SidebarKanan
Internasional

Paradoks Asean Way

Kuatbaca

27 May 2023 00:46

Test

Kredibilitas prosedur konsensus dan non-interference dalam ASEAN Way dipertanyakan lantaran seringkali gagal menyelesaikan konflik regional. Sehingga ASEAN perlu mereformasinya lebih jauh untuk mempermudah resolusi konflik di kawasan, termasuk kasus Junta Militer di Myanmar. Meskipun demikian tidak berarti konsep itu harus ditiadakan sebagai jati diri Asia Tenggara. Meskipun Indonesia tertatih tatih menerapkan ASEAN Way dalam resolusi konflik, tetapi Pemerintahan Jokowi selalu punya cara diplomasi inovatif untuk pada sejumlah problematika.

 

Berbicara mengenai resolusi konflik dalam ruang lingkup ASEAN, publik tak bisa melupakan kejadian pada tahun 2016-2017. Saat itu Myanmar menjadi aktor negara ASEAN yang sangat eksklusif, dan semua pihak menyalahkannya atas kasus kekerasan terhadap Etnis Rohingya di Rakhine State.

 

Myanmar tidak hanya memblokir pembahasan mengenai kasus Rohingya di dalam pertemuan ASEAN. Di bawah kepimpinan Au Sang Suu Kyi, Burma –sebutan lain Myanmar– juga menutup akses untuk setiap pihak eksternal yang hendak masuk ke Rakhine State termasuk Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara Asia Tenggara (Asteng). Bahkan Investigator HAM PBB pun dijebloskan ke penjara oleh otoritas setempat.

 

Melalui berbagai pertemuan bilateral, pada akhirnya hanya Indonesia yang diizinkan oleh otoritas Myanmar untuk masuk dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada Etnis Rohingya secara langsung di Rakhine. Sejak saat itu Presiden Joko Widodo memulai diplomasi komprehensif Indonesia kepada Myanmar mengenai kasus tersebut.

 

Kini, Pemerintahan Myanmar dikenal semakin eksklusif, otoriter, dan tangan besi sejak Junta Militer mengakuisisi tampuk kekuasaan. Semenjak itu pula, ASEAN menjadi semakin sulit dan tumpul untuk mengambil keputusan dalam menangani kasus kekerasan di Burma, demi mencapai stabilitas di regional Asia Tenggara.

 

Relevansi ASEAN dalam menghasilkan kesepakatan penting menjadi dipertanyakan. Perlu diingat bahwa ASEAN memiliki ASEAN Way dalam proses pengambilan keputusan di tataran regionalisme Asia Tenggara. Berbeda dengan standar Uni Eropa dengan basis majority-vote, pengambilan keputusan ASEAN lebih menggunakan pendekatan ‘konsensus’ atau kesepakatan bersama.

 

Sehingga, setiap usulan kebijakan ataupun pembahasan akan gagal direalisasikan dalam berbagai pertemuan resmi bilamana ada satu negara ASEAN yang menolaknya. Hal ini menjadi masuk akal ketika diskursus mengenai kasus Rohingya seringkali menemui deadlock di ASEAN, karena selalu diblokir oleh otoritas Myanmar.

 

Fundamental di dalam ASEAN Way lebih menekankan pada pendekatan diplomasi soft-power dan non-interference. Dimana setiap negara anggota harus yang terbebas dari campur tangan negara lain atau paksaan dari luar. Kemudian, kerja sama dan perselisihan dilakukan secara damai dengan tanpa kekerasan ataupun tekanan.

 

Berkaca dari dua tahun terakhir, ASEAN belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan di Myanmar sejak Panglima Junta Militer Min Aung Hlaing merebut tahta pemerintahan. Bahkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 di Labuan Bajo pekan lalu disebut-sebut tidak kunjung menghasilkan progres yang berarti dalam mengimplementasikan Five-Point Consensus (5PC).

 

Jika kita lihat dari track record, pada saat Keketuaan KTT 2021 dipegang oleh Brunei, ASEAN hanya memberlakukan tindakan simbolis seperti melarang representasi Myanmar untuk turut bergabung dalam setiap pertemuan regional. Namun tidak ada tindakan tegas kepada para Jenderal Junta Militer, sedang utusan khusus ASEAN dihalang-halangi untuk oleh untuk menemui Aung Sang Su Kyi, seorang konselor dari oposisi National Unity Government, yang dijatuhkan dan hendak dihancurkan oleh Min Aung Hlaing.

