“Cuitan keresahan seorang komika Kiky Saputri yang viral menjadi gambaran atas ketidakpuasan sistem pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia. Hal itu berakibat banyaknya masyarakat yang memilih untuk berobat ke luar negeri. Di sisi lain, anggaran yang dinilai teralalu kecil menjadi faktor lainnya, tentu hal itu mendorong IDI bersuara untuk meminta pemerintah menaikkan anggaran serta mendorong pembuatan sistem pelayanan kesehatan yang bertaraf internasional.”
Nama komika perempuan Rizkhy Nurasly Saputri atau yang dikenal akrab Kiky Saputri menjadi perbincangan publik dalam sepekan terkahir. Kejadian itu dipicu viralnya cuitan di akun Twitter pribadinya yang menyebutkan tentang stroke telinga.
Twit itu dibuat untuk membalas postingan akun Presiden @jokowi tentang masih banyaknya masyarakat Indonesia memilih untuk berobat ke luar negeri.
“Mertua saya didiagnosa stroke kuping karena tiba2 pendengarannya terganggu. Disuntik dalemnya malah makin parah pendengarannya. Akhirnya ke RS Spore & diketawain sama dokternya mana ada stroke kuping. Itu cuma flu jadinya bindeng ke telinga & sekarang udah sembuh. Kocak kan?” tulis Kiky Saputri.
Sumber: https://twitter.com/kikysaputrii/status/1632988501141762049?s=20
Hingga Jum’at (17/3/2023) sore, twit tersebut sudah mendapatkan like lebih dari 39 ribu.
Sebelum cuitan itu viral, Presiden Joko Widodo mengunjungi mengunjungi RS Mayapada, Bandung pada Senin (6/3/2023) pagi. Dalam kunjungannya, ia mengatakan sebanyak 2 juta warga Indonesia saat ini masih berobat ke luar negeri.
“Menurut informasi yang saya dapat, hampir 2 juta orang kita masih berobat ke luar negeri saat sakit,” ujar Jokowi.
Kemudian, ia juga menyinggung akibat fenomena tersebut Indonesia kehilangan potensi devisi sebesar Rp165 triliun. Bahkan, ia juga menegaskan agar kondisi itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sebab ada aliran modal (capital outflow) yang keluar negeri terus-menerus.
“Haruskah kita melanjutkan? Akibatnya, Rp165 triliun devisa kita hilang gara-gara itu. Karena ada modal keluar. Capital outflow,” ungkap Jokowi, Senin (6/3/2023).
Sementara itu, Kepala Negara mengakui masih banyak masalah dalam sistem kesehatan Indonesia yang menjadi musabab diantaranya kekurangan dokter spesialis.
Apa yang dikatakan Jokowi selaras dengan hasil riset Tambang Data Kuatbaca.com yang berjudul ‘Labirin Layanan Kesehatan Indonesia’ yang menyebut kurang lebih 42 RSUD tidak memenuhi standar jumlah dokter spesialis pada tahun 2022.
Di samping itu, menurut data Patients Beyond Borders menyebut pasien Indonesia menjadi kontributor terbesar pada sektor wisata kesehatan di luar negeri khususnya di Asia Tenggara selama periode 2016 – 2017.
Di sisi lain, banyaknya pasien yang memilih berobat di luar negeri lantaran kurangnya mutu pelayanan dan pengawasan kesehatan di dalam negeri.
Selain itu, ketepatan diagnosis, canggihnya teknologi, serta mahalnya obat-obatan menjadi pertimbangan masyarakat Indonesia memilih berobat ke luar negeri.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mencermati persoalan obat di Indonesia relatif mahal, bahkan perbedaan harga yang bisa mencapai tiga hingga empat kali lipat dibandingkan negara tetangga. Menurutnya kemahalan tersebut bukan karena pajak.
Karena mahal, mereka memilih ke jalur jasa titip obat. Misalnya, obat kanker. Menurut Menkes, bahkan Yayasan Kanker Anak Indonesia mengeluhkan beberapa obat yang tidak tersedia di Indonesia sehingga harganya sangat berbeda dengan di Malaysia.
“Kalau pajaknya beda ada selisih persentase 20 persen, 30 persen, kalau di sana seribu di sini 4 ribu? Itu kali kan, bukan persen. Empat kali, tiga kali, itu nggak mungkin persoalan pajak, aku kan perbankan, ngerti, kalau pajak tuh bedanya 30 persen 40 persen, kalau bedanya 400 persen, 500 persen, itu pasti bukan pajak,” kata Budi, Rabu (15/3/2023).
