top ads
Home / Telik / Internasional / Katalis Perdamaian Ala Asean

Internasional

  • 87

Katalis Perdamaian Ala Asean

  • September 08, 2023
Katalis Perdamaian Ala Asean

“Jokowi optimis menyebut ASEAN menjadi katalisator perdamaian secara global. sesuai dengan pernyataan Peneliti Singapura Kishore Mahbubani karena melihat keberhasilan ASEAN menjaga perdamaian di kawasan yang rawan akan konflik. Terbukti oleh data UCDP yang menyebut negara ASEAN hampir tidak pernah terlibat dalam konflik antarnegara yang menjatuhkan korban nyawa. Adapaun skirmishes yang jarang sekali tereskalasi. Konsep non-intervensi ASEAN Way, mengedepankan confidence and trust, serta balancing act dalam rivalitas China dan AS, menjadi titik kunci keberhasilan ASEAN menjaga stabilitas selama puluhan tahun”

 

Dalam sambutannya di peresmian Pembukaan ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC), Presiden Joko Widodo meyakini bahwasanya ASEAN mampu menjadi katalisator perdamaian dunia. Melihat jumlah konflik yang semakin meningkat, dan tingkat kausalitas yang melonjak tajam.

 

Hal ini merespon laporan dari Global Peace Index yang menunjukkan peningkatan jumlah negara yang terlibat konflik eksternal dari 58 negara di 2008 melonjak ke 91 negara. 

 

Jika ditelaah lebih jauh, 64 negara terdaftar dalam index perdamaian tingkat tinggi, 62 di level medium, kemudian 37 diantaranya jatuh ke dalam jurang konflik. Laporan itu juga mengisyaratkan ASEAN dan Eropa sebagai kawasan yang paling damai dan stabil dibandingkan regional lain.

 

“Saya yakin, masyarakat ASEAN mampu menjadi katalisator perdamaian dunia, mampu menjadi a caring and sharing community. Bukan hanya menjadi epicentrum of growth, tetapi juga menjadi epicentrum of harmony” kata Presiden Jokowi, Senin (7/8/2023).

 

Pernyataan Presiden Jokowi itu pernah juga diungkapkan oleh Distinguished Fellow National University of Singapore, Kishore Mahbubani dalam bukunya yang berjudul “The ASEAN Miracle: A Catalyst for Peace”

 

Dalam buku tersebut, Mahbubani Menerangkan keberhasilan ASEAN dalam memproduksi perdamaian di kawasan yang sangat tidak ramah dan rawan konflik. Tentu hal tersebut merupakan keajaiban, melihat sejarah Asia Tenggara yang sebelumnya tidak lepas dari konflik. 

 

“Ribuan artikel telah ditulis untuk menjelaskan alasan-alasan terjadinya konflik. Namun, ketika sebuah ekosistem perdamaian yang tahan lama terbentuk, hanya sedikit yang menyadarinya. Di sini, di ASEAN, sebuah wilayah yang pernah mengalami konflik di dunia ini telah mencapai perdamaian yang tahan lama” tulis Kishore Mahbubani.


Jurnalis Kuatbaca mencoba menggali dan mengolah data yang dipublikasikan secara mentah oleh Uppsala Conflict Data Program (UCDP). Ditemukan selama 23 tahun yaitu periode 1998-2022, negara anggota ASEAN hampir tidak pernah terlibat dalam konflik interstate. Adapun konflik antar-negara terjadi pada 2011 antara Pemerintah Kamboja dan Thailand dengan 27 jumlah korban nyawa.


 

Meskipun demikian negara-negara Asia Tenggara banyak terlibat pada konflik dalam negeri atau intrastate. Namun angka korban tewas tidak sampai 3% dari jumlah kausalitas secara global.

 

Jauh lebih kecil dibandingkan konflik proksi yang melibatkan negara anggota NATO, yang sebagian diantaranya juga anggota Uni Eropa, angkanya mencapai lebih dari 28% kausalitas. Belum lagi jumlah korban dari konflik-konflik yang terjadi di kawasan Afrika, Timur-tengah, Amerika Selatan, dsb.

 

Data ini seakan mengamini pernyataan Mahbubani bahwasanya ASEAN menjadi kawasan yang sangat stabil. Meskipun hubungan diantaranya rawan akan konflik, namun tidak tereskalasi secara lebih tajam, dan diselesaikan secara kekeluargaan.

 

“Kita gak bisa juga bilang tidak ada konflik di ASEAN, karena kenyataannya ada. Misal tahun 2009, ada konflik perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Begitu juga dengan Thailand, Laos, Myanmar, apalagi sekarang South China Sea. Skirmishes (konflik tingkat rendah) tapi bentuknya, dan tidak tereskalasi” ujar pakar Studi Asia Tenggara Bina Nusantara University, Moch Faisal Karim, Selasa (15/08/2023).



