Kuatbaca
13 March 2023 10:56
Institusi keuangan seperti leasing kerap mengandalkan debt collector yang berwajah seram, badan besar dan tidak sungkan berkata kasar untuk menagih nasabah debiturnya yang menunggak cicilan. Kasus selebgram Clara Shinta di akhir Februari lalu menjadi contoh kesekian kalinya ulah debt collector, yang terjadi sejak murahnya down payment untuk kredit pembelian barang maupun kartu kredit. Praktik debt collector harus dilawan oleh nasabah dengan memahami ketentuan fidusia.
Penarikan kendaraan bermotor secara paksa oleh debt collector dapat dengan mudah viral sebagai arogansi profesi ‘si mata elang’. Kejadian serupa itu yang dialami selebgram Clara Shinta, membuat masyarakat dan kepolisian saat ini mengejar debt collector yang berperilaku arogan.
Kasus arogansi juga terus bergulir, sepekan berlalu keributan masyarakat dan debt collector terjadi di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Bermula dari oknum debt collector yang merampas motor miliķ pengemudi ojek online. Ia tidak terima dengan sikap dan metode penagihan sehingga terjadi keributan.
Kasus penarikan paksa debt collector ini memang bukan hal baru, setelah menjamurnya perusahaan leasing dengan bersaing pada rendahnya Down Payment (DP). Nasabah yang secara penilaian kredit tidak layak, namun dipaksakan menerima kredit, dikemudian hari pasti akan menjadi beban perusahaan leasing. Di titik inilah para debt collector menjamin uang leasing bisa kembali.
Aksi para penagih menjadi sorotan lantaran cara yang ditempuh berupa tindakan kasar. Meskipun, tindakan ambil barang secara paksa dan kasar tidak dibenarkan secara hukum dan merugikan nasabah debitur.
Ketentuan yang mengatur hal tersebut dimulai dari Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012 tentang Penagihan Utang Kartu Kredit. Dalam aturannya, jasa penagihan hanya boleh dilakukan oleh badan usaha tertentu, yaitu Perseroan Terbatas (PT) atau firma hukum.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi debt collector ketika menjalankan tugasnya, di antaranya wajib membawa sejumlah dokumen termasuk sertifikat profesi penagihan dari lembaga sertifikasi profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 38 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Pembiayaan. Pihak OJK menyampaikan aturan tersebut menjadi acuan dalam penggunaan debt collector oleh perusahaan pembiayaan.
Namun secara umum, prosedur penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
UU tersebut menerangkan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Namun, pada Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 terdapat perbedaan penafsiran terkait dengan proses eksekusi atau penarikan jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kreditnya bermasalah. Tafsir tersebut menganggap bahwa berdasarkan wewenang yang diberikan oleh UU, maka dapat melakukan penarikan sendiri atau sepihak. Hal inilah yang kemudian terjadi di masyarakat, berupa penarikan paksa kendaraan bermotor oleh debt collector.
Penafsiran yang banyak merugikan masyarakat tersebut membuat Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU/XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021.
MK juga mempertimbangkan mengenai tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan lain dalam UU 42/1999 agar disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
Salah satu aspek yang menjadi perhatian dari persoalan tersebut mengenai prosedur eksekusi objek jaminan fidusia. Perusahaan leasing menggunakan pihak ketiga sebagai debt collector untuk mengeksekusi objek fidusia, yang sering kali berujung pada masalah saat penagihan menjadi berisiko memunculkan penolakan debitur sehingga terjadi konflik fisik.
MK menegaskan adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan atas kekuasaan sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Bahwa, eksekusi berdasarkan ketetapan pengadilan negeri sebagai alternatif yang dapat diambil perusahaan leasing jika debitur menolak menyerahkan sukarela dan merasa tidak wanprestasi.
Handika Febrian praktisi hukum dari Febrian Siahaan Law Office, menilai Putusan MK Nomor 18/PUU/XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 sudah tepat dalam memberikan kepastian dan keadilan hukum.
“Pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua putusan MK tersebut saya kira sudah tepat dalam memberikan kepastian hukum dan seimbang antara Kreditur dan Debitur,” Kata Handika kepada Kuatbaca.com, selasa (28/2).
Handika memaparkan bahwa permasalahan eksekusi jaminan fidusia sebenarnya tidak akan terjadi jika para pihak menyadari dan taat pada isi perjanjian kredit. Masalah muncul biasanya karena ada pihak yang tidak fair dan tidak menghargai isi perjanjian kredit yang telah disepakati.
“Debitur biasanya menggunakan alasan untuk bisa mengulur waktu agar tetap bisa menggunakan jaminan fidusia dan bahkan ada juga pihak debitur yang ingkar pada saat penerima fidusia. Namun, tidak jarang kreditur perusahaan pembiayaan yang menggunakan debt collector juga tidak memiliki dokumen-dokumen seperti sertifikat profesi dan mengikuti peraturan perundang-undangan saat proses penagihan,” lanjutnya.
Handika menambahkan, putusan MK tersebut juga sejalan dengan kebijakan OJK yang mewajibkan kepada debt collector atau penagih utang perusahaan pembiayaan untuk mengikuti sejumlah ketentuan dalam proses penagihan kepada konsumen. Seperti, membawa dokumen-dokumen yaitu kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia.
Untuk itu, ujar Handika, mengingatkan agar para pihak baik debitur maupun kreditur untuk fair dan saling menghormati isi perjanjian.
Pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanya sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur, baik adanya wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur.
Tafsir MK tersebut pada dasarnya telah memberi keseimbangan posisi hukum untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Dengan kata lain bahwa sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta (otomatis) memiliki kekuatan eksekutorial.
Bila debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan (dengan mudah) oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri (secara sukarela).
Selain itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan pada kesepakatan pihak debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum (gugatan ke pengadilan) yang menentukan/memutuskan telah terjadinya cidera janji.
Maka dari itu, pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa, harus memiliki dasar upaya hukum dalam proses penagihan, debt collector juga dilarang menggunakan kekerasan. Hal ini tercantum dalam Pasal 7 POJK Nomor 6/POJK.07/2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Setidaknya, debt collector dilarang melakukan tiga hal saat melakukan penagihan, yaitu: menggunakan cara ancaman; melakukan tindak kekerasan yang bersifat mempermalukan; dan memberikan tekanan baik secara fisik maupun verbal.
Bila debt collector tetap menyita atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur secara melawan hukum, maka debitur dapat melaporkan debt collector tersebut ke polisi. Namun lepas dari itu, debitur tetap wajib melunasi utang-utangnya kepada kreditur. (*)
Komentar
Belum ada komentar