“Konflik Rusia-Ukraina menyebabkan Blok Barat merespon dengan sanksi aset terbesar Rusia yaitu di bidang Energi, meskipun demikian terjadi dilema di Benua Eropa EU dan non-EU yang bergantung gas alam dan BBM Rusia. Vladimir Putin memberikan beberapa serangan balik termasuk dengan memberlakukan penjualan energi dengan kurs rubel yang membuat Jerman ketar-ketir. Konflik sumber daya energi yang terjadi diantara mereka membuat harga BBM dan gas alam melambung tinggi, tentunya hal itu berdampak pada kenaikan serta kelangkaan LPG dan BBM. ”
Operasi militer dan serangan yang dilancarkan oleh Rusia kepada Ukraina telah menimbulkan polemik yang berlarut larut hingga terjadi efek domino yang dampaknya merembet ke banyak sektor termasuk sektor energi. Namun masalah ini semakin besar semenjak Amerika Serikat dan Inggris Raya memutuskan untuk memblokade energi dari negara yang dipimpin oleh Vladimir Putin tersebut.
Ihwal perkara tersebut terjadi ketika Rusia mulai berkonflik kepada Ukraina, yaitu saat Rusia memerdekakan Donbass dan Luhansk serta menempatkan militernya di kawasan tersebut.
Sehari setelahnya, Kongres AS memberikan sanksi kepada entitas apapun yang terlibat dengan jalur pipa Nord Stream 2 yang mengalir melalui Laut Baltik menuju Jerman. Hal ini tentu saja membuat Jerman terpaksa menghentikan proses sertifikasi jalur pipa tersebut.
Sedangkan Nord Stream 2 baru saja selesai dibangun pada September 2021. Diketahui tujuan dari pembangunan Jalur pipa ini ialah untuk melipatgandakan ekspor gas alam Rusia ke Eropa.
Pemerintah Amerika Serikat memang menentang keberadaan Nord Stream 2 dikarenakan mereka tidak ingin Eropa terlalu tergantung pada energi dari Rusia. Hal itu tercantum dalam Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yang ditandatangani oleh Presiden Donald Trump pada 2017. Sebagaimana tertuang pada pasal 257 ayat 9:
“Kita Terus menentang jalur pipa NordStream 2 yang berdampak merusak pada keamanan energi Uni Eropa, pengembangan pasar gas di Eropa Tengah dan Eropa Timur, serta reformasi energi di Ukraina”
Di ayat selanjutnya tertulis jika tujuan Amerika Serikat menolak hal itu ialah untuk mengamankan ekspor sumber daya energinya, menciptakan, membantu sekutu dan partnernya di dunia internasional, serta memperkuat kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Mau Bagaimanapun, Amerika Serikat merupakan pesaing Rusia dalam memproduksi energi. Menurut data dari laporan British Petroleum 2021, Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak memproduksi energi yaitu sebesar 23.7%, lalu diikuti oleh Rusia 16.6%.
Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri jika Rusia menyumbang total cadangan gas alam terbesar mencapai 19.9%, sedangkan AS hanya 6.7%.
Persentase Negara dengan Jumlah Cadangan dan Produksi Terbesar Dunia Tahun 2020, Sumber: BP.Com
Pemerintah Amerika Serikat yang masih merasa digdaya, memulai konflik dengan memberikan sanksi berupa embargo impor minyak bumi, gas alam cair, dan batu bara dari Rusia pada 8 Maret 2022. Kemudian diikuti oleh Inggris pada hari yang sama.
Dilema Negara-Negara Eropa
Namun hal ini menjadi hal yang dilematis bagi Uni Eropa (UE) yang merupakan sekutu Amerika Serikat di NATO. Dua belas negara anggota Uni Eropa serta sebagian besar sekutu UE di Benua Eropa tentu tidak bisa melepaskan ketergantungannya pada energi gas alam dari Federasi Rusia. Dilaporkan, lebih dari 40 persen gas alam Uni Eropa diimpor dari negeri beruang putih tersebut.