 

Bagaimana saat Kamboja mengepalai KTT ke-41? Perdana Menteri Hun Sen justru menyambut pemerintah Myanmar untuk kembali ke ASEAN. Peneliti Senior Council of Foreign Relation (CFR), Jushua Kurlantzick, menilai bahwa pilihan Hun Sen tersebut merupakan sikap tidak kepeduliaannya terhadap resolusi konflik di Burma lantaran ia sendiri memimpin Kamboja secara otoriter.

 

Kini Junta Militer tidak berminat sama sekali untuk berdialog dengan rekan-rekan di Asia Tenggara, rezim tersebut masih tetap bersikap tangan besi dengan membunuh ribuan warga sipil termasuk demonstran. Melihat hal ini sejumlah negara anggota seperti Indonesia dan Malaysia tentu mendukung ancaman tindakan keras dan tegas dari ASEAN kepada pemerintahan otoriter seperti Myanmar yang tidak mau mengikuti 5PC.

 


Jushua Kurlantzick, menilai bahwa ancaman itu mustahil terlaksana karena adanya penerapan prosedur konsensus dan non-interference di saat sejumlah negara anggota masih dikuasai pemerintahan yang otoriter. Menurutnya, negara-negara itu tentu tidak akan berkenan menerima tindakan keras dari ASEAN, karena akan berimplikasi pada masa depan rezim kekuasaan mereka.

Ket: Data dikelola oleh Mochammad Ade Pamungkas diambil dari

Economist Intelligence Unit (EIU) Democracy Index

 

Sejumlah pengamat politik dan hukum internasional mengkritisi dua prinsip konsensus dan non-interference karena mempengaruhi proses pengambilan kebijakan (decision-making proccess) yang sangat kaku, lambat, dan sulit mencapai kesepakatan pada usulan keputusan yang sarat akan konflik kepentingan.

 

Hal ini sejalan dengan perspektif Neorealism yang dipopulerkan oleh Kenneth Waltz. Pandangan itu menilai bahwa kerjasama dalam institusi internasional akan sulit terlaksana karena menurutnya tidak ada otoritas yang lebih tinggi di atas negara bangsa dalam sistem dunia (anarki). Meskipun demikian, pandangan tersebut masih menjadi perdebatan dalam studi hubungan internasional khususnya bagi perspektif institutional neoliberalism.

 

Salah satu pakar yang mengkritisi konsep tersebut adalah Guru Besar Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia (UII), Sefriani. Dalam naskah akademik yang berjudul “ASEAN Way dalam Perpektif Hukum Internasional”, ia menerangkan bahwa sikap pasif ASEAN dalam konflik bersenjata ialah karena adanya penerapan konsep ASEAN Way dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun konsep itu harus dipertahankan sebagai jati diri Asia Tenggara, namun prosedur konsensus dan non-interference perlu direformasi lebih jauh guna memecahkan sejumlah kompleksitas masalah.

 

Peneliti Institute of South East Asian Studies (ISEAS) – Yusof Ishak Insititute, Le Hong Hiep mempopulerkan istilah consensus dilemma. Karena dalam penerapannya, ASEAN sangat sulit memecahkan masalah keamanan dan sengketa di dalam regional Asia Tenggara melalui penerapan ASEAN Way.

 

Sejalan dengan pemikiran Sefriani, menurut Le Hong Hiep, ASEAN perlu mereformasi prosedur decision-making proccess melalui penerapan mekanisme suara mayoritas (majority-vote) ketika hasil konsensus tidak bisa tercapai pada isu-isu tertentu. Mekanisme itu diyakini dapat meningkatkan fleksibilitas kebijakan dalam menangani masalah keamanan regional yang mendesak seperti sengketa Laut China Selatan, ataupun konflik bersenjata di beberapa daerah termasuk pada kasus Sulu-Malaysia dan Junta Militer di Myanmar.

 

Prosedur dan mekanisme ASEAN tentu berbeda dengan Eropa. Karena tidak hanya menerapkan suara mayoritas, penerapan intervensi mereka terlihat dari pembentukan pemerintahan Uni Eropa untuk mengatur negara-negara anggota. Mereka memiliki EU Comission sebagai eksekutif, EU Parlement untuk legislatif, Court of Justice of EU untuk yudikatif dan lembaga-lembaga lain seperti EU Central Bank dan EU Auditor. Uni Eropa pada dasarnya seperti negara diatas negara karena mereka juga menerapkan Schengen Area sehingga tidak ada batas diantaranya.


