SidebarKanan
Kesehatan

Kacau Balau Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia

Kuatbaca

14 September 2022 07:17

Test

“Kacau balau pelayanan kesehatan primer di Indonesia tergambarkan dari serangkaian kasus buruknya pelayanan kesehatan Indonesia sehingga mengakibatkan tingginya angka kematian pasien, terutama ibu dan anak. Tidak hanya itu, sejumlah faskes tidak ramah terhadap disabilitas serta kurangnya akses ke faskes. Salah satunya dicontohkan oleh masyarakat Badui yang menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk mencapai fasilitas pelayanan kesehatan primer. Sementara itu, buruknya standarisasi serta kurangnya peralatan medis juga menjadi daftar permasalahan tambahan. Baik buruknya kinerja pelayanan kesehatan primer tak lepas dari anggaran sebagai faktor pendukung.”

 

 

Indah kabar daripada rupa, mungkin pribahasa ini cocok menggambarkan kondisi kinerja pelayanan kesehatan primer di Indonesia yang jauh dari kata layak dari harapan ketimbang kondisi di lapangan.

 

Padahal pelayanan kesehatan primer merupakan prioritas Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Direktur Jenderal (Dirjen) Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Maria Endang Sumiwi mengatakan, Kemenkes berkeinginan meningkatkan pelayan kesehatan dasar (primer) dengan mendorong upaya promotif, preventif, dan pemandaatan teknologi saati ini.

 

Dikatakannya, ada lima prioritas yang perlu dibenahi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan primer yaitu, percepat perbaikan gizi masyarakat; peningkatan kesehatan ibu dan anak; memerangi penyakit seperti HIV, malaria dan TBC; membina gerakan masyarakat sehat; serta memperkuat fasilitas medis.

 

"Oleh karena itu, di antara transformasi layanan utama ini adalah mobilisasi dan pemberdayaan Germas (Gerakan Sehat untuk Hidup Sehat) dan pelatihan pengelolaan pusat layanan kesehatan," kata Maria dalam diskusi secara virtual bertajuk "Menata Masa Depan Layanan Kesehatan Primer Indonesia", Rabu (16/3/2022).

 

Namun, harapan kemenkes berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh masyarakat. Hal itu terekam dari serangkaian kasus buruknya pelayanan kesehatan Indonesia sehingga mengakibatkan tingginya angka kematian pasien, terutama ibu dan anak.

 

Baru baru ini, seorang ibu bernama Martha Manuputty (25), warga Pulau Liran, harus rela kehilangan nyawa bayinya akibat tidak ditangani secara cepat lantaran peralatan medis tidak tersedia di fasilitas kesehatan (faskes) di kabupaten Maluku Barat Daya, provinsi Maluku pada 24 Agustus 2022.

 

Martha merupakan salah satu contoh korban kacau balaunya pelayanan kesehatan di Indonesia. Merunut data dari Buku Putih Reformasi Sistem Kesehatan Nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian PPN/Bappenas pada Maret 2022 menyebutkan Angka Kematian Ibu Indonesia adalah 305 per 100.000 kelahiran (sebagai base line 2019).

 

"Kalau dibanding negara lain maka angka ini adalah cukup tinggi, karena pemodelan yang sama menunjukkan angka kematian ibu pada 2017 di Malaysia adalah 29, Thailand 37, Filipina 121, dan India 145. Jadi angka Indonesia berdasar pemodelan ini yang 177 sudah lebih tinggi dari negara-negara tetangga," tutur Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes, Prof Tjandra Yoga Aditama, Kamis (21/4/2022).

 

Tak hanya Martha yang mengalami buruknya kinerja pelayanan, warga Desa Mojokambang, Kecamatan Bandarkedungmulyo, Jombang, Jawa Timur, mengeluhkan pelayanan Puskesmas Bandarkedungmulyo. Puskesmas itu disebut memberikan obat kedaluwarsa pada balita usia 26 bulan yang sedang sakit. Kini, sakit yang dialami balita berinisial KCA itu kian memburuk.

