“Sudah puluhan tahun Arab Saudi dan Iran menjadi rival di kawasan Timur Tengah sehingga menjadi pemanas dari sejumlah perang disana. Namun keberhasil China dalam mendamaikan kedua negara menjadi babak baru bagi perhelatan politik di Timteng. China tentu berkepentingan meningkatkan hubungan diplomatik dengan negara-negara Timteng demi tercapainya OBOR, sedangkan Amerika sejak dulu tertarik dengan SDA kawasan tersebut. Meskipun konflik permanen sekterian Syiah Sunni menjadi belenggu atas perdamaian, tetapi hal menunjukkan kekalahan dominasi AS di Timteng dengan menggunakan pendekatan soft power oleh China sehingga memungkinkan adanya pergeseran hegemoni kedepannya. ”
Menguatnya hubungan China dengan negara-negara Timur Tengah, disertai dengan melemahnya pengaruh Amerika Serikat (AS) di kawasan tersebut, menandakan mulainya pergeseran hegemoni. Ketika sebelumnya diorkestrasikan oleh Negeri Paman Sam, kini mulai beralih ke Negeri Tirai Bambu.
Munculnya kabar pemulihan hubungan Arab Saudi dengan Iran seakan menjadi babak baru bagi perhelatan politik di Timur Tengah (Timteng). Bagaimana tidak? Berdasarkan dari berbagai sumber, kedua negara itu sudah puluhan tahun menjadi rival di kawasan tersebut.
Tidak sampai disitu, ketegangan hubungan kedua negara teluk tersebut juga disinyalir menjadi kompor atas beberapa konflik yang terjadi di kawasan Timteng. Sebut saja seperti konflik Iran-Irak, Arab Saudi-Yaman, dan Saudi Arabia-Lebanon.
Titik klimaksnya ketika Pemerintah Arab Saudi mengeksekusi pemuka agama Syiah Nimr al Nimr pada 2015. Supreme Leader Iran, Ayatollah Ali Khamenei seketika mengecam dengan ucapan “Pembalasan tuhan akan menimpa Politisi Saudi”. Atas hal itu pula sejumlah demonstran membakar Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran hingga berujung pemutusan hubungan diplomatik antara keduanya.
China sebagai kekuatan hegemoni baru diberitakan berhasil menjadi penengah untuk merestorasi hubungan antara kedua negara teluk itu. China juga sukses menjadi rekan baik dari Arab Saudi dan Iran.
Tandanya, Iran dan China menandatangani 25 tahun perjanjian dalam rangka meningkatkan hubungan kerjasama antara kedua belah pihak dalam hal politik, strategis, dan ekonomi pada 2021. Kemudian hubungan China dengan negara-negara Arab dapat digambarkan dari berkembangnya dialog formal melalui China–Arab States Cooperation Forum (CASC) dan China-Gulf Cooperation Council Strategic Dialogue
“Timur Tengah milik masyarakat Timur Tengah dan nasib kawasan harus di tangan rakyatnya” ujar Menteri Luar Negeri China, Wang Yi pasca keberhasilannya mendamaikan Arab Saudi dan Iran, Minggu (12/03/2023)
Kepentingan China tertuang jelas dalam dokumen “Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st-Century Maritime Silk Road”. Dokumen itu mengungkapkan Negeri Tirai Bambu sedang meningkatkan hubungan dagang dan kerjasama ekonomi yang kuat dengan beberapa negara Jalur Sutra yang terbentang dari Asia Tenggara hingga Eropa Timur.
Kawasan yang berbatasan langsung dengan Teluk Persia termasuk Riyadh dan Teheran menjadi bagian dari visi China untuk mencapai pembangunan lingkaran ekonomi One Belt One Road tersebut.
Di sisi lain, Amerika Serikat sangat tertarik dengan Timur Tengah dikarenakan oleh kekayaan sumber daya alamnya, khususnya dalam hal ini bahan bakar minyak. Hal ini sempat diungkapkan oleh Guru Besar Ilmu Politik Harvard University pada 1991, saat Amerika mulai menunjukkan keterlibatannya di kawasan tersebut.
Pernyataan itu selaras dengan data terbaru dari Organization of the Petroleum Exporting Countries. Sekitar 80,4% dari cadangan minyak dunia berada di negara-negara anggota OPEC. 67,1% di antara dari total cadangan minyak OPEC tersebut berasal dari Timur Tengah.
Amerika Serikat berhasil menjadikan Arab Saudi sebagai rekan besar di kawasan Timur Tengah. Namun, perkembangan terbaru hubungan diplomatik antara keduanya mulai meregang, sebagaimana disampaikan oleh Lektor Kepala Dhoa Institute, Ibrahim Fraihat. Hal itu menjadi salah satu faktor terjalinnya restorasi hubungan Arab Saudi-Iran.
