Kuatbaca
10 March 2023 10:00
“Terbongkarnya harta tak wajar pegawai Ditjen Pajak Rafel Alun Trimsambodo terus membuka kotak pandora banyaknya miliarder di tubuh Kementerian Keuangan. Tak hanya itu, Ombudsman RI membuat Sri Mulyani tidak bisa tidur nyenyak lantaran mengungkap adanya laporan maladministrasi oleh Kemenkeu.”
Berangkat dari kasus penganiayaan David Ozora Latumahina (DOL) yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo (MDS) pada Senin, 20 Februari 2023 lalu. Nama Rafael Alun Trisambodo (RAT) ikut terseret dalam pusaran pembicaraan publik di berbagai platform sosial media.
Pria yang terakhir menjabat eselon III di Direktorat Jendral Pajak (DJP) sekaligus ayah MDS, menjadi sorotan publik atas kepemilikan harta yang dinilai fantastis bagi pegawai berstatus rendah. Harta Rafael berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK 2021 ditaksir mencapai Rp56,1 miliar.
Kekayaan yang dimiliki RAT hanya berbeda tipis dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp58,8 miliar. Dalam LHKPN 2021, kekayaan suami dari Erni Meike Torondek itu terdiri dari 11 bidang tanah dan bangunan, sejumlah kendaraan, dan surat berharga lainnya.
Mengutip data Tempo, kepemilikan sejumlah bidang tanah dan bangunan tersebut. Salah satunya rumah mewah yang berada di Jalan Ganesha, Kelurahan Muja Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Tak hanya itu, surat berharga yang dimaksud adalah kepemilikan di enam perusahaan senilai Rp1,5 miliar.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) menilai hasil kekayaan yang dimiliki RAT dinilai tidak masuk akal.
Kepala Riset Seknas FITRA, Badiul Hadi mengatakan pihaknya membuat simulasi, jika status pegawai merupakan eselon I dengan gaji pokok sebesar Rp5,2 juta dan tunjangan sebesar Rp117,3 juta maka butuh waktu kurang lebih 30 tahun untuk punya uang sebesar Rp56,1 miliar.
Dengan catatan, selama rentan waktu tersebut, hasil pendapatan yang diterima ditabungkan.
“Khusus eselon III dengan gaji pokok Rp4,7 juta dan bonus kinerja Rp46,4 juta. Dibutuhkan hampir 98 tahun. Akal sehat benar-benar sulit diterima,” ucap Hadi, Minggu (26/2/2023).
Jauh sebelum kasus penganiayaan David mencuat, bau busuk kepemilikan harta RAT sudah terendus pada 2019. Pada saat itu, ia menjadi salah satu pemimpin di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing II di Kalibata, Jakarta Pusat. Namun, ia dicopot lantaran dianggap bermasalah.
Menkeu Sri Mulyani mengakui RAT salah satu dari 29 pegawai yang masuk red list Inspektorat Jenderal Pajak sejak 2019 lantaran kepemilikan harta yang tidak wajar dan mencurigakan. “Rafael salah satu yang masuk dalam daftar kategori merah,” kata Sri Mulyani, Kamis (2/2/2023).
Berkaca dari kepemilikan harta RAT yang dianggap tidak wajar, ia bukanlah satu-satunya korps keuangan yang berstatus miliarder. Mengutip hasil tambang data Kuatbaca.com yang berjudul ‘Ogah Bayar Gegara Mario’ menyatakan ada sepuluh korps yang menyandang status tersebut.
Harta RAT dua kali lipat lebih banyak dari Direktur Jenderal Anggaran yang merupakan pejabat Kemenkeu eselon I, Isa Rachmatarwata sebesar Rp25,4 miliar.
Kotak pandora miliarder korps keuangan semakin mencuat dengan bongkar-bongkaran Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Ia mengungkap sejumlah komplotan maling di instansi yang mengurusi bidang keuangan negara dengan menyatakan adanya transaksi janggal senilai Rp300 triliun yang diduga melibatkan 460 oknum pegawai.
“Kemarin ada 69 orang (pegawai Kemenkeu berharta tak wajar) dengan nilai hanya enggak sampai triliunan. Hanya ratusan, ratusan miliar. Sekarang hari ini sudah ditemukan lagi kira-kira 300 T, harus dilacak,” ucap Mahfud di Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman, Rabu (8/3/2023).
Jika melihat data di atas, tentu menggambarkan kondisi kontras yang terjadi pada Menkeu era Presiden Soekarno, Syafruddin Prawiranegara dikenal sebagai menteri yang melarat semasa menjalani masa jabatannya.
Bahkan dalam bedah buku kontroversi ‘Presiden Prawiranegara’. Farid Syafruddin anaknya, menyampaikan ayahnya tidak mampu membeli kain gurita (kain gendong bayi) untuk kakaknya bernama Aisyah.
“Ayah mengurusi uang negara, tetapi tidak punya uang untuk membeli gurita bagi adikmu, Khalid yang baru lahir. Kalau ibu tidak alami sendiri kejadian itu, ibu pasti bilang itu khayalan pengarang. Tapi ini nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita,” ucap Farid menirukan nada Ibunya, Teungku Halimah yang bercerita kapada Aisyah, Rabu (25/5/2011).
