SidebarKanan
Kesehatan

Ruwet Mengelola RSUD

Kuatbaca

16 September 2022 10:08

Test

“Kurangnya jumlah dokter umum maupun spesialis di Indonesia menjadi keruwetan tersendiri dalam mengelola rumah sakit, demi memberikan layanan kesehatan yang optimal kepada masyarakat. Di tengah kendala tersebut berbagai pihak justru malah memperbanyak pembangunan RS di daerah. Di sisi lain wacana penghapusan kelas oleh BPJS ternyata dikeluhkan oleh pihak pengelola rumah sakit di sejumlah daerah, meskipun demikian keteguhan BPJS untuk memenuhi prinsip keadilan sosial dalam memberikan layanan kesehatan secara universal ternyata dinilai positif oleh masyarakat.”

 

Belum lama ini Presiden Joko Widodo turut prihatin pada banyaknya warga Indonesia yang berobat ke luar negeri oleh karena itu ia menegaskan kepada semua pihak terkait untuk terus meningkatkan kualitas dan pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia.

 

“Semua agenda tersebut harus ditopang oleh manusia Indonesia yang unggul. Untuk itu, dibidang kesehatan, stunting harus cepat dipangkas. Layanan promotif dan preventif serta layanan pengobatan harus semakin kuat dan merata,” ujar Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR RI 2022, di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa (16/08/2022).

 

Tentunya rumah sakit (RS) merupakan salah satu garda utama dalam memberikan pelayanan kesehatan optimal di seluruh Indonesia. Namun untuk saat ini kecukupan dan pemerataan jumlah dokter umum maupun spesialis masih menjadi kendala bagi RS untuk mencapai pemenuhan standar pengelolaan RS bedasarkan rekomendasi WHO maupun aturan pemerintah.

 

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa Indonesia masih kekurangan dokter berdasarkan standar WHO. Oleh sebab itu, Menkes ingin mempercepat pemenuhan jumlah dokter dengan meningkatkan kuota mahasiswa kedokteran.

 

“Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dari seribu populasi penduduk diperlukan satu dokter. Sementara itu, menurut dinas kesehatan, Indonesia baru memiliki 110 ribu dokter sehingga butuh 160 ribu lulusan kedokteran dari 92 Fakultas Kedokteran. Untuk mencapai ini kita butuh 14 tahun,” kata Budi Gunadi, Selasa (12/07/2022).

 

Disaat yang berbeda, Budi Gunadi mengatakan bahwa terdapat 302 dari 608 atau sekitar 48,9% rumah sakit umum daerah (RSUD) kelas C dan D di seluruh Indonesia yang belum memiliki dokter spesialis.

 

Jadi rumah sakit umum daerah itu ada standarnya, dia harus memiliki 7 jenis dokter spesialis," sahut Budi Gunadi, Jum’at (29/04/2022).

 

Mengacu pada Permenkes No 30 Thn 2019, Budi Gunadi mengatakan bahwa RSUD tersebut standarnya ialah harus memiliki empat dokter spesialis dasar yaitu yang memenuhi spesialis anak, obgyn (obstetri atau ginekologi), bedah, dan penyakit dalam. Serta 3 dokter spesialis lain untuk menunjang pelayanan kesehatan anestesi, radiologi, dan patologi.

 

Belum sampai disitu, sebaran dokter yang tidak merata juga menjadi kendala berbagai pelayanan kesehatan di berbagai daerah. Sekertaris Jenderal PB IDI Moh Adib Khumaidi mengatakan jika sebaran dokter justru lebih banyak menumpuk di kota-kota besar khususnya di Pulau Jawa.

 

Bedasarkan pada perhitungan beban kerja ideal dokter yang ditetapkan pemerintah, yaitu dengan rasio yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk dengan asumsi 20 persennya sakit, luas wilayah, beban kerja, dan waktu layanan, maka ditemukan bahwa rasio 1 satu dokter dapat memenuhi pelayanan 2.500 penduduk.

