“Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebelumnya, Sri Mulyani menyebut subsidi BBM membengkak dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun. Hal ini dinilai akibat dari kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dari US$63/barel menjadi 100 US$/barel dan kenaikan nilai tukar dari 14.350 ke 14.450. Tapi, pengamat menilai kenaikan tersebut justru membawa surplus anggaran. Di lain sisi, pengamat juga menilai akar dari permasalahan subsidi ini karena pemerintah tidak konsisten menerapkan penghilangan subsidi BBM yang tertuang pada Perpres 191/2014.”
Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM jenis Pertalite, Solar, dan Pertamax pada 3 September 2022. Pertalite sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Sedangkan Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Adapun harga Pertamax dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Keputusan ini diumumkan oleh Presiden Jokowi dalam konferensi pers, 3 September 2022. Ia menyatakan ini adalah pilihan sulit dan menjadi opsi terakhir.
“Saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir, yaitu dengan mengalihkan subsidi BBM sehingga beberapa BBM yang mendapat subsidi akan mengalam penyesuaian, dan sebagian subsidi akan dialihkan untuk bantuan yang tepat sasaran,” ujarnya.
Pilihan ini diambil setelah anggaran subsidi dan kompensasi BBM 2022 meningkat 3 kali lipat. Selain itu, subsidi BBM ini malah dinikmati kelompok masyarakat mampu.
“Anggaran subsidi dan kompensasi BBM 2022 meningkat 3 kali lipat dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun. Itu akan meningkat terus, dan lagi, dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu, pemilik mobil pribadi,” jelas Jokowi.
Kenaikan harga BBM bersubsidi ini adalah puncak dari penentuan kebijakan subsidi BBM. Setiap tahun, pemerintah mengatur proporsi anggaran untuk subsidi dan kompensasi BBM dengan mempertimbangkan asumsi dasar ekonomi makronya.
Hal ini tertuang dalam RUU APBN 2022 yang disahkan pada Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 30 September 2022. Dari UU tersebut, ada asumsi makro berisi pertumbuhan ekonomi 5,2%, inflasi 3%, nilai tukar rupiah Rp 14.350 per USD, tingkat bunga SUN 10 tahun 6,8%, harga minyak mentah US$63 per barel, lifting minyak 703 barel per hari, dan lifting gas bumi 1.036 ribu barel setara minyak per hari.
Namun di akhir semester I 2022, hasil perhitungan Kemenkeu rata-rata ICP untuk satu tahun melonjak dari asumsi awal menjadi 100 US$/barel. Nilai tukar juga menyesuaikan dari 14.350 menjadi 14.450.
“Untuk melakukan perubahan asumsi di ICP dari 63 ke 100. Dan juga nilai tukar pun juga diadjust atau disesuaikan dari 14.350 ke 14.450,” sebut Sri Mulyani.
APBN awal dianggap tidak akan mencukupi untuk menutup subsidi imbas dari kenaikan ICP dan nilai tukar rupiah di bulan Juni. Akhirnya, asumsi makro ekonomi ini diubah. Maka, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 diputuskan pada Juli 2022.
“Dengan implikasi ICP 100, besaran subsidi berubah. Ini yang kemudian menjadi landasan bagi kita untuk mengubah undang-undang no. 6 2022 mengenai APBN awal, turunannya adalah perpres, basis perpresnya berubah menjadi perpres 98 yang mengatur rincian APBN 2022,” kata Sri Mulyani.
Inilah yang membuat anggaran subsidi dan kompensasi membengkak. Untuk subsidi, anggaran dinaikkan dari Rp 207 triliun menjadi Rp 283,7 triliun. Sedangkan kompensasi dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 293,5 triliun.
Selama ini, harga jual eceran yang disubsidi pemerintah lebih rendah dibandingkan harga keekonomiannya.
Menilai Kewajaran Subsidi dan Kompensasi 502 Triliun
Beberapa pengamat memberikan pandangan tentang alasan di balik pembengkakan subsidi BBM yang mencapai tiga kali dari APBN itu. Ekonom senior Indef Faisal Basri menganggap pemerintah keliru memprediksi harga minyak dunia.
“Seringnya pemerintah mematok harga salah melulu, sehingga subsidinya naik. Kalau perkiraannya bagus, sebetulnya subsidinya tidak naik,” ujarnya, Rabu (31/8/2022).