Seharusnya dengan kejadian ini, menjadi momentum Sri Mulyani untuk mereformasi besar-besaran di jajaran Kemenkeu. Terlebih, Presiden Jokowi sudah merespon dengan menunjukkan kekecewaannya.
Jokowi mengatakan, masyarakat pantas kecewa karena pelayanannya dianggap tidak baik dan pegawainya dianggap sombong serta suka pamer kekayaan.
“Saya tahu betul, mengikuti kekecewaan masyarakat terhadap aparat kita, aparat pemerintah. Dan hati-hati, tidak hanya dengan pajak, tetapi juga kepolisian dan juga aparat hukum lainnya. Terhadap birokrasi yang lainnya,” cetus Jokowi, Sabtu (4/3/2023).
Bahkan Jokowi juga meminta langsung kepada Menkeu Sri Mulyani untuk menjelaskan dengan detail perihal masalah ini serta mendisiplinkan jajaran yang bermasalah.
“Sekali lagi, saya tekankan jangan, tekankan kepada bawahan kita agar jangan pamer kekuasaan, jangan pamer kekayaan, apalagi sampai dipajang-pajang di IG (Instagram), di media sosial. Kalau aparat birokrasi sangat sangat tidak pantas," pungkas Jokowi.
Mimpi Buruk Kementerian Keuangan
Kasus penganiayaan DOL oleh MDS membuat darah warganet mendidih hingga menimbulkan seruan gerakan ‘Ogah Bayar Pajak’ di platform media sosial (medsos) khususnya Twitter. Salah satu akun bernama @cokderamaa menyulutkan emosinya dengan mengatakan dari sekarang tidak akan membayar pajak.
“Duit pajak habis di pake biayain hidup mreka. Kemudian pemerintah bingung keabisan duit. Ujung2nya rakyat lg yg salah. Gerakan pribadi, dr skrg akan berhenti bayar pajak,” cuit @cokderamaa di akun pribadinya, Kamis (23/2/2023).
Tak hanya warganet, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj juga menyerukan agar warga ‘Ogah Bayar Pajak’ jika uangnya masih tega diselewengkan oknum tertentu untuk memperkaya diri.
“Jika uang pajak disalahgunakan, maka ulama akan mengajak masyarakat agar tidak usah membayar pajak,” tegas Said, usai membesuk David di RS Mayapada, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (28/2).
Masifnya gerakan ‘Ogah Bayar Pajak’ di berbagai platform medsos timbulkan pertanyaan, bagaimana hukumnya jika orang enggan membayar pajak bahkan orang tersebut menghasut untuk ikut gerakannya?
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan menyebut bahwa pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang tertuang oleh orang pribadi maupun badan yang bersifat memaksa. Maka negara menetapkan sanksi bagi yang tidak melakukan pembayaran pajak dan/atau dengan sengaja menolak membayar pajak diantaranya:
(1) Sanksi administrasi, yang terdiri dari sanksi denda, sanksi bunga dan sanksi kenaikan. Sanksi pajak berupa denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban pelaporan.
(2) Sanksi pidana, diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf i yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara di pidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun
Di sisi lain, jika seseorang secara sengaja mengajak, menghasut baik itu di muka umum dengan lisan atau tulisan termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama Pasal 160 KUHP dan terbaru Pasal 246 UU 1/2023 yang berbunyi;
Dipidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan: a. menghasut orang untuk melakukan tindak pidana; dan b. menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.
Di samping itu, belum selesai isu tidak kredibel pejabat pajak, Ombudsman RI membuat Sri Mulyani tidak bisa tidur nyenyak lantaran mengungkap adanya laporan maladministrasi, mengenai utang terhadap sejumlah masyarakat pelapor dengan total Rp 258,6 miliar.
Merujuk pada Surat Rekomendasi Nomor 001/RM.03.01/IX/2022, Ombudsman menyampaikan telah menerima beberapa laporan maladministrasi yang sama, mengenai belum dilaksanakannya putusan pengadilan yang inkracht.
Sebanyak delapan laporan diterima Ombudsman RI. Namun, institusi tersebut merahasiakan detail informasi dalam uraian laporan.
Dari sedikit laporan yang tertangkap, ditemukan adanya pengaduan mengenai pembayaran barter konsinyasi karet pada 1973, hasil mobil sitaan yang tidak diserahkan, hingga kekurangan pembayaran uang kontrak paket rekonstruksi tahap II pasca gempa bumi dan tsunami Aceh.
“Atas rekomendasi tersebut, sesuai ketentuan Pasal 38 ayat 1 UU 37/2008 tentang Ombudsman, terlapor dan atasan terlapor wajib melaksanakan dalam waktu 60 hari sejak rekomendasi diterima,” kata Ketua Ombusman RI Mokhamad Najih, Rabu (1/3/2023). (*)
Komentar
Belum ada komentar