Bedasarkan data dari perusahaan produsen gas alam terbesar dunia di Rusia, PJSC Gazprom, Sekutu UE seperti Bosnia & Herzegovina, Macedonia Utara, Moldova, Serbia beserta empat negara anggota UE yaitu Latvia, Finlandia, Estonia, dan Bulgaria menggantungkan 75 persen gas alamnya dari Rusia.
Tidak sampai disitu, Gazprom juga menjelaskan bahwa Benua Eropa merupakan kawasan penerima minyak bumi terbesar dari Rusia yaitu sebesar 34%. angka tersebut bahkan lebih besar dari penerimaan gas alam di dalam negerinya sendiri.
Jika dilihat lebih dekat, Lithuania, Finlandia, Slovakia, Polandia, Hungaria, Jerman dan Yunani merupakan negara-negara eropa penerima minyak bumi terbesar dari Rusia.
Pakar energi dan geopolitik dari Center for Strategic & International Studies (CSIS), Nikos Tsafos menjelaskan jika penyimpanan gas alam Eropa tidak dapat memenuhi jumlah konsumsinya.
“Eropa mengandalkan penyimpanan gas untuk memenuhi permintaan yang tinggi pada musim dingin. Bahkan dengan penyimpanan 100 persen, Eropa tetap membutuhkan impor untuk membuatnya dapat melalui musim tersebut” cuit Nikos Tsafos.
Selain Nord Stream, gas alam dari Gazprom juga dialirkan ke negara-negara Eropa melalui banyak jalur pipa. Jalur pipa gas alam terluas ialah Northern Lights yang mengaliri gas alam hingga ke Jerman dan Yamal-Europe Pipeline System hingga ke Italia. Kemudian terdapat juga TurksStream dan TANAP melalui Laut Hitam dan Turki, serta Urengoy-Uzhgorod melewati territorial Ukraina.
Bank Investasi Amerika Serikat, Stifel memprediksi jika perang Rusia-Ukraina akan membuat harga gas alam Eropa melonjak hingga empat kali lipat. Terbukti, dilansir dari laman Quartz, harga gas alam Eropa melejit hingga 345 Euro per megawatt-jam pada 7 Maret 2022, angka tersebut dinilai tertinggi sejak delapan tahun terakhir.
Meskipun demikian harga gas alam Eropa mengalami fluktuasi yang sangat dalam sejak Oktober 2021. Mengutip dari Washington Post hal itu disebabkan permintaan yang tinggi dan kebergantungan negara-negara Eropa terhadap gas alam menggantikan batu bara sebagai energi terbarukan sedangkan distribusi gas dari Rusia sering mengalami kendala.
Beberapa kendala itu termasuk perubahan cuaca dan krisis geopolitik Nord Stream antara Rusia dengan AS. Selain itu konfliknya dengan Ukraina telah mengganggu aliran gas alam di jalur pipa Northerns Lights, Yamal-Europe, dan Urengoy-Uzhgorod yang melewati negeri pimpinan Volodymir Zelensky tersebut.
Namun dibandingkan bersikap netral serta mengamankan pasokan energinya, Uni Eropa tampak menitik beratkan sikapnya kepada Amerika Serikat dan Inggris. 8 Maret 2022, Lembaga regionalisme Eropa Barat menyampaikan komitmennya untuk mengurangi impor gas alam dari Rusia sebesar 66% pada tahun ini. Tidak sampai disitu, dua minggu kemudian Uni Eropa juga sedang pertimbangan menghentikan impor minyak bumi dari Rusia.
Kebijakan tersebut mendapatkan protes dari negara non-anggota UE seperti Serbia. Pada 21 Maret 2022, Presiden Aleksandar Vucic mendesak UE untuk tidak menghentikan arus gas alam rusia melalui jalur pipa TurkStream. Dimana sebelumnya Pemerintah Bulgaria bersama UE menegaskan untuk tidak akan memperbarui kontrak dari Moskow karena tindakan militernya ke Ukraina.
