Kuatbaca
02 May 2023 09:08
“Di saat restorasi Arab Saudi – Iran memperluas perdamaian di kawasan Timur Tengah, Amerika Serikat (AS) bersama Israel terus menggempuran Libanon dan Suriah dengan dalih menaklukan kelompok pro-iran. Meskipun demikian, hal ini bisa dilihat sebagai bentuk ultimatim mereka di saat pengaruh China terhadap normalisasi hubungan di kawasan semakin siginifikan. Selain itu lemahnya tingkat kepercayaan masyarakat Arab terhadap komitmen AS berpotensi mengalihkan ketergantungannya dari AS ke China. Selain berkepentingan terhadap sumber daya alam, AS juga hendak mendukung kepentingan Israel untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara tetangganya di Timur Tengah melalui Perjanjian Abraham.”
Restorasi Arab Saudi-Iran memberikan efek baik bagi negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Kabar baik itu disambut oleh berbagai negara di kawasan tersebut termasuk Libanon, Suriah, dan Yaman. Adanya keyakinan jika hal itu akan berpotensi mengakhiri konflik dan menjaga stabilitas perdamaian di kawasan.
Dampak dari restorasi tersebut terasa ketika Hizbullah, sebagai salah satu partai politik terbesar di Libanon, mengakui bahwa akan adanya titik balik bagi stabilitas dan keamanan di kawasan pasca restorasi hubungan Arab Saudi dan Iran, khususnya di negara dengan bendera merah putih berlambang pohon beringin tersebut.
“Kembalinya hubungan Iran-Saudi merupakan titik balik penting bagi stabilitas, keamanan, dan kemajuan kawasan, dan ini adalah awal dari hal-hal baik bagi rakyat mereka dan bagi rakyat di kawasan, dan ini merupakan pukulan yang menyakitkan bagi proyek Amerika-Israel,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, Naim Qassem.
Begitu pula dengan Suriah, hubungannya dengan negara-negara teluk menjadi semakin membaik khususnya setelah Presiden Bashar al Assad mengadakan pertemuan secara langsung dengan Presiden Uni Emirat Arab, Mohammed bin Zayed al Nahyan dalam kunjungan pertamanya sejak tahun 2011 pada Jumat (17/03/2023).
Belakangan ini, Assad juga sedang mengatur pertemuan perwakilannya dengan Arab Saudi dan Mesir sebagai dua raksasa Liga Arab yang dapat memulihkan kehormatan Suriah di kawasan.
Terlebih saat ini Gulf Cooperation Countries (GCC) sedang mempertimbangkan untuk memasukan Suriah kembali ke Liga Arab. Usulan itu juga muncul bersamaan dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Suriah Minister Faisal Mekdad ke Arab Saudi pada Rabu, (12/04/2023). Sebagaimana diketahui negara ini sempat dikeluarkan dari organisasi tersebut pada tahun 2011.
Peneliti Politik Timur Tengah asal London, Malik al Abdeh dan Lars Hauch menilai berbagai pertemuan itu menjadi faktor kunci untuk mengembalikan kehormatan Assad di kawasan tersebut setelah berkonflik cukup lama sejak 2011. Perbaikan hubungan negara Arab dengan Suriah, serta perkembangan positif lainnya di Timur Tengah, menjadi pertanda adanya pergeseran pengaruh Barat di Timur Tengah.
“Upaya untuk memberlakukan pengucilan Assad melalui tekanan tunggal — termasuk ancaman terhadap sanksi — bisa saja mempercepat merosotnya pengaruh Barat di Timur Tengah,” tulis Malik dan Lars dalam Atlantic Council, Kamis (06/04/2023).
Di sisi lain, Arab Saudi mengadakan pertemuan dengan kelompok Houthi sebagai upaya untuk mengakhiri perang di Yaman sejak 2015, Senin (10/04/2023). Sebagaimana diketahui Presiden Amerika Serikat Joe Biden menjanjikan perdamaian di Yaman, namun konflik itu justru ditengahi oleh China.
