“Penetapan kenaikan tarif ojek online membawa babak baru bagi regulasi transportasi online. Di masa ‘bakar duit’, pengemudi ojek online mendapatkan insentif relatif besar, sehingga rendahnya tarif tidak menjadi masalah. Belakangan ini, insentif itu hampir habis. Karenanya, pengemudi hanya mengandalkan tarif yang butuh regulasi dari pemerintah. Perusahaan terbebas dari aturan ketenagakerjaan karena hubungan kemitraan, tetapi lemahnya penegakan hukum oleh KPPU membuat aplikator dapat menentukan tarif secara sepihak.”
Penetapan kenaikan tarif ojol sebelumnya akan diterapkan pada 14 Agustus. Pada perkembangannya, penetapan tarif diundur hingga 29 Agustus 2022. Penetapan tarif ini berlaku atas terbitnya Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.
Peraturan ini mengganti peraturan sebelumnya, yakni Keputusan Menteri Nomor 348 Tahun 2022 yang juga sebelumnya menggantikan Keputusan Menteri Nomor 348 Tahun 2019.
Dalam penetapan biaya jasa batas bawah, batas atas, dan biaya jasa minimal ditetapkan sesuai sistem zonasi:
1. Zona I
2. Zona II
3. Zona III
Pengunduran kenaikan ini sesuai pernyataan Dirjen Perhubungan Darat Hendro Sugianto bahwa penyesuaian tarif berlaku 25 hari sejak Keputusan Menteri ditetapkan.
“Kementrian Perhubungan menetapkan bahwa penyesuaian aplikator terhadap tarif dapat dilakukan paling lambat 25 hari kalender sejak KM tersebut ditetapkan,” ucapnya dikutip dari Cnbcindonesia.com, (22/8/2022).
Dari tabel di atas, kenaikan tarif ojek online per km (batas bawah-atas) hanya terjadi di Jabodetabek. Sedangkan tarif dasar atau biaya jasa minimal mengalami kenaikan di setiap zona. Hal ini dikarenakan perhitungan jarak yang berubah dari 0-4 km menjadi 0-5 km.
Kenaikan tarif ini merupakan keluhan dan protes berulang yang dilayangkan pengemudi kepada aplikator dan pemerintah.
Sejarah Regulasi Transportasi Online
Kedatangan transportasi online di sejumlah negara mendatangkan penolakan dari perusahaan transportasi konvensional, termasuk di Indonesia. Yang membedakannya adalah bagaimana pemerintah menangani dan menyikapinya. Masuknya transportasi online ini juga didorong minimnya angkutan publik yang layak dan terjangkau.
“Tumbuh suburnya sepeda motor dan ojek, adalah karena kegagalan pemerintah dalam menyediakan angkutan umum yang layak dan terjangkau. Walaupun, ketika sepeda motor sudah menjadi wabah, dampaknya justru turut mematikan angkutan umum resmi”, Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian YLKI.
Pada awalnya, ojol dengan motor dianggap melanggar UU No. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Sebab, sepeda motor tidak tercantum sebagai transportasi umum.
Regulasi pemerintah kalah cepat dengan disrupsi yang dibawa teknologi aplikasi transportasi online. Dalam beberapa waktu, mereka berbisnis tanpa payung hukum. Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 32/2016. Peraturan ini melarang transportasi berbasis aplikasi karena tidak sesuai UU LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Presiden Jokowi justru menentang pelarangan ini. Akhirnya, Menhub Budi Karya Sumadi merivisi Permenhub tersebut menjadi Permenhub No. 26/2017. Pemerintah tidak memasukkan transportasi online dengan motor dalam angkutan jalan.
Oleh karena itu, hadir Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 118 Tahun 2018. Peraturan ini berisi penyelenggaraan angkutan sewa khusus.
Dalam pasal 1 ayat 7 disebutkan, “Angkutan Sewa Khusus adalah pelayanan Angkutan dari pintu ke pintu dengan pengemudi, memiliki wilayah operasi dalam wilayah perkotaan, dari dan ke bandar udara, pelabuhan, atau simpul transportasi lainnya serta pemesanan menggunakan aplikasi berbasis teknologi informasi, dengan besaran tarif tercantum dalam aplikasi.”
“Klasifikasi bahwa transportasi online ini sebagai transportasi umum tidak lagi dilakukan, tetapi seperti ojek online ini kemudian diklasifikasikan sebagai transportasi khusus,” ucap Peneliti Institute of Governance and Public Affairs UGM Arif Novianto.
Hal ini lah yang membuat ia tidak harus mengikuti aturan tentang angkutan jalan, seperti uji KIR, plat kuning, dan sebagainya.
Yang Luput Dari Pembicaraan Tarif Ojol
Maraknya aksi protes untuk menaikkan tarif layanan ojek online belakangan ini memantik pertanyaan tersendiri. Ini berbeda di masa periode awal kemunculan ojek online yang hampir tidak ada aksi protes dari pengemudi, melainkan dari pengemudi ojek konvensional.
Era awal kemunculan Gojek, sebut Arif, adalah masa bakar-bakar duit. Pada saat itu, pengemudi mendapatkan insentif yang lebih besar. Tarif bisa sangat murah, tapi itu dapat ditutup dengan insentif dari platform.
Pada tahun 2018, riset dari Keban et al. (2020) menemukan rata-rata penghasilan kotor pengemudi ojol motor mencapai 381.712 rupiah/hari dan ojol mobil mencapai 581.892 rupiah/hari. Hal ini lah yang membuat pengemudi tidak melakukan aksi protes terhadap tarif walaupun terbilang sangat rendah.
