kita selalu bilang kalau pemerintah itu kontradiktif, mereka selalu buat peraturan yang merusak lingkungan,” bebernya.

 

Sementara itu, masyarakat kerap dibebankan ketika masalah sudah mulai mencuat. Seperti pelarangan penggunaan kendaraan bermotor dan kebijakan WFH. “Kami memandang mereka tidak becus, mereka tidak punya wawasan dan dukungan dalam mengelola kota di Jakarta,” imbuh Anca.



RTH juga penting untuk membentuk kebiasaan warga untuk mau berjalan kaki. Apalagi Anca menilai masyarakat sebenarnya tak mempermasalahkan untuk berjalan kaki jika lingkungan dan akses mendukung.

 

“RTH itu vital, selain untuk menyerap karbon, meski tidak semua polutan bisa diserap oleh pohon, tapi setidaknya, kalau RTH-nya dan taman banyak, warga Jakarta akan senang jalan kaki. Kan masalah kita naik kendaraan bermotor itu kan ke halte harus jalan, jalanannya panas, trotoarnya tidak enak, belum lagi soal keamanan,” bebernya.

 

Terakhir, Anca turut memberikan pandangannya soal kendaraan listrik yang digadang-gadang menjadi solusi pengurangan polusi Jakarta. Namun, penggunaan kendaraan listrik ini dinilai tidak adil lantaran tidak menjawab permasalahan Jakarta dan berpotensi merusak lingkungan di daerah lain.

 

“Kendaraan listrik ini tidak menjawab permasalahan Jakarta, terutama dari penggunaannya saja dari batubara, itu dari fosil. Nah, kalau motor listrik itu tidak laku masyarakat tidak tertarik dengan kendaraan bermotor," paparnya.

 

"Jangan-jangan masyarakat sadar kendaraan bermotor itu akal-akalan pemerintah saja, pemerintah itu mencari solusi yang bisa menguntungkan pemerintah. Menjual kendaraan bermotor,” sambung Anca.

 

Sebagai informasi, mobil listrik telah mencapai rekor penjualan global, yakni lebih dari 10 juta, pada tahun 2022. Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan bahwa angka tersebut dapat meningkat hingga 35% pada tahun 2023.

 

Di saat negara memaksa perusahaan pertambangan untuk melakukan penilaian dampak lingkungan untuk konsesi pertambangan, sebagian besar perusahaan justru tidak memasukkan dampak tidak langsung. Dampak langsung adalah kegiatan di dalam konsesi pertambangan, misalnya, lokasi ekstraksi dan pembuangan batuan sisa.

 

Akibatnya, permintaan akan pasokan baterai dan material lainnya meningkat pesat. Kendaraan listrik yang dijalankan dengan baterai yang biasanya terbuat dari lithium, kobalt, dan nikel. Pada tahun 2022, permintaan 60% lithium, 30% kobalt, dan 10% nikel hanya untuk baterai kendaraan listrik.

 

Sahamnya berkisar antara 15%, 10%, dan 2% pada tahun 2017.

 

“Itu bahkan jahat sekali kalau kami bilang, mengatasi polusi udara dengan kendaraan listrik. Klaimnya itu minim emisi, sangat ramah lingkungan. Itu sangat jahat, kita harus merusak lingkungan orang lain untuk mengatasi udara di Jakarta. Tambang nikel dan tambang di luar Jakarta, di Sumatera, di Sulawesi itu menjadi sumber (bahan baku) kendaraan listrik di Indonesia,” beber Anca.

 

Solusi untuk menanggulangi polusi Jakarta, tutur dia, memang diperlukan. Hanya saja cara yang adil dan tidak merugikan lingkungan lebih baik diterapkan. Sehingga tidak akan timbul masalah baru yang merugikan masyarakat ke depannya. (*)

Jurnalis :Arvi Resvanty
Editor :Jajang Yanuar
Illustrator :Rahma Monika
Infografis :Rahma Monika
side ads
side ads