top ads
Home / Telik / Ekonomi / Pasar Trading Card Game Masih Bertumbuh

Ekonomi

  • 446

Pasar Trading Card Game Masih Bertumbuh

  • January 14, 2022
Pasar Trading Card Game Masih Bertumbuh

“Trading card game (TCG) di Indonesia masih belum ketinggalan jaman sebagai permainan remaja. Kegandrungan yang bersifat hobi itu memiliki beragam tujuan, seperti koleksi, kompetisi hingga mencari keuntungan karena faktor kelangkaan (rarity). Meski demikian, permainan yang bersifat digital atau online yang dimainkan multiuser secara jarak jauh, perlahan menyingkirkan TCG.”

 

Trading Card Game atau biasa disebut dengan TCG merupakan salah satu hobi yang cukup digandrungi masyarakat di berbagai kalangan. TCG pertama kali dibuat oleh seorang professor matematika asal US, Dr. Richard Garfield dan rekannya Peter Adkinson pada tahun 1993 dengan nama Magic: The Gathering (MtG).

 

Serial pertama MtG memiliki 295 jenis kartu dan berhasil terjual sebanyak 2,6 juta lembar kartu. Mengikuti kesuksesan serial pertamanya, penjualan serial kedua MtG jauh lebih besar sekitar 7,3 juta lembar dan 35 juta lembar pada cetakan ulangnya. Sejak saat itu, MtG dikenal sebagai permainan kartu berbasis TCG pertama dan menjadi standar bagi permainan kartu berbasis TCG pada saat itu.

 

Kesuksesan MtG ini yang membuat perusahaan mainan lain ikut meramaikan dunia TCG dengan TCG buatan mereka sendiri. Tahun 1995 sampai 1999 adalah masa dimana TCG sangat gencar dibuat oleh banyak perusahaan.

 

Pada tahun yang sama, banyak perusahaan yang memutuskan untuk membuat TCG menggunakan karakter yang sudah ada, misalnya, dari video game. Salah satu perusahaan tersebut adalah Nintendo yang membuat Pokémon TCG, adaptasi dari video game Pokémon yang rilis pada tahun 1996.

 

Pada tahun 1999, Nintendo memutuskan untuk membuat inovasi baru, yakni Pokémon TCG versi video game. Jadi, TCG tidak hanya bisa dimainkan secara fisik, namun juga dimainkan secara virtual menggunakan gadget. Karena Video game yang mayoritas penggunanya adalah anak muda, maka sasaran Pokémon TCG membidik kalangan yang lebih muda ketimbang MtG yang menyasar orang dewasa.

 

Hal ini menyebabkan lebih banyak kalangan yang mengenal dan memainkan TCG secara keseluruhan. Jadi, walaupun TCG yang sekarang kebanyakan berasal dari Jepang, bukan berarti TCG pertama kali diciptakan di Jepang, tapi di Amerika.

 

Berkat Richard Garfield yang menciptakan MtG, kita bisa mengenal permainan kartu berbasis TCG ini. Sementara berkat Nintendo yang menciptakan video game Pokémon TCG, sekarang kita bisa memainkan TCG dimanapun dan kapanpun.

 

TCG pada umumnya dicetak dalam Bahasa Inggris, tapi tidak untuk TCG asal Jepang. Negeri Matahari Terbit itu tetap menggunakan bahasa asalnya. Namun, seiring masifnya TCG Jepang, mereka mulai membidik pasar global dengan membuat cetakan kartu berbahasa Inggris. Sementara MtG sebagai induk TCG, memiliki banyak varian bahasa mulai dari Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Portugal, Italia, Rusia, Jepang, Korea hingga Cina.

 

Selain itu, masifnya pertambahan pemain TCG dunia membuat lisensi dari TCG dibeli oleh beberapa konsumen di negara lain. Mereka mendatangkan TCG tersebut dengan cetakan kartu bahasa negara tersebut. Salah satunya Indonesia.

 

Antusiasme yang besar atas TCG di Indonesia mendorong perusahaan Brain Navi Indonesia untuk meluncurkan produk Haikyu Volleyball Game Card (VCG) untuk pasar Indonesia pada akhir 2018. Sehingga pemain TCG asal Indonesia dapat menikmati Haikyu VCG berbahasa Indonesia. Haikyu VCG merupakan salah satu TCG yang sangat terkenal di Jepang.

 

CEO Wedge Holdings, Tatsuya Konoshita, menjelaskan, TCG pertama kali diciptakan pada tahun 1993, lalu berkembang pesat baik dalam jumlah maupun kualitas, dan saat ini menjadi salah satu produk unggulan di dunia hiburan Jepang.

 

"Yu-Gi-Oh!, TCG yang pertama kali dan paling dikenal di dunia adalah sebuah produk yang sukses secara komersial dan berhasil menjual lebih dari 30 triliun kartu dengan berbagai bahasa di dunia," kata Tatsuya Konoshita sebagaimana dikutip dari portal Beritasatu pada Selasa, 11 Desember 2018.

