“Kasus pemerkosaan di Indonesia, memicu tingkat aborsi dan bunuh diri dari para korban, baik paksaan atau kemauan diri sendiri. Kasus pemerkosaan terus mengemuka yang dilakukan secara brutal, bahkan dilakukan oleh sejumlah profesi yang terhormat.”
Pemerkosaan adalah tindak pidana yang menimbulkan dampak traumatis bagi korbannya. Dampak ini dapat dikatakan paling berisiko bagi korban, jika dibandingkan dengan kehilangan harta benda. Sisi psikologi manusia adalah harta satu-satunya yang melekat dalam laku hidup manusia.
Kejadian terbaru di Mojokerto, terjadi pada mahasiswa Universitas Brawijaya yang mengkhiri hidupnya agar terbebas dari derita pasca diperkosa oleh sang pacar. Apalagi, sang pacar merupakan anggota kepolisian. Kejadian terbaru lainnya di Bandung, seorang gadis dibawah umur yang diculik kemudian diperkosa beramai-ramai, kemudian dijual kepada 20 pelanggan.
Itu mungkin hanya beberapa kasus yang terekspos, kasus perkosaan di Indonesia sebenarnya mencapai angka peningkatan 58 persen dari total 3.602 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah publik atau komunitas. Kasus itu meliputi pencabulan 531 kasus, perkosaan 715 kasus, pelecehan seksual 522 kasus, dan persetubuhan 176 kasus dalam berapa tahun terakhir.
Kasus yang lebih menggegerkan publik, kasus pemilik pondok pesantren yang mencabuli santriwati yang masih berusia belasan tahun. Jumlah korbannya mencapai 13 orang, 4 pernah hamil dan melahirkan.
Jika dibandingkan dengan tren kejahatan lainnya, kejahatan berupa kekerasan terhadap perempuan sangatlah tinggi, terlebih pada tindak perkosaan yang dilakukan oleh para tersangka yang memiliki status sosial tertentu di masyarakat.
Kondisi demikian membuat para korban memerlukan pendampingan yang baik dari orang-orang disekitar, terutama keluarganya. Disamping itu, kondisi para korban harus mendapat sentuhan dan bantuan dari Psikolog.
Hal ini mungkin belum familiar di Indonesia, tapi di negara maju, korban perkosaan mendapat perlindungan dan bantuan untuk memulihkan kembali kondisi psikologis korban pasca kejadian perkosaan.
Memang sulit bagi korban perkosaan untuk mengakui bahwa dirinya korban. Dari berbagai kasus, tindak perkosaan terjadi dalam kondisi tertekan, dilakukan di temnpat tertutup, berselimut bujuk rayu, berlindung di balik hubungan, kawin siri, dalam kondisi mabuk, dan yang lebih parahnya lagi tidak adanya saksi mata untuk kejadian perkosaan ini.
Problema seperti ini yang membuat para korban perkosaan sulit untuk mendapatkan keadilan, perlindungan dari perbuatan bejat orang yang tidak bertanggung jawab.
Pengungkapan pihak kepolisian terhadap berbagai kasus perkosaan sebenarnya patut diapresiasi. Misalnya, pada kasus perkosaan penyandang disabilitas di Yogyakarta beberapa waktu silam. Tindakan ini dilakukan oleh seorang tetangga yang sudah berusia senja, pelaku melakukan tindakan bejatnya kepada korban yang adalah penyandang disabilitas sejak kecil.
Jadi kesamaan para korban dalam perkosaan, adalah ketidakberdayaan. Situasi terhimpit membuat para korban menjadi tertekan, dan dalam tekanan itu membuat korban menjadi depresi yang sangat luar biasa.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi bercerita, apa yang sudah dilakukan Komnas Perempuan bagi NWR, mahasiswi Universitas Brawijaya Malang yang menjadi korban kekerasan seksual dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Siti tak bisa menyembunyikan rasa penyesalannya, karena pihaknya merasa terlambat dalam merespon dan menangani pengaduan yang disampaikan NWR. NWR mengadukan kekerasan dalam pacaran yang dialaminya kepada Komnas Perempuan pada Agustus 2021, namun konselor Komnas Perempuan baru terhubung dengan korban pada awal November 2021.
Kondisi ini tak lepas dari kendala yang dialami Komnas Perempuan dan penyedia layanan pendampingan bagi korban kekerasan seksual yang selama ini menjadi rujukan Komnas Perempuan, yakni sama-sama kewalahan dengan banyaknya pengaduan yang masuk.
“Untuk masuk ke tahap verifikasi, pengaduan yang masuk kadang harus menunggu selama dua bulan,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam jumpa pers pada Senin (6/12/2021) sore.
Kasus pelecehan seksual seperti tak berujung, ini kerap terjadi di berbagai lingkungan masyarakat. Seperti halnya yang terjadi di instansi pendidikan Universitas Riau (Unri).
Salah satu mahasiswi angkatan 2018 berinisial L mengalami pelecehan seksual oleh dosennya sendiri. Menanggapi itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek Nizam menilai regulasi aturan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sangat urgent. Aktualisasi Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS diharapkan menjadi perhatian utama.
Misalnya, dalam Pasal 2, tujuan regulasi ini sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus dan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus di perguruan tinggi.
“Kemdikbudristek tidak memberi toleransi atas kekerasan dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Institusi pendidikan yang baik adalah melindungi warganya dari kejahatan dan kekerasan seksual,” tutur Nizam, Senin (8/11/2021).
Pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan yakni Pasal 289 hingga Pasal 296 KUHP dengan hukuman paling lama 5 tahun penjara. Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.
Dari kajian pasal yang berlaku bagi para pelaku, ada yang dirasa kurang pas, apabila korban tidak mendapatkan keadilan yang layak.
Para korban perkosaan pun harus mendapat bantuan berupa pendampingan untuk mengembalikan mental untuk dapat kembali pada kenyataan hidup yang ia dijalani.
“Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga bagi kita semua. Mendidik publik untuk mendukung korban dan mendesak negara agar sungguh-sungguh membangun secara berkelanjutan infrastruktur dan sistem layanan pemulihan korban. Adalah tanggung jawab kita semua agar kisah NWR menjadi kisah pilu darurat kekerasan seksual yang terakhir,” tandas Andy Yentriyani dalam Konferensi pers di Jakarta, Senin (6/12/2021).
Semua tangan harus merangkul dan merawat korban. Komnas Perempuan menyerukan agar kasus pelecehan seksual ini menjadi momentum bagi negara untuk segera membenahi diri, termasuk menyegarakan RUU TPKS, dan mengembangkan dukungan pemulihan bagi korban di tingkat nasional pun daerah.
Komnas perempuan berkomitmen untuk terus memperbaiki internal mereka demi keadilan, dan pemulihan bagi korban, dan meningkatkan upaya untuk menggalang dukungan lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan.
“Komitmen kami tidak akan pernah kendur, demi keadilan dan pemulihan korban atas nama kemanusiaan agar tidak ada lagi NWR yang lain,” tutup Andy. (*)