 

"Mereka umumnya terkumpul di kota besar dan provinsi tertentu. Sebagai perbandingan, di DKI Jakarta, sebagai provinsi dengan rasio dokter terbaik, satu dokter menangani 608 penduduk. Di Sulawesi Barat, provinsi dengan rasio terburuk, satu dokter mengurusi 10.417 penduduk," jelas Adib Khumaidi, Kamis (30/04/2020).




Berlomba-Lomba Bangun Rumah Sakit

Meskipun Indonesia masih kekurangan dokter, tetapi berbagai instansi pemerintah maupun BUMN justru berlomba-lomba membangun RS di sejumlah daerah, termasuk di pelosok-pelosok Indonesia.

 

Berdasarkan pantauan dari Tambang Data KuatBaca.com, terekam tujuh instansi yang mewacanakan pembangunan RS di berbagai daerah selama periode 2020-2022, namun kebanyakan darinya ialah RS tipe C dan D.

 

Instansi-instansi tersebut adalah Kementerian Kesehatan; Kementerian Pertahanan dan Tentara Negara Indonesia; Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Kementerian Badan Koordinasi Penanaman Modal; PT Hutama Karya; dan beberapa Pemerintah Daerah (DI Yogyakarta, Banten, Musi Bawas, Merauke).

 

Beberapa Pemerintah Daerah juga mengadakan penambahan fasilitas kesehatan (faskes) dalam pengelolaan RS. Mulai dari Balai Kesehatan Mata di Ambon; layanan kesehatan dampak kerusuhan di Mareje, NTB, Posyandu Primer di Garut dan Surabaya, dan pembangunan ICVCU di RSUD Simpang Lima Gumul Kediri.

 

Pembangunan-pembangunan RS tersebut bergeser dari perhatian utama Kemenkes terhadap ketersediaan dokter. Terlebih lagi Budi Gunadi juga sempat mengatakan bahwa masih terdapat 53% Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang masih belum mampu memenuhi standar sembilan tenaga kesehatan (nakes). Perlu adanya perhitungan yang tepat antara pembangunan RS dengan ketersediaan dokter.

 

“Menurut kami, tanpa ketersediaan tenaga kesehatan yang memadai dan terdistribusi merata baik dari sisi jenis, kemudian jumlah maupun kompetensinya, fasilitas kesehatan tidak akan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang optimal,” ujar Direktur Perencanaan Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Sugiyanto, Jum’at (10/06/2022).




Tantangan Baru: Penghapusan Kelas BPJS

Belum lepas dari masalah ketersediaan dokter, kini pengelola RSUD harus menghadapi situasi baru. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) baru saja mewacanakan penghapusan kelas rawat inap dalam memberikan perawatan di setiap setiap faskes mitra. Sehingga mengubahnya menjadi penyeragaman Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

 

Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa alasan adanya wacana tersebut ialah untuk mencegah BPJS kembali defisit. Melalui penyeragaman KRIS, pemerintah berupaya mengedepankan prinsip persamaan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan baik. Sebagaimana diungkapkan oleh Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Iene Muliati.

 

"Ini dimaksudkan agar semua orang, peserta, berhak untuk mendapatkan layanan, baik medis dan non medis yang sama," ujar Iene, Senin (31/01/2022).

 

Meski demikian, hal tersebut menjadi tantangan bagi sejumlah RSUD untuk menyesuaikan pengelolaan pelayanan kesehatan dengan standar yang telah ditetapkan oleh BPJS tersebut.

 

Pihak pengelola RSUD Wamena di Kabupaten Jaya Wijaya merupakan salah satu pihak yang mengeluhkan pemberlakukan kelas atau menghilangkan kelas rawat inap dalam pelayanan kesehatan oleh BPJS.

 

"Dengan keadaan kita di Papua agak sulit di berbagai macam hal, harusnya kementerian mungkin bisa lebih bijak karena dengan adanya penyesuaian kelas standar, ini artinya kami harus punya sarana lebih baik," kata Direktur RSUD Wamena dokter Felly Sahureka, Selasa (22/06/2022).

 

Ia mengungkapkan jika kebijakan itu tetap harus diterapkan, maka akan banyak tempat tidur pasien yang harus dihilangkan atau tidak lagi digunakan seperti yang dimanfaatkan pada kelas perawatan sebelumnya.