 

Tatsuya mengatakan, TCG adalah pasar yang berkembang secara pesat dengan judul-judul terkenal seperti Yu-Gi-Oh!, Duel Masters, Cardfight!! Vanguard, Weiss Schwarz, dan masih banyak lagi.

 

"Tidak hanya mendominasi Jepang, TCG juga muncul dengan bahasa lain dan masuk ke banyak negara hingga mampu menarik minat banyak pemain di seluruh dunia," tambahnya.

 

Haikyu VCG dibandrol dari harga Rp 20.000 untuk booster pack hingga Rp 135.000 untuk starter deck.

 


Selain Brain Navi Indonesia, perusahaan yang terdorong yaitu The Pokémon Company dari Jepang dan Salim Group melalui PT Anugerah Kreasi Gemilang (AKG) sebagai pemegang lisensi utama untuk membawa Pokémon TCG ke Indonesia pada Agustus 2019.

 

Direktur Eksekutif Salim Group, Axton Salim pernah mengutarakan bahwa pihaknya melihat potensi peminat permainan kartu yang relatif besar. Pengamatan itu membuatnya harus membawa lisensi TCG Pokemon ke Indonesia.

 

“Jadi sudah waktunya market Indonesia untuk punya," kata Axton, Kamis (8/8/2019) dikutip dari portal Kontan.

 

Masuknya Pokémon TCG tentunya menjadi kabar baik bagi para pemain kartu di Indonesia, selain karena sudah menggunakan Bahasa Indonesia, kartu ini tetap dapat digunakan di seluruh dunia, bahkan pada ajang kejuaraan 2020 Pokémon World Championships.

 

AKG memanfaatkan gerai ritel milik Group Salim, yakni Indomaret, yang unit karakter dijual di kisaran Rp 20.000 untuk booster pack hingga Rp 80.000 untuk starter deck.

 

Saat ini cukup banyak TCG yang dapat dijumpai di Indonesia. Namun, TCG terpopuler yang masih eksis saat ini hanya hitungan jari. MtG masih mendominasi pasar TCG dunia, termasuk Indonesia karena MtG merupakan induk dari TCG. Lalu, ada KeyForge dan Flesh & Blood yang merupakan TCG asal Amerika.

 

Kemudian, diramaikan oleh beberapa TCG asal Jepang, seperti Pokémon, Yu-Gi-Oh!, Duel Masters, Weiss Schwarz, Cardfight!! Vanguard, Buddyfight dan Haikyu VCG. Beberapa TCG tersebut telah berhenti produksi dan mulai ditinggalkan atau biasa dikenal sebagai dead game.

 

Dead game merupakan istilah untuk permainan yang tidak lagi memiliki banyak peminat, biasanya kurang dari 1.000 pemain. Permainan yang termasuk dalam kategori ini berarti dianggap sudah ketinggalan zaman dan membosankan, tidak seperti dulu saat pertama kali permainan itu diluncurkan.

 

Banyaknya TCG yang berstatus dead game seperti Haikyu VCG di tahun 2019 menjadi tantangan tersendiri bagi pasar yang menjual TCG. Pasalnya, mereka masih menyimpan stok yang belum laku terjual namun TCG tersebut telah menjadi mati dan tidak akan laku terjual.

 

Berdasarkan pantauan kuatbaca.com di grup Facebook ‘Pokémon TCG Indonesia’ ditemukan banyak penjual baik individu ataupun toko yang mengobral stok TCG sisa yang belum laku terjual. Mereka menjatuhkan harga yang rendah agar terjual.

 

Selain membandrol dengan harga rendah, mereka membuat opsi penjualan TCG seri terbaru dengan menyisipkan bonus beberapa kartu dari seri lama dan menaikkan sedikit harganya.

 

Adapun seperti toko Indomaret, mereka membuat serial khusus terbatas Pokémon TCG berlabel ‘Indomaret’ sebagai bonus. Kartu bonus ini bisa didapat jika kita membeli serial lama hingga baru dengan minimum pembelian Rp 80.000. Artinya, kita harus membeli 4 buah booster pack atau 1 buah starter deck.

 

Mengenai tujuan pembelian TCG itu sendiri ternyata sangat beragam. Masih berdasarkan pantauan di Pokémon TCG Indonesia, tujuan pembelian TCG terbagi menjadi tiga. Pertama, mereka membeli TCG untuk berkompetisi sehingga mereka membeli sejumlah kartu kuat.

 

Kartu kuat yang dimaksud ialah kartu yang termasuk pada Most Effective Tactics Available (META). Maksud dari META itu sendiri yaitu kartu paling efektif digunakan pada saat itu. Jadi, setiap periodenya akan memiliki kartu META yang berbeda. Akhirnya, para pemain yang fokus berkompetisi harus selalu merombak kartu-kartu di deknya.