Serangan Balik Valdimir Putin
Keadaan semakin sulit bagi negara UE khususnya Jerman, lantaran Rusia tidak tinggal diam dan merespon sanksi serta embargo Barat. Yaitu ketika Presiden Rusia Vladimir Putin menetapkan penggunaan mata uang rubel untuk pembelian gas alam dan minyak bumi untuk negara-negara yang masuk dalam entitas yang tidak bersahabat pada 24 Maret 2022.
Beberapa negara terkait yang dianggap tidak bersahabat bagi Rusia ialah termasuk Amerika Serikat, Inggris, negara-negara anggota Uni Eropa serta negara-negara Eropa non-EU (Ukraina, Montenegro, Swiss, Albania, Andorra, Islandia, Liechtenstein, Monako, Norwegia, San Marino, Makedonia Utara).
Mengutip dari laman Bloomberg harga gas naik hingga 34% setelah Vladimir Putin memerintahkan bank sentralnya untuk memberlakukan mekanisme pembayaran ruble untuk gas alam. Kenaikan harga gas mencapai 132.74 Euro per megawatt-jam atau setara Rp28 juta
Merespon hal tersebut Jerman ketar-ketir karena pihaknya merupakan negara pengimpor gas alam terbesar dari Rusia. Di bawah kepemimpinan Frank-Walter Steinmer, pemerintah Jerman menganggap tindakan Vladimir Putin telah melanggar kontrak antara kedua pihak. Sehingga Pada akhirnya Jerman terpaksa mewacanakan impor gas alam dari Qatar.
Tidak sampai disitu, pemerintah Rusia juga berencana menetapkan larangan ekspor Uranium kepada mereka. Tentu hal ini juga dapat menyulitkan Amerika Serikat. Karena Rusia adalah salah satu sumber uranium terbesar bagi Amerika Serikat yaitu sebesar 16% dari total impor uranium AS.
Sebagaimana diketahui, US Energy Information Administration (EIA) menjelaskan bahwa uranium adalah bahan bakar yang paling banyak digunakan untuk pembangkit tenaga nuklir dan fisi nuklir.
Dampak Kepada Indonesia
Konflik sumber daya energi yang terjadi antara Blok Barat dan Rusia, membuat harga minyak bumi dan gas alam dunia semakin bergejolak tak terbendung.
Tentu ini tidak hanya merupakan bualan semata. Nyatanya berdasarkan data dari laman Oilprice.com, harga minyak bumi dan gas alam mengalami fluktuasi yang cukup tajam.
Pada periode 25 Februari hingga 8 Maret, harga minyak bumi indeks Brent Crude naik sebesar 35.9%, kemudian turun 25% di periode 08 - 16 Maret, naik lagi hingga 23 Maret sebesar 22.7%.
Teruntuk gas alam, 28 Februari hingga 4 Maret naik sebesar 13.9%, turun 9.7% sampai 9 Maret, dan naik lagi 15.5% hingga 22 Maret.
Kenaikan ini tentu bisa menjadi patokan dari harga BBM maupun gas alam di Indonesia. Misalnya di sektor gas alam, Pada 27 Februari, PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) kembali menyesuaikan harga LPG non-subsidi.
Dengan aturan ini, harga LPG nonsubsidi 5.5 kg mengalami kenaikan mencapai Rp85.250/tabung dari harga sebelumnya Rp76.000/tabung. Sedangkan LPG non-subsidi 12 kg dibanderol Rp186.000/tabung dari harga sebelumnya Rp162.000/tabung.
Menggutip dari laman Kontan, terdapat perbedaan harga LPG non-subsidi di berbagai daerah, dapat dilihat di tabel berikut.
Mengamati kenaikan tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai akan terjadi pergeseran dari penggunaan LPG nonsubidi ke LPG melon 3kg.