 

Selaras dengan yang terjadi di RSUD Wamena, keluhan lain juga diutarakan oleh pengelola RSUD Kota Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pengelola RSUD harus mengubah ruangan yang sudah sesuai dengan kelasnya, menjadi ruangan dengan layanan sama.

 

"Rencana kebijakan itu, tentunya membutuhkan anggaran bagi kita untuk merubah ruang rawat inap yang sudah kita siapkan dengan berbagai fasilitas sesuai kelas," ujar Direktur Utama RSUD Kota Mataram Hj Eka Nurhayati, Senin (21/06/2022)

 

Hal ini menjadi perhatian Direktur Utama BPJS, Ali Ghufron Mukti, menurutnya wacana penghapusan kelas tersebut membutuhkan proses dan tidak bisa tergesa-gesa.

 

"Prinsip keadilan atau pemerataan juga harus dilihat. Percuma saja kalau dia itu peserta BPJS Kesehatan, tapi fasilitas kesehatan yang didapatkannya buruk. Di samping itu sisi efisiensi dan keberlangsungan program juga harus menjadi perhatian," tegas Ali Ghufron, Selasa (05/06/2022).


 

Kemudahan Akses Masyarakat Terhadap BPJS

Meskipun demikian, masyarakat secara luas merasa lebih dipermudah dalam mengakses asuransi kesehatan untuk memperoleh perawatan yang baik di faskes di berbagai daerah. Terlebih dengan adanya program Universal Health Coverage (UHC) oleh BPJS.

 

Dengan UHC, pengelolaan JKN oleh BPJS dilakukan untuk memastikan minimal 95% dari total jumlah penduduk di setiap daerah untuk mendapatkan akses finansial terhadap pelayanan Kesehatan. Masyarakat perlu mendaftarkan dirinya atau didaftarkan menjadi peserta JKN oleh pemerintah daerah setempat.

 

Sehingga masyarakat tidak mampu maupun bagi mereka yang belum terdaftar sebagai pemegang asuransi BPJS diharapkan dapat mengakses layanan kesehatan di faskes mitra BPJS, Karena biaya ditanggung oleh pemerintah daerah.

 

Bedasarkan kompilasi data dalam Tambang Data Kuatbaca.com, sejumlah pemerintah daerah telah berupaya untuk memperoleh predikat UHC. Antara lain Pemda Semarang yang telah mengucurkan RP125 miliar untuk mencapai UHC. Begitu pula Pemda Bandung yang juga telah berkomitmen akan mengeluarkan dana sebesar Rp240 miliar pada 2022.


Terdapat berbagai pemberitaan terkait pendangan positif dari warga saat mengakses asuransi BPJS untuk memperoleh layanan kesehatan di faskes. Masyarakat merasa semakin dimudahkan dalam memproleh perawatan di faskes melalui asuransi BPJS.

 

Jurnalis KuatBaca.com berkesempatan mengakses layanan kesehatan di RSUP Dr. Kariadi Kota Semarang dengan menggunakan asuransi BPJS. Pihak RS tidak membeda-bedakan calon pasien yang akan dirawat. RSUD lebih memprioritaskan pemeriksaan pasien, dibandingkan penyelesaian urusan administrasi pendaftaran  fasilitas perawatan. Hal ini menunjukan jika BPJS memperhatikan keadilan sosial dan pemerataan bagi masyarakat secara luas untuk menjangkau layanan kesehatan dengan mudah.

 

"Prinsip keadilan atau pemerataan juga harus dilihat. Percuma saja kalau dia itu peserta BPJS Kesehatan, tapi fasilitas kesehatan yang didapatkannya buruk. Di samping itu sisi efisiensi dan keberlangsungan program juga harus menjadi perhatian," tegas Direktur Utama BPJS Ali Ghufron. (*)

Jurnalis : Yuda Tri Prasetyo

Editor : Jajang Yanuar

Illustrator :

Infografis :


Komentar

Pencarian tidak ditemukan

Belum ada komentar

SidebarKanan
Kuatbaca.com

Informasi


Tentang Kami

Pedoman Media Siber

Susunan Redaksi

2023 © KuatBaca.com. Hak Cipta Dilindungi