 

Umumnya, satu periode di TCG itu menempuh waktu sekitar 3 bulan, jadi terdapat 4 volume/seri kartu di setiap tahunnya. Namun, pandemi Covid-19 mengacaukan timeline perilisan volume di TCG.

 

Kedua, mereka membeli TCG untuk mengoleksi kartu-kartu tertentu berdasarkan rarity (kelangkaan). Rarity itu sendiri bisa menjadi tolak ukur tinggi rendahnya harga kartu. Namun, rarity itu sendiri tidak menjamin harga kartu tersebut mahal karena adanya kondisi yang dapat menurunkan harga. Hal yang dapat menyebabkan penurunan harga, yaitu pencetakan ulang suatu kartu dari volume sebelumnya di volume saat ini.

 

Selain rarity kartu, edisi kartu juga bisa menjadi parameter penentuan harga. Seperti kartu berlabel ‘Indomaret’, ‘Upnormal’, ‘Choki-choki’, ‘KFC’, dan label-label edisi khusus lainnya. Kartu berlabel edisi khusus hanya bisa didapatkan pada event tertentu. Sehingga, kartu berlabel ini bersifat terbatas.

 

Ketiga, para pembeli TCG berburu kartu yang bertujuan mencari cuan dengan mencoba peruntungan dengan membeli booster pack atau starter deck. Dari pembelian tersebut, diharapkan mendapat kartu langka. Kemudian, kartu tersebut bisa langsung dijual atau dilelang di grup Facebook Pokémon TCG Indonesia atau di e-Commerce.

 

Untuk Pokémon TCG Indonesia, dengan bermodalkan minimal Rp 20.000, para pencari cuan bisa mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat. Satu booster pack berisikan enam kartu. Dari keenam kartu tersebut berpeluang mendapatkan kartu langka hingga sangat langka. Urutan kelangkaan kartu dimulai dari common (C), uncommon (U), rare (R), double rare (RR), shiny, prism (PR), ultra rare (UR), secret rare (SR), holo rare (HR).

 

Dari kesembilan tingkat kelangkaan, HR lah yang seharusnya paling tinggi harganya. Namun, tidak selalu HR yang memiliki harga tertinggi karena kembali kepada kartu itu sendiri, apakah bernilai atau tidak. Selain itu, fungsi dari kartu juga memengaruhi harga. Jadi, tingginya tingkat kelangkaan tidak selalu menjamin harga tinggi. Ini baru tingkat rarity dari Pokémon TCG Indonesia. TCG lain memiliki tingkat kelangkaan dan harga yang berbeda.

 

Beralih kepada kondisi pasar TCG di masa pandemi Covid-19 ini, Owner PT. Omni Game Rekreatif Edukatif (OGRE), Muhammad Aziz Riphat bertutur kepada Kuatbaca.com bahwa pasar penjualan TCG tidak terlalu terdampak kelesuan yang diakibatkan pandemi.

 

“Sebenernya gak terlalu terdampak. Karena kan orang biasanya cari hobi yang bisa dimainin di rumah. Nah, TCG kan hobi yang bisa dimainin di rumah, jadi mereka biasanya beli terus kirim ke rumah dan main di rumah,” ujar Aziz Riphat yang akrab disapa Ipank, Kamis (30/12/2021).

 

Berbeda dengan kondisi pasar Pokémon TCG Indonesia, yang ternyata mulai banyak kehilangan pemain. Ipank menyebut Pokémon TCG Indonesia menjadikan TCG lebih fokus ke jualan dan bukan untuk permainan.

 

“Distributor sudah menyiapkan banyak hal untuk ke depannya. Kalau di Pokémon kan mereka cuma berpikir untuk jualan aja, jadi lebih ke collectibles, bukan menjadi TCG dalam permainan,” terangnya.

 

Masih aktifnya komunitas TCG juga menjadi salah satu parameter bahwa kondisi pasar penjualan TCG aman. Selain aktifnya komunitas, turnamen toko juga masih aktif sehingga para pemain masih harus mencari kartu untuk memperkuat deknya. Menurut Ipank, ada tiga TCG yang turnamennya masih sangat lancar digelar.

 

“Masih… masih berjalan dengan lancar terutama untuk TCG Final Fantasy, Vanguard dan Flesh & Blood itu masih bagus banget,” pungkas Ipank.

 

Dari berbagai tolak ukur yang ditinjau dalam peliputan TCG, sejauh ini pasar TCG di Indonesia masih terus bertumbuh. Meski permainan online lebih mudah diakses karena relatif lebih murah, namun TCG tetap menjadi primadona. Pandemi Covid-19 juga berpangaruh relatif kecil terhadap antusiasme anak muda tetap mengoleksi dan unjuk gigi dalam TCG. (*)



Jurnalis :Muhammad Fadhil
Editor :Jajang Yanuar
Illustrator :Zakki Fauzi
Infografis :Zakki Fauzi
side ads
side ads