Kepercayaan Adalah Kunci

 

Faisal Karim melanjutkan bahwasanya ada tiga aspek yang mendasari tidak tereskalasinya skirmishes di Asia Tenggara. Pertama karena regionalisme ini menerapkan Norma ASEAN Way selama puluhan tahun.

 

Berdasarkan telik Kuatbaca berjudul “Paradoks ASEAN Way”, Fundamental di dalam ASEAN Way lebih menekankan pada pendekatan diplomasi soft-power dan non-interference. Dimana setiap negara anggota harus yang terbebas dari campur tangan negara lain atau paksaan dari luar. Kemudian, kerja sama dan perselisihan dilakukan secara damai dengan tanpa kekerasan ataupun tekanan.

 

Aspek kedua ialah, masing-masing negara anggota ASEAN lebih banyak mengedepankan dialog informal maupun formal berbasis persahabatan, keyakinan dan saling percaya ketika membahas suatu masalah atau confidence building measure (CDM).

 

“Teorinya mengatakan, orang itu berkonflik itu karena ada security dillemma, nah konflik itu yg awalnya mungkin sekedar skirmishes bisa spiralling menjadi konflik besar simply karena ketidaktahuan mengenai intensinya. Dengan adanya CDM ini ASEAN mampu membuat negara-negara anggota mengetahui intensi masing-masing diantaranya, dan ujungnya mampu menciptakan trust” kata Faisal Karim

 

Hal ini menandakan bahwasanya trust atau kepercayaan menjadi kunci bagi ASEAN dalam hal resolusi konflik sehingga tidak tereskalasi lebih jauh.

 

Dalam buku “The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice” Peter T Coleman menyebutkan bahwasanya trust adalah metode yang paling mudah untuk memperbaiki hubungan antara negara yang berkonflik. Bahkan potensi konflik yang muncul akibat balance of power akan menjadi hubungan yang kooperatif jika kedua negara tersebut memiliki trust diantaranya.

 

“Adanya rasa saling percaya antar individu membuat penyelesaian konflik menjadi lebih mudah dan efektif. Kepercayaan sering kali menjadi korban pertama dalam konflik. Jika kepercayaan membuat resolusi konflik lebih mudah dan efektif, letusan konflik biasanya mencederai kepercayaan dan membangun ketidakpercayaan” sebut Peter T Coleman.

 

Belajar dari telik Kuatbaca berjudul “Konflik Membeku di Dataran Ukraina”, Berbanding terbalik dengan ASEAN, konflik antara Rusia dan Ukraina terjadi karena security dillemma dan minimnya trust antara Rusia dengan NATO. Dimana IGO yang dipimpin oleh AS tersebut tidak mempercayai keresahan Rusia jika Ukraina bergabung dengan aliansi Barat.



Balancing Act Konflik Superpower

 

Aspek ketiga sebagaimana disampaikan oleh Faisal karim ialah balancing act yang dilakukan oleh ASEAN terhadap rivalitas antara China dan Amerika Serikat saat ini dikabarkan semakin memanas dan berpotensi akan membesar di masa mendatang.

 

ASEAN mencoba untuk terus bertahan pada sentralitasnya. Dalam konteks rivalitas China dengan AS, secondary power yaitu ASEAN menjadi penting, karena mampu menitikberatkan pada balancing act dengan tidak berpihak pada salah satu kekuatan tersebut. Dan inilah pentingnya ASEAN menjadi catalyst of peace yang ada di dunia”

 

Terlebih, setiap negara yang terlibat dalam kerjasama dalam kerjasama ASEAN TAC (Treaty of Amity and Cooperation), apakah itu negara anggota maupun tidak, harus mengikuti kontrak sosial. Itu penyelesaian sengketa secara damai melalui dialog.

 

“Pihak-pihak yang berkontrak tinggi dalam TAC, tidak hanya anggota ASEAN, tetapi juga mitra-mitra yang telah mematuhi TAC secara khusus terikat dalam bagaimana mereka harus berperilaku di wilayah tersebut. Ketika mereka datang ke wilayah kami, mereka harus mematuhi kontrak sosial dengan TAC dan kemudian Bali Principle 2011 tentang hubungan yang saling menguntungkan." Ujar Direktur Kerjasama Keamanan Politik ASEAN, Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, Kamis (20/07/2023). (*)

Jurnalis :Ade Pamungkas
Editor :Gery Gugustomo
Illustrator :Rahma Monika
Infografis :Rahma Monika
side ads
side ads