Menkes meyakini buntut mahalnya obat di Indonesia adalah imbas biaya penjualan dan pemasaran. Hal itu juga disebutnya berkaitan dengan biaya pendidikan dokter saat memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) hingga Surat Izin Praktik (SIP).
"Aku kan bankir, 77 ribu dikali Rp 6 juta kan Rp 430 miliar setahun. Oh, pantas ribut," tegas Menkes dalam public hearing RUU Kesehatan.
Merespon hal itu, Wakil Ketua Umum (Waketum) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Slamet Budiarto menilai pernyataan Menkes adalah kekeliruan lantaran tidak ada hubungan obat mahal dengan SIP atau STR.
Menurutnya, yang menjadi penyebab adalah sistem pelayanan kesehatan di Indonesia sebagaimana itu adalah wilayah Kemenkes untuk mengatur.
“Urusannya apa? SIP dengan obat, nggak ada! SIP satu Minggu sudah jadi. Itu masalah administratif tidak akan mengganggu. Justru yang mengganggu adalah sistem pelayanannya. Misalnya operasi Caesar, tarif riilnya sepuluh juta hanya dibayar 5 juta. Itu artinya kualitasnya menurun,” cetus Slamet kepada Kuatbaca.com melalui sambungan telepon, Jum’at (17/3/2023).
“Saya paham Menkes ini bukanlah seorang dokter, bukan juga tenaga kesehatan belum punya pengalaman di kesehatan,” sambung Slamet.
Cari Sehat di Negeri Sebrang
Fenomena banyaknya warga indonesia berobat ke luar negeri bukan hanya dirasakan masyarakat awam. Akan tetapi, dikenyam juga oleh para pimpinan bangsa ini seperti Presiden ke-2 Republik Indonesia (RI) Soeharto yang berobat ke Hannover, Jerman untuk memeriksakan kesehatannya mulai dari darah hingga jantung pada 1996.
Kedua, Presiden ke-3 RI BJ Habibie dirawat di RS Klinikum Starnberg, Muenchen pada Maret 2018, karena mengalami masalah pada klep jantungnya yang bocor hingga membuatnya sulit bernapas.
Saat itu, dokter menyarankan Habibie untuk menjalani operasi jantung. Namun, ia memilih operasi dengan menggunakan metode yang lebih canggih.
Selanjutnya, Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau yang dikenal Gus Dur bertolak ke Amerika Serikat untuk pengobatan tak lama setelah ia diturunkan sebagai presiden RI pada Juli 2001. Pada saat itu, tekanan darahnya tidak teratur.
Kemudian, tak mau ketinggalan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri juga sempat berobat ke Singapura pada Mei 2001 yang pada saat itu dirinya masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Ia bahkan kembali bertolak ke Singapura pada Oktober 2017.
Terakhir, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berangkat ke Amerika Serikat (AS) pada November 2021, untuk mengobati kanker prostat. Ia berobat ke Mayo Clinic di Minneapolis, yang memiliki pusat perawatan kanker.
Memilih berobat ke luar negeri merupakan hak dari pasien yang tidak bisa dipaksakan. Namun, hal itu bisa dicegah jika pemerintah mampu menghadirkan sistem pelayanan kesehatan yang baik dengan ditunjang anggaran kesehatan yang memadai.
Waketum PB IDI Slamet Budiarto berpendapat, jika pemerintah hanya menggelontorkan dana sebesar lima persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) untuk anggaran kesehatan, hal itu dinilai tidak cukup secara nilai keekonomian.
“Masalahnya kita punya duit atau nggak? kalo kita duit masalahnya, kita punya komitmen nggak terhadap kesehatan. Jadi saya berharap, pemerintah tidak pelit terhadap kesehatan rakyat indonesia dengan menaikkan anggaran sebesar 15 persen. Karena tarifnya tidak sesuai dengan nilai keekonomian, akibatnya apa? rumah sakit tidak akan mengadakan atau sedikit yang mengadakan alat-alat canggih, cukup alat-alat sederhana. Sedangkan di Malaysia dan Singapura alatnya canggih-canggih karena pembiayaannya cukup,” kata Slamet.
Lebih lanjut, ia juga meminta pemerintah secara serius untuk membuat sistem pelayanan kesehatan bertaraf internasional. Bahkan, ia menyebut hambatan terbesar transformasi kesehatan indonesia ada di Kemenkes sendiri.
“Buat sistem pelayanan kesehatan yang bertaraf internasional. Sistemnya loh ya, kalo sistemnya sudah setara dengan internasional, otomatis RS serta Klinik juga ikutan baik. Terlebih itu baik buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia tergantung Kemenkes didukung kementerian Keuangan,” pungkasnya. (*)