“Penetapan Penangkapan Presiden Vladimir Putin oleh ICC dinilai sebagai standar ganda dalam penetapan kasus dan terdakwa. Aktivitas investigasional ICC hanya berkutat dalam mempersangkakan sejumlah pelaku pidana yang berada di Afrika dan Georgia. Namun, mereka tidak menyentuh kasus serupa yang melibatkan negara-negara Barat, khususnya Irak yang diserangan AS sejak 2003. Sejumlah pengamat menilai adanya political power yang mempengaruhi kredibilitas ICC sehingga menjadikannya sebagai alat akrobat hukum Amerika Serikat dan sekutu untuk menekan lawan politiknya. Di luar itu ICC dinilai tidak akan mampu secara efektif menangkap Vladimir Putin.”
Setelah lewat setahun berjalannya konflik Rusia Ukraina, Negara-negara Barat seakan-akan mulai mencoba mengorkestrasikan politisasi hukum internasional melalui International Criminal Court (ICC) yang baru-baru ini menetapkan surat perintah penangkapan Presiden Negara Beruang Merah, Vladimir Putin.
Politisasi hukum, kata yang pantas disematkan dalam penetapan surat perintah tersebut mengingat ICC adalah lembaga hukum internasional yang seringkali standar ganda dalam penetapan kasus pidana internasional.
Setelah mengulik laman resmi ICC, Dari sebanyak 51 orang yang ditersangkakan oleh ICC, 48 diantaranya berasal dari sejumlah negara di Benua Afrika dan tiga sisanya dari Georgia. Bahkan ICC sama sekali tidak menyentuh kasus-kasus lain yang melibatkan politisi maupun tentara dari Barat dalam kekerasan kemanusian yang terjadi di belahan dunia lain, termasuk Timur Tengah.
Meskipun ICC memiliki perhatian untuk melakukan investigasi terhadap kasus-kasus pidana internasional yang terjadi kawasan lain seperti di, Venezuela seperti di Bangladesh/Myanmar, Filipina. Tetapi investigasi itu baru hanya berkutat di sektor administrasi.
Selain itu kasus Afghanistan dan Palestina justru seakan mandek dalam investigasi dan penetapan terdakwa sejak 2020. Tepatnya setelah Pemerintah Amerika Serikat di bawah Donald Trump menjatuhkan sanksi kepada pejabat ICC Fatou Bensoda dan Phakiso Mochochoko yang memberikan izin dalam penyidikan orang Amerika sebagai sebagai tanggapan atas keputusan pengadilan dalam membuka kasus kejahatan perang Afganistan dan Palestina.
Sejumlah kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi ICC adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Namun sayangnya masih banyak kasus terkait yang seakan luput dari pandangan ICC.
Terutama kasus kejahatan perang oleh George Bush Jr di Iraq. Mengingat belakangan ini sejumlah media internasional seperti Al Jazeera, New York Times, dan BBC mulai banyak menerbitkan produk jurnalistiknya untuk mengenang 20 tahun kejadian awal serangan AS ke Iraq yang terjadi pada 20 Maret 2003.
Brown University menyebutkan bahwa lebih dari 300 ribu warga Irak yang tewas akibat serangan militer yang diluncurkan oleh AS dan aliansinya. Kemudian total pengeluaran Menteri Pertahanan AS untuk invasi ke Irak selama 2003-2010 mencapai USD757,8 miliar (setara Rp11,300triliun berdasarkan kurs saat ini).
Sikap ICC ini dinilai menerapkan standar ganda oleh sejumlah pihak, karena penyelidikan kasus-kasus besar seperti Irak, Nigeria dan Afghanistan dibiarkan berhenti dan dalam kurun waktu yang cukup lama. Sedangkan pada kasus konflik Rusia-Ukraina, ICC mampu bergerak dengan cepat. Hal ini salah satunya disuarakan oleh organisasi non-pemerintahan Amnesty Internasional.
“Alasan anggaran ICC untuk kelambanan di Afghanistan, Nigeria dan lain-lain tidak dapat lagi dipertahankan. Jaksa Penuntut harus melakukan semua penyelidikan tanpa pembedaan: terhadap semua pelaku kekejaman, tanpa rasa takut atau keberpihakan, dan tidak peduli seberapa besar kekuatan politik atau ekonomi aktor tertentu.” ujar Agnès Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International, Jum’at (1/07/2022).
Dosen Hubungan Internasional, Teuku Rezasyah mengungkapkan bahwa sikap tersebut terjadi lantaran penentuan kasus dan dakwaan di pengadilan ICC ditetapkan berdasarkan konsensus dan adanya aturan kolegial tidak tertulis.
“Nampaknya ada aturan kolegial yang tidak tertulis, Itu yang disebut Spirit of the Core. Yang saya tahu itu harus konsensus kan mereka kan dalam menentukan siapa aja yang bisa di tersangka kan dan menjadi perhatian bersama. Itu biasanya mereka kolegial sesama Negara Barat” ujar Teuku kepada Kuatbaca.com, Kamis (23/03/2023).
Pernyataan itu selaras dengan data yang menunjukkan jumlah jaksa berdasarkan kawasan regional. Diantaranya delapan jaksa berasal dari Negara Barat, empat dari Benua Afrika, empat dari Amerika Latin, dan dua dari Asia.