 

“Kejadian awalnya Senin malam, 6 Juni 2022. Anak saya mengalami sakit demam, diare, dan muntah,” ungkap Kiki Niamitawitami orang tua KCA, Jum’at (10/6/2022).

 

Kasus lain juga terjadi di Kota Bengkulu, seorang pasien bernama Farida mengaku menjadi korban penolakan pelayanan kesehatan di Puskesmas Beringin Raya. Padahal, dirinya merasa harus segera mendapat pengobatan karena telah tiga hari menderita diare. Kejadian itu terjadi pada 31 Agustus 2021.

 

Di sisi lain, bukan hanya buruknya pelayanan. Di sejumlah faskes juga ternyata tidak ramah terhadap disabilitas. Hal itu diungkapkan oleh Dit Yankes Rujukan Kementerian Kesehatan, Nani Hidayanti. Ia mengatakan bahwa di Indonesia belum banyak rumah sakit yang ramah disabilitas.

 

“Permasalahan yang umum, sebagaimana juga area layanan publik lain, salah satunya belum banyak rumah sakit yang ‘ramah’ terhadap penyandang disabilitas,” kata Nani mengutip keterangan pers Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Selasa (26/7/2022).

 

Sementara itu, dari sisi aspek jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas terbilang masih relatif rendah. Menurut data Susenas tahun 2018-2020 secara nasional terdapat 26,8 persen penyandang disabilitas tidak memiliki Jaminan kesehatan. Provinsi DI Aceh dan DKI Jakarta menempati peringkat teratas yang memberikan jaminan kualitas layanan kesehatan.

 

Rendahnya jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas mempengaruhi sulitnya mendapat akses pelayanan yang ramah. Kejadian itu tergambarkan oleh pasien disabilitas kota Surabaya yang dipersulit saat berobat di Puskesmas Rangkah.

 

Setelah viral, Kepala Puskesmas Rangkah Kota Surabaya Dwiastuti Setyorini membantah dengan menyampaikan ada kesalahpahaman dalam memaknai informasi pelayanan oleh salah satu pasien disabilitas yang melakukan perawatan di Puskesmas Rangkah.

 

"Kesalahpahaman tersebut bermula, saat pasien meminta rujukan pengobatan, namun status keanggotaan BPJS-nya dalam keadaan tidak aktif," kata Dwiastuti, Minggu (3/4/2022).

 

Belum cukup buruknya pelayanan kesehatan, buruknya akses pasien ke faskes menjadi faktor lainnya dalam kekecauan kinerja pelayanan kesehatan primer di indonesia.

 

Berdasarkan data Pusdatin Puskesmas Teregistrasi Semester II Tahun 2020, ada 10.292 puskesmas yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, puskesmas yang termasuk fasilitas layanan primer rupanya tidak bisa menjangkau 270 juta penduduk Indonesia di 514 kabupaten/kota.

 

Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Maria Endang Sumiwi mengatakan, pihaknya sedang memperkuat layanan kesehatan di puskesmas, khususnya di tingkat yang lebih kecil, yakni di desa hingga RT/RW

 

“Kita mempunyai 10.292 Puskesmas, tetapi untuk 270 juta penduduk tidak bisa menjangkau semuanya. Saat ini, kami sedang dalam proses untuk memperkuat jejaring puskesmas," kata Maria dalam diskusi secara virtual bertajuk "Menata Masa Depan Layanan Kesehatan Primer Indonesia", Rabu (16/3/2022).

 

Jauh sebelum pernyataan Maria, masyarakat Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi banten mengeluhkan sulit akses pelayanan kesehatan sehingga masyarakat harus menempuh puluhan kilometer untuk mengakses faskes terdekat.