“Mereka tidak mempersoalkan tarif (kecil) itu karena ada insentif yang besar,” kata Arif Novianto kepada Kuatbaca.com, Senin (22/8/2022).
Setelah 2018 sampai 2020, tren menunjukkan penurunan pendapatan ojek online. Bahkan, pada Februari – April 2020, penurunan mencapai 67%. Ini terjadi ketika pandemi Covid-19 menghantam sektor jasa.
Kondisi ini terjadi seiring dengan pemotongan insentif oleh pihak aplikator. “Pasca itu, sejak pandemi Covid-19, seiring dengan insentif mulai dipotong hampir habis, maka kemudian kawan-kawan pengemudi mempersoalkan masalah tarif,” ucap peneliti UGM tersebut.
Dalam temuannya, ada 71 aksi protes pengemudi online dari Maret 2020 hingga Maret 2022 dengan total 132.960 peserta aksi di berbagai kota. Di 2020, aksi protes berfokus pada upaya mengembalikan skema insentif seperti dahulu. Pada 2021, isu utama dari aksi protes menyoal tarif layak.
Memang, insentif sendiri merupakan kewenangan penuh perusahaan. Namun tarif tidak hanya wewenang perusahaan saja, tetapi juga pemerintah. Itulah yang membuat aksi protes tidak hanya diarahkan kepada aplikator, tetapi juga pemerintah.
Arif Novianto menuturkan para pengemudi harus bekerja dalam waktu yang sangat lama meski akhirnya juga tidak mendapatkan pendapatan yang layak karena tarif yang begitu kecil.
Berbagai pengamat khawatir kenaikan ini akan membawa efek inflasi dan penurunan daya beli konsumen. Selain itu, pengamat juga cemas akan adanya pendapatan yang menurun bagi driver.
“Jangan sampai kenaikan tarif ini justru akan membuat orderan menurun, karena tarif baru hampir sama dengan tarif taxi,” ucap pengamat transportasi Darmaningtyas dikutip dari Detik.com, Minggu (21/8/2022).
Menurut Arif, anggapan itu tidak tepat sebab ada opsi untuk mengurangi biaya potongan atau menghapuskan platform fee. Ini menjadi win-win solution bagi pengemudi sekaligus konsumen. Dengan demikian, kekhawatiran akan inflasi dan daya beli bisa dihindarkan.
“Ini malah justru menolak kenaikan tarif. Itu artinya menormalisasi bahwa pengemudi layak dibayar murah,” ujarnya kepada Kuatbaca.com.
Celah dan Lemahnya Penegakan Hukum
Pengaturan tarif saat ini dibagi dua, yaitu tarif layanan antar penumpang dan tarif antar makanan dan barang. Pengaturan tarif layanan antar penumpang diatur oleh Permenhub. Adapun tarif layanan antar makanan dan barang dibawahi Permenkominfo No. 1/2012.
Permasalahannya, persoalan tarif pada layanan antar makanan dan barang tidak diatur soal tarif batas bawah. Mekanismenya hanya diserahkan kepada mekanisme pasar semata. Pada kelanjutannya, hal ini membuat perusahaan berlomba menurunkan tarif untuk memanjakan konsumen.
Inilah kenapa aksi protes terutama oleh pengemudi layanan antar makanan dan barang juga turut menuntut adanya perlindungan tarif. Persoalan ini menjadi luput dari sorotan terkait kenaikan tarif ojek online.
“Contohnya Maxim food di Jogja. Mereka hanya dibayar 1000 rupiah per km. Jauh lebih rendah dari dibanding tarif layanan di Jogja yang sekitar 1600 – 1800 rupiah per km,” kata Arif Novianto.
Banyaknya aksi protes ini juga dikarenakan hubungan kemitraan yang diterapkan antara pengemudi dan perusahaan tidak seimbang alias ‘kemitraan semu’. Pemerintah lewat Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertugas mengawasi praktik kemitraan.
Lemahnya penegakan hukum menjadi alasan adanya kemitraan semu pada hubungan ojek online sebagai mitra perusahaan aplikator. “Sejak dalam pembuatan perjanjian kemitraan, pemerintah seolah-olah tidak hadir,” jelasnya.
Akhirnya perjanjian ini dibuat sepihak oleh perusahaan, tanpa melibatkan mitra pengemudi. Hasilnya, pengemudi hanya dihadapkan pada persetujuan ‘ya’ atau ‘tidak’ dalam perjanjian tanpa punya hak ikut menentukan ketentuan layanan.
Pemerintah harusnya jadi pihak mediator untuk memastikan perjanjian kemitraan berjalan sesuai koridor hukum.
Konsep kemitraan termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2008. Dalam konteks hubungan kemitraan ojol, pasal 15 Permenhub No. 12/2019 menyebutkan, “Pengaturan mengenai hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hal ini berbeda, jelas Arif, bila dibandingkan di sektor perkebunan sawit. Misalnya, perusahaan sawit dengan koperasi petani yang dimediasi oleh dinas perkebunan. Dari mulai pembuatan perjanjian, ttd, dan pelaksanaan.
Celah hukumnya ini punya efek lanjutan bagi potensi adanya model bisnis serupa. Dengan klasifikasi mitra, perusahaan bisa terbebas dari kewajiban-kewajiban seperti tercantum dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi juga tidak mendapatkan sanksi karena praktik ‘kemitraan semu’ tersebut.(*)