Meskipun demikian menurut Dosen Studi Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah hal itu merupakan kekuatan dari ASEAN.

 

“ASEAN itu relevan meskipun kesannya lamban tapi inilah kekuatan ASEAN. Kita mengutamakan proses dan bukan output. Kalau dengan standar Uni Eropa kan output itu harus ada timeframe-nya dengan index pencapaian dengan key performance indikator masing-masing anggota. Kalau ASEAN mengadakan konsensus, tapi inilah yang membuat kita kuat. Karena ini tidak bisa dicontoh oleh negara-negara lain di Dunia.” Kata Rezasyah kepada Kuatbaca, Senin (15/05/2023).



Diplomasi Non-Intervensi Indonesia di Myanmar

 

One of the boneheaded truisms of foreign policy is that talking to your enemies and legitimizes them. Talk to everyone, talk to the dictator and the war criminal, talk to the poor schmuck three levels down who's so pissed he has to sit in the back of the second car, he may be ready to turn. Talk to terrorists, talk to everyone. Fail, and fail again and brushed yourself off and fail again, because maybe, maybe.

 

Penggalan kutipan salah satu tokoh utama dalam film Netflix berjudul The Diplomat ini menunjukkan bahwa, sudah seharusnya negara dapat berdiplomasi melalui percakapan dengan berbagai pelaku utama untuk menyelesaikan konflik bersenjata, namun bukan berarti hal itu akan berhasil diakhiri dengan mudah dan dalam waktu singkat. Pernyataan yang selaras juga sempat terlontar oleh diplomat ulung asal Inggris Jonathan Powell dalam buku berjudul Talking to the Terrorist: How to End Armed Conflicts.

 

Pernyataan diatas juga sepadan dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat konferensi pers KTT ASEAN ke 42 di Labuan Bajo.

 

“Indonesia siap berbicara dengan siapapun, termasuk dengan Junta dan seluruh stakeholder di Myanmar untuk kepentingan kemanusiaan.” ujar Jokowi, Jumat (12/05/2023).

 

Memang bukan sekali dua kali Indonesia menggunakan metode ini. Sebagaimana yang disebutkan di awal tulisan, Pemerintahan Jokowi sempat berhasil meluluhkan Myanmar melalui pertemuan dan perbincangan kedua belah pihak pada kasus kekerasan Rohingya. Meskipun terkesan tertatih-tatih dan lambat dalam menerapkan ASEAN Way, tetapi Indonesia selalu punya cara diplomasi inovatif untuk berbagai permasalahan. Hal itu yang juga disampaikan oleh Teuku Rezasyah dan Mantan Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Iza Fadri periode 2018-2023.

 

“Kemlu berinovasi dalam melakukan diplomasi (di Myanmar). Awalnya megaphone sekarang silent diplomacy. ASEAN menghambat tetapi kita masih bisa jalan. Saya rasa dengan kerja sama ASEAN yang sekarang terus berkembang kita berusaha untuk aktif tetapi disatu sisi kita juga mematuhi aturan-aturan atau tatanan dalam berdiplomasi” kata Dubes Iza Fadri kepada Kuatbaca dalam Webinar Debriefing Kemlu, Rabu (17/05/2023).

 

Menurut Rezasyah, Silent diplomacy yang sedang digodok oleh Pemerintah Indonesia lantaran ASEAN dibentuk berdasarkan kekeluargaan dan solidaritas. Sehingga Indonesia dan ASEAN memang seharusnya tidak akan memberikan teguran keras di muka publik untuk melindung marwah dan integritas Myanmar. Sebaliknya mereka akan berbicara dari hati ke hati dalam forum tidak resmi . 

 

“Ibarat keluarga itu kan ketemunya di meja makan, dan di hari hari besar nasional dan suasananya itu semua saling mendengarkan dan tidak menekan. Alon-alon asal kelakon, lama tapi dilakoni lama-lama akan terjadi. Tinggal menghasilkan win to win solution sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Maka nanti Myanmar merasa referensinya dari ASEAN dan ia melakukan perubahan karena (kemauan) dirinya sendiri” ujar Rezasyah. (*)

Jurnalis : Ade Pamungkas

Editor : Gery Gugustomo

Illustrator : Fandy Dwimarjaya

Infografis : Fandy Dwimarjaya


Komentar

Pencarian tidak ditemukan

Belum ada komentar

SidebarKanan
Kuatbaca.com

Informasi


Tentang Kami

Pedoman Media Siber

Susunan Redaksi

2023 © KuatBaca.com. Hak Cipta Dilindungi