Selain itu menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, ada dua kemungkinan kenapa ICC berhenti dalam menginvestigasikan kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh politisi-politisi Amerika Serikat.
Kemungkinan pertama ialah karena adanya political power. Menurutnya ada kemungkinan jika ICC khawatir untuk membawa sejumlah tokoh dari Amerika Serikat ke sidang pidana internasional. Sebaliknya ICC akan mendapatkan dukungan dari negara-negara lain jika membawa Rusia.
“Tapi memang politis sih menurut saya. Karena tergantung dari siapa yang kalah perang kalau nanti Rusia nanti menang perang juga diem” Kata Hikmahanto kepada Kuatbaca.com, Kamis (23/03/2023).
Sedangkan alasan kedua ialah karena Amerika Serikat tidak mau meratifikasi ICC dan Negeri Paman Sam itu juga mengadakan perjanjian internasional Non-Surrender Agreement
“Jadi perjanjian untuk tidak menyerahkan tentara-tentara Amerika yang kebetulan berada di negara mereka untuk dibawa ICC kalau diminta oleh ICC. Nah maka itu politisnya disitu” sambut Hikamahanto.
ICC Alat Akrobat Amerika Serikat
Faktanya saat ini, banyak kasus yang ditimpakan kepada pelaku kriminal-kriminal Internasional dari Afrika. Sedangkan kasus kejahatan kemanusiaan besar yang dilakukan oleh politisi-politisi Amerika Serikat dan Sekutu nya luput menjadi kasus di dalam ICC
Fakta tersebut diperkuat pula dengan adanya beberapa musuh Amerika Serikat yang masuk dalam jajaran tersangka. Seperti Muammar Khadafi berserta anaknya, serta penjahat Perang Russia dalam konfliknya dengan Georgia. Hal ini Menimbulkan adanya dugaan jika ICC dinilai sebagai alat Amerika Serikat untuk menekan lawan politiknya di dunia Internasional.
“Alat barat untuk menekan negara lain tapi dia sendiri ya menolak ditekan kan. Memang pernah ada negara yang didakwa sebelum Putin. Ya biasanya Afrika misalnya Sudan, Mali kan negara-negara yang lemah secara internasional lebih gampang ditekan. Itu kan International Criminal Court kan tapi standar-standar mana? gitu ya standar Barat kan. Jadi ujung-ujungnya Power Politics lagi,” kata Rezasyah.
Di sisi lain, Hikmahanto juga menilai bahwa ICC tidak mampu membedakan antara penjahat perang dengan pahlawan perang dalam berbagai kasus.
“Ya seperti yang saya bilang kan ini akrobat hukum, kan nuansa politiknya jelas tuh. masalahnya kalau di ICC itu kadang-kadang antara penjahat perang dengan pahlawan perang itu bedanya tipis-tipis.” ujar Hikmahanto.
Di luar itu, keduanya sama-sama sepakat bahwa penetapan surat perintah penangkapan ICC yang digulirkan baru-baru ini tidak akan efektif untuk menekan maupun Vladimir Putin. Terdapat empat alasan dibalik sulitnya penangkapan Putin oleh ICC.
“Pemerintahan Putin masih tegak berdiri sehingga tak mungkin pemerintahan Putin sendiri menyerahkannya ke ICC; kedua proses ekstradisi dari ICC tidak mungkin dilakukan mengingat pemerintahan Putin akan mengabaikannya. Ketiga, Rusia adalah negara besar yg tak mungkin dipaksa negara lain menyerahkan Putin, termasuk melalui embargo ekonomi. Kemudian faktor keempat, Putin akan membatasi diri ke luar negeri untuk menghindari kunjungan ke negara yg bersedia melakukan ekstradisi Putin atas permintaan dari Jaksa ICC” kata Hikmahanto.
Sikap Indonesia
Pemerintah Indonesia sampai saat ini masih belum meratifikasi Statuta Roma yang menjadi landasan hukum ICC. Meskipun beberapa pihak telah mendorong ratifikasi tersebut sejak lama.
Beberapa pihak itu seperti Amnesti Internasional Indonesia serta Evelyn Balais-Serrano yang sempat menjadi Koordinator Koalisi Mahkamah Pidana Internasional untuk Asia Pasifik pada 2011.
Hikmahanto menyampaikan alasannya dalam Sidang Uji Materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang UU Pengadilan HAM di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada Rabu (8/2/2023).
Alasan dibalik ketidaksediaan Indonesia meratifikasi Statuta Roma ialah karena negara ini tidak rela jika seseorang yang disebut sebagai pahlawan kemanusiaan di dalam negeri, tetapi dianggap pecundang di negara lain. Selain itu perlunya pembekalan mengenai hukum humaniter terhadap para prajurit TNI Indonesia.
“Saya sendiri sebagai ahli saya mengatakan tidak perlu untuk dibawa warga negara asing ini diadili di pengadilan Indonesia. Kalaupun ada yang membutuhkan silakan mereka meminta ekstradisi dari pemerintah Indonesia dan pemerintah Indonesia tentu dengan senang hati harusnya mau mengirimkan yang bersangkutan,” terang Hikmahanto.