"Biden berjanji untuk mengakhiri perang di Yaman di dua tahun masa kepresidenannya, China mungkin telah memenuhi janji itu. Kebijakan luar negeri AS yang bersifat militer selama puluhan tahun di Timteng telah memungkinkan China untuk memainkan peran sebagai pembawa damai sementara Washington terjebak dan tidak mampu menawarkan lebih dari kesepakatan senjata dan jaminan keamanan yang semakin tidak meyakinkan." kata Trita Parsi, Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft, Rabu (12/04/2024).
Amerika Serikat dan Israel Bereaksi
Sebagaimana tertuang National Security Strategic 2022, Pemerintah Amerika Serikat berkepentingan untuk membantu perbaikan dan penguatan hubungan Israel dengan negara-negara tetangganya di Timur Tengah termasuk melalui Perjanjian Abraham. Upaya itu ialah untuk memenuhi kepentingan Israel untuk diakui sebagai negara berdaulat di kawasan tersebut.
Kepentingan itu hampir tercapai ketika Arab Saudi sempat mengutarakan ketertarikan untuk mengadakan kesepakatan damai dengan Israel melalui penandatanganan perjanjian itu. Namun dengan syarat, Amerika Serikat harus menyediakan jaminan keamanan dari Iran dan membantu pengembangan program nuklir sipil.
Hal itu disampaikan oleh Perdana Menteri Mohammed Bin Salman, pada Kamis (09/03/2023). Tepat satu hari sebelum ia menyepakati restorasi hubungan dengan Iran di Beijing, Jumat (10/03/2023).
Kegagalan itu tentu menjadi tamparan keras di wajah Amerika Serikat dan Israel. Sehingga belakangan ini, keduanya aktif berkonflik dengan Libanon, Suriah, dan Iran ketika negara-negara Arab sedang sibuk mengadakan perbaikan hubungan diplomatik di kawasan Timur Tengah.
“Amerika memberikan pesan kepada Negara-negara Arab yg kemungkinan bisa bergeser haluan politiknya (ke China). Kebangkitan China itu kan sangat diwaspadai oleh AS. Mereka selama ini kan mulai memainkan perannya yang lebih besar di kawasan Timur Tengah. Jadi sinyal kontestasi antara AS dengan China di kawasan itu kan sudah mulai nampak.” kata Kepala Redaksi Journal of Islamic World and Politics, Ahmad Sahide kepada Kuatbaca.com, Jumat (14/04/2023).
Israel mengaku menjatuhkan bom ke Suriah, Libanon, dan Palestina sebagai balasan atas serangan roket ketiga negara ke wilayahnya. Bombardir balasan itu terjadi di hari yang sama dengan peluncuran roket dari Suriah dan Lebanon yaitu pada Minggu (09/04/2023), dan Kamis (06/04/2023).
Berbagai pemberitaan menyebutkan serangan rudal dari Libanon dan Suriah merupakan respon akibat kemarahan mereka setelah Kepolisian Israel melakukan serangan kepada warga sipil Palestina yang sedang beribadah di Yerusalem. Dikabarkan juga 14 penduduk ditangkap oleh otoritas Israel.
Meskipun demikian, patut diketahui bahwasanya Israel sudah seringkali melakukan serangan ke kawasan Suriah. Al Jazeera mencatat, terdapat sembilan serangan Israel ke beberapa titik lokasi Suriah selama tahun 2023. Serangan itu paling tidak telah menewaskan 21 warga sipil dan 12 militer, kemudian 15 warga luka luka.
Amerika Serikat juga turut berkonflik di kawasan Suriah. Angkatan Udara AS mengaku telah menjatuhkan gempuran ke kelompok pro-Iran pada Jumat (24/03/2023). Beberapa hari setelah Assad mengadakan pertemuan dengan MBZ.
