top ads
Home / Telik / Hiburan /  Masih Perlu Bicara Otorisasi HAKI Musik

Hiburan

  • 222

Masih Perlu Bicara Otorisasi HAKI Musik

  • February 06, 2022
 Masih Perlu Bicara Otorisasi HAKI Musik

“Musik yang sering kita dengarkan, alunan yang begitu merdu dan sangat menyejukan, nyatanya belum berlaku bagi para penciptanya sendiri.”

 

Musik adalah bahasa yang digunakan bagi kita untuk menyampaikan perasaan dalam hati. Di Indonesia, musik menjadi hiburan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Tren musik pun semakin dinamis, dan mulai banyak menciptakan musisi hebat.

 

Musik menjadi seni menyusun nada atau suara dalam urutan dengan kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan suara yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan. Banyak genre atau aliran jenis musik yang ada di Indonesia, mulai dari Dangdut, Pop, Metal, Hiphop, Punk, bahkan yang mendayu-dayu seperti tren saat ini yakni Folk. Dari sekian banyak genre yang ada di Indonesia saat ini, lahirlah sejumlah musisi tanah air yang mampu menembus pasar Internasional.

 

Pada awal tahun 90-an, industri musik Indonesia mulai mengepakkan sayap dan kuat. Banyak band yang bisa mendapatkan kontrak pada major label. Mereka yang tidak mendapatkan kerja sama dengan major label, mereka memulai dengan rekaman sendiri, inilah cikal bakal band indie.

 

Dari tahun ke tahun, perkembangan musik tanah air menunjukan kemajuan, tak sedikit band, baik berlabel ataupun indie mampu merilis karya dan diterima baik masyarakat. Pertemuan karya dan penikmat juga makin dijembatani kehadiran platform musik seperti Youtube, Spotify, Joox, MelOn, dan Apple Music. Label maupun penyanyi mendapatkan keuntungan dari jumlah pengunjung dan pengunduh lagu.

 

Sayangnya, keuntungan berkarya dalam musik masih belum mengalir pada sang pencipta lagu. Ketika lagunya dinyanyikan oleh musisi lain, mereka masih tersisih dari pihak yang seharusnya menikmati royalti. Padahal itu sudah termaktub dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. UU tersebut memberi ketentuan dasar pelindungan dan kepastian hukum terhadap hak ekonomi Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait lagu dan/atau musik dalam meningkatkan kreativitas nasional khususnya di bidang lagu dan/atau musik.

 

Berkaca pada UU tentang Hak Cipta, masalah royalti ini nampak pada kasus musisi Payung Teduh, dengan Hanin Dya tahun 2017 silam. Kasus ini bermula ketika Hanin menyanyikan ulang lagu Akad milik Payung Teduh.

 

Dari sekian versi cover yang tersedia di YouTube, posisi puncak dengan jumlah viewer terbanyak ditempati oleh Hanin Dhiya. Cover Akad yang dinyanyikan Hanin ditonton sekitar 26 juta pasang mata. Jumlah itu bahkan melebih versi aslinya sendiri yang dimainkan Payung Teduh.

 

Menanggapi meledaknya Akad, perwakilan media relation Payung Teduh, Yurskie angkat bicara. Menurutnya, saat mengeluarkan lagu “Akad,” Payung Teduh tidak berharap lebih.

 

Mereka tak membayangkan bakal terkenal seperti sekarang. “Pada dasarnya Payung Teduh hanya ingin membuat lagu yang enak didengar umum. Kami tak punya ekspektasi apa-apa dan cukup. Enggak nyangka aja bisa sampai meledak seperti ini,” ungkap Yurskie saat itu kepada media Tirto.

 

“Belum ada satupun komunikasi atau izin untuk segala keperluan cover lagu “Akad” ke Payung Teduh,” jelas Yurskie. Selaku pemilik asli lagu, Payung Teduh sebetulnya mengharap ada komunikasi dari mereka yang menyanyikan ulang “Akad” dalam bentuk izin lisan atau tertulis.

 

Bagi Payung Teduh, izin menyanyikan ulang lagu mereka merupakan hal penting. “Posisinya di sini kan sama-sama musisi. Ya seharusnya paham apa yang harus dilakukan ketika ingin membawakan lagu orang lain. Aku pikir pihak Hanin yang cover-nya sudah disaksikan jutaan orang juga paham dan mengerti tentang kondisi seperti itu (izin kepada musisi pemilik lagu),” pungkasnya.

 

Melalui hak cipta, muncullah hak moral dan hak ekonomi. Hak moral diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUHC 2014 yang meliputi hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan nama kreator pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum, menggunakan nama samarannya, sampai mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi, pemotongan, modifikasi, dan hal-hal lain yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi sang kreator.


Sedangkan hak ekonomi yang termaktub dalam Pasal 8 UUHC meliputi penerbitan, penggandaan dalam segala bentuk, adaptasi, aransemen, transformasi, pendistribusian, hingga penyiaran atas ciptaannya.

 

Ditambah lagi pandemi Covid-19 yang tengah melanda dunia termasuk Indonesia, industri musik tak luput dari amukan pandemi ini, sebelum pandemi pun pembajakan berlangsung secara masif di dunia digital. Dari sana musisi merasa malas berkarya, karena percuma, karya itu hanya menjadi ladang rezeki orang lain yang menyadur dan melagukan ulang dengan format yang lebih segar.

 

Banyak musisi yang banting setir, mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Vokalis grup band Republik misalnya, Ruri sempat tertangkap media berjualan es kelapa kurma dan Siomay pada awal masa pandemi Covid-19. Ia mengaku usaha itu ia tempuh untuk memenuhi penghidupan keluarganya.