“Banyak kelas menengah yang pendapatannya belum semua pulih akibat pandemi, sehingga mereka harus melakukan berbagai cara untuk mendapatkan LPG yang harganya lebih murah,” ujar Bhima dikutip dari Kompas.com, Minggu (6/3/2022)
Hal inilah yang menyebabkan kelangkaan gas LPG 3kg di beberapa daerah termasuk di Polewali Mandar, Sukabumi, Kediri Raya, Semarang, Pelalawan, Talaud, dan Semarang, pada awal hingga pertengahan Maret 2022.
Tidak sampai disitu, Indonesia juga mengalami kelangkaan Solar dan Biosolar di Sumatera dan di Pulau Jawa.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan kelangkaan solar yang terjadi di berbagai daerah disebabkan oleh penurunan kuota solar 5% sedangkan permintaan naik hingga 10%. Nicke juga menjelaskan jika penurunan kuota tersebut tidak diperkirakan sebelumnya.
“Sampai dengan akhir tahun ada peningkatan 14 persen kuota, tetapi di sisi lain suplai malah turun lima persen” ujar Nicke Widyawati dikutip dari laman Antara, Senin 28 Maret 2022.
Sebelumnya Direktur ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan jika tren kenaikan harga minyak mentah dunia akibat konflik sumber daya diatas tentunya perlu diwaspadai oleh pemerintah.
"Kita sebagai price taker yang relatif tidak banyak opsi kebijakan selain menerima harga internasional," jelasnya dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa 1 Maret 2022.
Informasi terbaru, Kementrian ESDM memperkirakan kenaikan harga keekonomian BBM RON92 setara Pertamax mencapai Rp16.000/liter dikarenakan harga minyak mentah yang masih bergejolak.
"Kami masih berkoordinasi dengan stakeholder terkait untuk penyesuaian harga Pertamax," ujar Corporate Secretary Subholding Commercial And Trading Pertamina, Irto Ginting dilansir dari Detik.com.
Berdasarkan pengamatan diatas, konflik energi antara Blok-Barat dan Rusia yang kain memanas akan terus memberikan dampak pada harga minyak dan gas alam dunia.
Indonesia secara tidak langsung kecipratan dampak tersebut, dapat dibuktikan dengan terjadinya kenaikan gas LPG dan Pertamax serta kelangkaan Solar.
Sumber energi digunakan pada berbagai sektor kehidupan, seperti komersiil, industri dan rumah tangga. Oleh karenanya kenaikan harga sumber daya energi akan berdampak pada semua sektor.
Mengutip dari Jurnal dari Kementerian Keuangan berjudul “Dampak Fluktuasi Harga Minyak Dunia Terhadap Perekonomian Indonesia”, Muhammad Afdi Rizal menjelaskan kenaikan fluktuatif harga minyak bumi dunia akan memberikan dampak yang cukup signifikan.
Kenaikan harga minyak di pasar internasional akan mendorong naiknya tingkat inflasi di dalam negeri dan proses kenaikan inflasi ini berlangsung selama satu tahun. Selain itu fluktuasi harga minyak juga memberikan dampak riil selama satu bulan.
Afdi Rizal juga mengindikasikan kenaikan harga sumber daya energi di pasar internasional menyebabkan lemahnya nilai tukar rupiah, dan kenaikan suku bunga di dalam negeri selama 10 bulan.
Belum lagi, Masyarakat Indonesia akan merayakan Ramadhan dan Idul Fitri, sudah bukan rahasia lagi jika menjelang hari raya islam harga barang di sektor pangan mengalami kenaikan.
Potensi krisis sumber daya energi yang dibutuhkan di banyak sektor masyarakat jika dibenturkan dengan kenaikan harga menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, belum lagi permasalahan kenaikan harya minyak goreng yang belum juga selesai, dimungkinkan berpotensi akan menghasilkan dampak ekonomi yang tak terbendung di kalangan mikro.