 

Untuk itu masyarakat Badui meminta pembangunan puskesmas pembantu (Pustu) di perbatasan guna memberikan pelayanan kesehatan.

 

"Kami sangat kesulitan untuk mendapatkan pelayanan medis karena jaraknya cukup jauh hingga 30 kilometer jika pergi ke Puskesmas Cisimeut, " kata Tetua Adat Badui yang juga Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Jaro Saija di Lebak, Kamis, 21 Oktober 2021.

 

Masyarakat Badui yang berpenduduk 11.800 jiwa tersebar di 68 perkampungan tentu membutuhkan pembangunan pustu. Pembangunan pustu itu di lima pintu gerbang yang masuk ke pemukiman Badui.

 

Buruknya standarisasi serta kurangnya peralatan medis juga menjadi daftar permasalahan tambahan untuk memenuhi kelayakan kinerja pelayanan kesehatan primer di Indonesia.

 

Hal itu tersurat dalam pernyataan Kepala Ruangan Alat Tenaga Medis RSUD Fakfak, Iwan Pekke, yang mengatakan alat medis berupa Computerized Tomography Scan (CT-Scan) sampai saat ini belum bisa dinikmati pasien hingga berita ini diturunkan masih rusak parah.

 

“Alat medis CT-Scan sudah rusak selama kurang lebih 1 tahun dan hingga saat ini belum ada perbaikan karena mengalami kekurangan anggaran untuk membeli (Axilliari Box Spare Part) alat tersebut merupakan satu komponen dari CT-Scan ini,” jelas Iwan, Rabu (31/8/2022).

 

Kekurangan anggaran yang di alami RSUD fakfak cukup mengherankan. Mengingat anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah pusat sudah demikian besar. Sebagaimana yang disampaikan Menkeu anggaran kesehatan pada tahun 2022 sebesar Rp 255,4 triliun.

 

Sehingga memunculkan evaluasi penting mengenai bagaimana pemerintah daerah memanfaatkan anggaran untuk meningkatkan layanan kesehatan. Salah satu layanan dasar yang menjadi kewajiban pemerintah daerah, yang penyelenggaraannya wajib diprioritaskan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.




Di lain pihak, Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Erna Mulati mengungkapkan, dari sebanyak 10 ribu puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia, hingga kini baru sebanyak 2.014 puskesmas yang memiliki alat USG untuk ibu hamil.

 

" Pendanaan berasal dari berbagai sumber, sebagian dari DAK fisik, sebagian dari APBD, dan pusat menyalurkan 447 Puskesmas tahun lalu. USG ini juga terhubung dengan telemedicine ke rumah sakit.," kata Erna, Minggu (13/3/2022).

 

Baik buruknya kinerja pelayanan kesehatan primer tak lepas dari anggaran sebagai faktor pendukung. Hal itu seakan dibenarkan oleh Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani Heryawan menilai kurang tepat langkah pemerintah yang memangkas anggaran kesehatan pada RAPBN 2023

 

Menurutnya, ada banyak permasalahan kesehatan di Indonesia tidak hanya Covid-19 yang mulai melandai.

 

“Tapi juga ada stunting, angka kematian ibu dan bayi, pelayanan kesehatan, kebiasaan hidup sehat dan sebagainya. Oleh karena itu, menurunkan anggaran kesehatan di tengah banyaknya prioritas kesehatan yang tertunda akibat penanganan pandemi bukan langkah yang tepat dan dapat berakibat buruk pada sistem kesehatan,” ujar Netty, Jum’at (19/8/2022). (*)

Jurnalis : Muhammad Fadhil

Editor : Gery Gugustomo

Illustrator :

Infografis :


Komentar

Pencarian tidak ditemukan

Belum ada komentar

SidebarKanan
Kuatbaca.com

Informasi


Tentang Kami

Pedoman Media Siber

Susunan Redaksi

2023 © KuatBaca.com. Hak Cipta Dilindungi