 

Ironi memang, penghidupan musisi dan pencipta lagu tidak semenarik dengan karya mereka yang kerap dibawakan di banyak tempat hiburan seperti mall, hotel, karoke, kafe, dan televisi.

 

Kegetiran industri musik memang terdengar sampai kuping Presiden Joko Widodo. Pada 30 Maret 2021, ia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021, tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau musik secara komersial ataupun layanan publik. Royalti didistribusikan nelalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), diserahkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta.

 

Peraturan yang disahkan itu disambut gembira oleh hampir semua pencipta lagu dan musisi, namun menjadi perdebatan gaduh di media sosial. Perdebatan itu dikarenakan belum rincinya pengawasan, teknik pengaturan, dan mekanisme.

 

Saat ini ratusan karya musik dinyanyikan dan dimainkan dalam berbagai peristiwa komersial sebagaimana termasuk dalam kategori di peraturan yang sudah dibuat. Sementara berapa banyak petugas yang akan bisa mendatanya?

 

Sejumlah musisi kawakan seperti Indra Lesmana, Once Mekel, Yovie Widianto, Thomas Ramadhan, Melly Goeslaw, Tompi, Endah Widiastuti, Iga Massardi, Bondan Prakoso, dan Sandhy Sondoro kompak menyatakan keberatan atas PP tentang pengelolaan royalti.

 

"Ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 telah menyerahkan kewenangan yang sangat besar kepada korporasi. Apalagi penunjukan dilakukan secara tertutup, tidak transparan dan terindikasi mengandung konflik kepentingan, tanpa melalui uji publik dan konsultasi dengan para pencipta dan para pemangku kepentingan yang lain," kata Indra Lesmana dalam jumpa pers virtual, Senin (20/12/2021).

 

Musisi yang tergabung dalam Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) itu menegaskan menolak PP Nomor 56 Tahun 2021 dan Permenkumham Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 56 Tahun 2021.

 

Penolakan tersebut terjadi karena AMPLI menilai peraturan tersebut bukannya membantu tata kelola industri musik. Seniman yang tergabung dalam AMPLI menginginkan penerapan teknologi Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM).

 

Mereka menilai peraturan tersebut malah melanggengkan praktik menyerahkan fungsi pengayoman seniman oleh negara terhadap korporasi. Apalagi, sejumlah ketentuan dianggap tanpa proses yang transparan dan akuntabel.

 

“Selain petisi di charge.org dan presscon, kami juga berencana mengambil langkah hukum. Kita bisa lakukan gugatan di Mahkamah Agung (MK). Bisa juga langkah administratif,” ucap Inisiator AMPLI Indra Lesmana, Selasa (21/12/2021).

 

Indra menilai, PP 56/2021 terlalu lepas memberi kewenangan kepada pihak swasta mengambil alih peran negara mengelola kekayaan intelektual penciptaan lagu. Padahal, UU hak cipra telah mengatur lembaga manajemen kolektif boleh mengambil royalti kurang lebih 20 persen dari pencipta.

 

“Sementara di PP 56 itu diambil 20 lagi lagi kepada pihak pengelola. Mereka jadi pelaksana harian bukan saja pihak pegelola lagi,” kata Indra.

 

Ada tiga poin pernyataan sikap AMPLI. Pertama AMPLI menolak ketentuan-ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 yang memberikan pihak swasta kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti.

 

"Karenanya AMPLI meminta PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 dibatalkan," tegas Indra Lesmana.

 

Kedua, AMPLI menolak segala kebijakan pemerintah yang membuka pintu bagi pihak swasta untuk mengambil alih peran negara dalam melaksanakan kewenangan penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti yang merupakan kewenangan negara, serta mendorong pemerintah untuk membangun Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta SILM bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual selaku regulator pengelolaan hak cipta.

 

Ketiga, AMPLI mendorong LMKN untuk memperbaiki kinerja dan transparansinya untuk kembali membangun kepercayaan publik selama pengembangan PDLM dan SILM.

 

Pihak LMKN sedikit menepis kekhawatiran AMPLI, musisi senior Ebiet G. Ade yang menjadi salah satu Komisioner LMKN mengaku, pihak swasta dilibatkan untuk membantu pembentukan SILM (Sistem Informasi Lagu dan Musik).

 

“Dalam PP itu LMKN dalam membangun SILM boleh bekerja sama dengan pihak ketiga. Kita kan enggak mungkin bikin SILM sendiri. Semua yang kita jalankan dalam upaya meningkatkan royalti setinggi-tingginya,” kata Ebiet G. Ade.

 

Mengenai pemotongan royalti sebesar Rp 20 persen oleh pihak korporasi dan 20 persen lagi oleh Lembaga Manajemen Kolektif, Ebiet mengaku hal itu baru sebatas penafsiran. Menurutnya, tidak mungkin royalti dipangkas sebesar itu karena akan merugikan kalangan pencipta lagu.

 

“Menurut saya orang bisa menafsirkan ABC, tapi faktanya nanti kita bisa lihat dalam proses perjalanan ke depan. Saya dalam posisi tidak mau dipotong sebenarnya. Kalau dipotong, rugi saya. Tapi tentu kita harus logis ya untuk membangun sistem itu diperlukan biaya,” singkatnya. (*)


Jurnalis :
Editor :
Illustrator :Priyana Nur Hasanah
Infografis :Priyana Nur Hasanah
side ads
side ads