Sahide justru menilai, klaim Israel dan Amerika Serikat untuk menaklukan Hamaz dan kelompok pro-Iran merupakan dalih untuk melakukan serangan ke Suriah dan Libanon.
“Saya kira itu sebagai dalih saja, ya karena mereka merasa tidak secure kan” tandas Sahide.
Berdasarkan laman Twitter U.S. Naval Forces Central Command/U.S. 5th Fleet, Angkatan Laut AS bersama sekutunya sedang aktif beroperasi di kawasan Timur Tengah. Terakhir AS juga dikabarkan sedang mengerahkan kapal salam rudal merespon ketegangan Iran dan Israel.
“Peristiwa baru-baru ini, termasuk serangan di Suriah dan ancaman publik yang dilakukan Iran terhadap kapal dagang, mendorong kami untuk mengingatkan para pelaut regional untuk tetap waspada,” kata Cmdr. Timothy Hawkins, juru bicara Armada ke-5, yang berbasis di Bahrain.
Di sisi lain, dikabarkan Amerika Serikat juga mengangkut 32 tankers berisi minyak bumi hasil curian dari Timur Laut Suriah ke Irak, pada Rabu, (12/04/2023). Menteri Luar Negeri Suriah menyebutkan kasus pencurian minyak bumi itu telah merugikan sebesar USD107 miliar sejak 2011. Hal ini menandakan bahwasanya Amerika Serikat masih berkepentingan terhadap sumber daya di kawasan Timur Tengah.
Minim Kepercayaan Timur Tengah terhadap Amerika Serikat
Sebagaimana ditulis dalam Telik Kuatbaca.com berjudul “Babak Baru Timur Tengah di Balik Pengaruh China”, restorasi hubungan Iran dan Arab Saudi berhasil dimotori oleh China. Kedua negara itu juga disinyalir memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi yang sangat dekat dengan negeri tirai bambu tersebut. Amerika Serikat berkepentingan terhadap sumber daya alam, dan China ingin memperluas pengaruh ekonominya di jalur sutera.
Di sisi lain, sebagian besar masyarakat dari negara Timur Tengah semakin banyak yang tidak mempercayai komitmen AS terhadap demokrasi dan ekonomi di kawasan. Grafik persepsi di atas menggambarkan dengan jelas ketidaksepakatan masyarakat Timur Tengah terkait komitmen AS terhadap Demokrasi selama 2022. Tingkat ketidakpercayaan tersebut pada sebagian besar di antara negara-negara Timur Tengah tersebut mencapai lebih dari 50 persen.
Kepala Redaksi Journal of Islamic World and Politics, Ahmad Sahide menerangkan bahwa lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap komitmen AS akan menjadi titik balik ketergantungan negara Timur Tengah kepada Barat. Sebaliknya mereka akan bekerja sama dengan China sebagai alternatif dari dominasi AS di kawasan.
Benar saja, Presiden China Xi Jinping dan perwakilannya sibuk mengadakan pertemuan dengan sejumlah negara dari Timur Tengah selama 2022. Sebut saja seperti, Iran, Arab Saudi, Libanon, Irak, Kuwait, Yaman, dan Libya.
“Sejak dulu masyarakat di Timur tengah melihat demokrasi untuk Kepentingan Amerika. Cuman kan ketergantungan masyarakat Arab terhadap AS itu kan sangat tinggi. Kalau selama ini kan ketergantungan terhadap ekonomi, teknologi ke AS sekarang kan ada China yang bisa menyediakan itu. Sehingga perlahan-lahan itu tingkat ketergantungan negara arab terhadap AS kan mulai tergerus. itulah yang membuat supremasi politik global itu terancam. Maka itu kan AS perlu memberikan sinyal politik bahwa ya hati-hati negara-negara lain itu” ujar Sahide. (*)
Komentar
Belum ada komentar