”Arab Saudi telah terlihat frustasi bekerja dengan Pemerintahan Joe Biden selama dua tahun terakhir yang menyebabkan Arab Saudi untuk mendiversifikasi mitra keamanannya dan bekerjasama dengan pemain lainnya” ujar Ibrahim Fraihat, Minggu (12/03/2023).
Senada dengan itu, Ahmad Sahide, Pakar Timur Tengah sekaligus Dosen Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional UMY, mengungkapkan bahwa Arab Saudi sudah sering dikecewakan oleh kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah.
“Arab saudi sudah tidak bisa lagi mengandalkan Amerika Serikat. Karena AS sering membangun kebijakan yang yang merugikan Arab Saudi,” ujar Ahmad Sahide ketika dihubungi oleh Kuatbaca.com, Jum’at (19/03/2023).
“Tidak dalam waktu dekat, tetapi indikasi itu sudah mulai mendekat, hal ini dikarenakan sudah mulai tergerusnya supremasi Amerika Serikat di kancah Global, Terkhusus di Timur Tengah” kata Sahide.
Sejauh mana keberhasilan China mendamaikan Arab Saudi dan Iran, hal tersebut menunjukkan kekalahan pengaruh dominasi Amerika Serikat yang cenderung menggunakan pendekatan hard power. Peneliti Studi Timur Tengah Quincy Institute, Annelle Sheline mengatakan bahwa keberhasilan tersebut dipengaruhi perbedaan cara pendekatan yang dilakukan antara China dan AS.
“Ini menunjukkan peran China dalam mengembangkan Timur Tengah cenderung melalui kerjasama, perdagangan dan lebih sedikit menggunakan pendekatan konflik dan penjualan senjata layaknya norma dibawah dominasi AS” ujar Annelle Sheline,Jum’at (10/03/2023).
Sentimen Syiah-Sunni Perlu dipertimbangkan Juru Damai
Ketegangan antara Arab Saudi dan Iran sudah mulai terbentuk bahkan sesaat munculnya Revolusi Iran 1979. Hal ini ditandai dengan sikap Arab Saudi yang secara diam-diam menyokong dana kepada Iraq selama perang Iran-Iraq pada 1980an. Rivalitas sektarian Syaih-Sunni menjadi alasan utamanya.
Menggemanya Arab Spring pada 2011 juga menjadi kesempatan bagi kedua negara untuk saling memperkuat pengaruhnya dan menyingkirkan lawannya dalam politik di kawasan Timur Tengah. Sehingga konflik sektarian justru memperburuk konflik yang berkepanjangan di kawasan tersebut.
Bahkan sentimen itu juga terbentuk dan memberikan dampak buruk di Indonesia. Direktur Riset Maarif Institute, Ahmad Imam Mujadid Rais mengungkapkan bahwa gerakan anti Syiah semakin terasa di Indonesia selama periode 2013-2015. Dimana selama periode tersebut konten penolakan terhadap Syiah cukup mendominasi percakapan di media sosial, bersamaan dengan berkumandangnya gerakan-gerakan anti-Syiah di sejumlah daerah.
Sehingga sentimen ini memang sudah lama mengakar di kawasan Timur Tengah yang bahkan mempengaruhi stabilitas politik di negara lain. Bahkan menurut Ahmad Sahide isu sekterian ini termasuk dalam tiga konflik permanen di Timur Tengah.
“Rivalitas antara Syiah dan Sunni itu kan sudah issu yang sudah lama yah. ada tiga konflik permanen di timur tengah: Syiah-Sunni, Israel Palestina, dan Kurdistan” kata Sahide.
Menurutnya tidak ada jaminan jika restorasi hubungan baik Arab Saudi dan Iran akan bertahan lama lantaran permasalahan konflik Syiah-Sunni yang belum diselesaikan.
“Kalau saya melihatnya hal itu tidak akan langgeng, karena upaya untuk perdamaian kedua negara sudah berlangsung lama. Rivalitas kedua negara ini juga sudah cukup lama. Hal itu karena itu akar permasalahannya (sentimen Syiah-Sunni) belum diselesaikan,” tegas Sahide
Pandangan itu diperkuat dengan pernyataan Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Broto Wardoyo.
"Misalnya sekarang karena mereka sudah normalisasi hubungan, kemudian perebutan pengaruh mereka di Irak misalnya menghilang. Saya tidak terlalu yakin karena sebelum mereka memutuskan hubungan, pertarungan politik mereka di Irak sudah terjadi," ujar Broto, Jum’at (17/03/2023).
Upaya China untuk mendamaikan antara kedua negara tersebut, memerlukan langkah yang lebih serius secara politis. Setiap langkah upaya perlu mempertimbangkan keberadaan konflik yang sudah mengakar di masyarakat.
“Tentu ini tidak mudah. China hanya melihat Timur Tengah dari sudut pandang ekonominya, padahal mendamaikan Timteng tidak mudah karena konfliknya yang sudah terkotak-kotakan di masyarakat.” tandas Sahide. (*)