Berbeda dengan Fasial Basri, peneliti CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Andri Perdana menganggap besarnya subsidi tersebut tidaklah wajar.
“Tidak wajar karena menurut Nota Keuangan RAPBN 2022, kenaikan ICP dan nilai tukar semestinya justru memberikan surplus pendapatan bagi APBN,” jelasnya kepada Kuatbaca.com, Selasa (9/6/2022).
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2022 itu, ada perhitungan sensitivitas RAPBN terhadap perubahan asumsi dasar ekonomi makro. Artinya, perubahan komponen asumsi dasar berpengaruh terhadap pendapatan dan belanja negara.
Sebelumnya, Sri Mulyani menjelaskan kenaikan ICP dan nilai tukar rupiah membuat subsidi membengkak dan harus ditambah 3 kali lipat.
Dari tabel di atas, menurut Andri terlihat kenaikan tiap US$1 dari ICP memang berdampak terhadap belanja negara seperti subsidi dan kompensasi sebesar Rp 2,6 triliun. Tetapi, ia menambahkan, kenaikan tersebut juga turut menambah pendapatan negara sebesar Rp 3 triliun. Artinya, ada surplus anggaran Rp 0,4 triliun untuk kenaikan US$1 dari ICP.
Hal ini juga berlaku pada nilai tukar rupiah. Untuk Rp 100 per dollar AS, belanja negara menanggung kenaikan sebesar Rp 2,1 triliun. Tetapi, pendapatan negara juga bertambah lebih besar, yaitu Rp 2,7 triliun. Itu artinya ada surplus anggaran sebesar 0,7 triliun untuk kenaikan US$1 dari ICP.
Selain itu, Andri juga menyoroti angka kompensasi BBM Rp 252,2 triliun di Perpres 98/2022 yang menurutnya sulit diterima. Pasalnya, Pertamina memiliki peran dalam memengaruhi dana kompensasi BBM. Formula dana kompensasi BBM adalah selisih HJE Penetapan dan HJE Perhitungan (harga keekonomian) dikalikan volume BBM.
Harga keekonomian pertalite RON 90 misalnya per 26 Agustus sebesar Rp 17.200/L. Sedangkan SPBU Vivo mampu menjual Revvo 89 sebesar Rp 8.900/L. Masyarakat sempat menyerbu SPBU Vivo pasca mengetahui harganya yang lebih murah dari pertalite saat ini. Tak lama berselang, Revvo 89 hilang dari pasaran, dan hadir dengan harga baru yaitu Rp 10.900/L. Itu artinya ia menjadi lebih mahal Rp 900/L dari Pertalite di SPBU Pertamina. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri bagi Andri Perdana.
“Mengapa selisihnya begitu besar dengan harga keekonomian BBM pertamina? Apakah Pertamina memang begitu inefisien dalam memproduksi BBM? Ataukah ada ketidakakuratan dalam harga keekonomian yang disebutkan tersebut?,” tanyanya.
Biang Keladi Inkonsistensi Kebijakan Subsidi
Di lain sisi, kuota penyaluran solar dan pertalite diperkirakan akan melebih kuota. Dari realisasi Januari-Juli saja, kuota solar mencapai 8,88 juta KL setara dengan 65% kuota. Untuk pertalite, dengan periode yang sama, realisasi mencapai 16,84 juta KL atau 73% kuota. Jika, tingkat pola konsumsi terus seperti ini, maka kuota tersebut akan habis pada Oktober. Kementrian ESDM memperkirakan proyeksi konsumsi solar mencapai 17,44 juta KL, yaitu 115% dari kuota. Sedangkan konsumsi pertalite diperkirakan mencapai 29,07 juta KL, yakni 126% dari kuota.
Pemerintah berdalih konsumsi ini karena aktivitas ekonomi yang menguat, sehingga mobilitas meningkat pula. Padahal, di saat yang bersamaan, jumlah kendaraan pribadi melonjak karena adanya diskon PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Hal ini disampaikan oleh ekonom senior, Fasial Basri.
“Konsumsi naik terus karena mobil dibikin murah sama pemerintah, PPBM bebas, uang muka bebas, sehingga pertumbuhan mobil tahun ini 22 persen. Mobil-mobil baru ini tambah banyak menyedot minyak,” jelasnya dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (1/9/2022).
Ketergantungan akan BBM bersubsidi ini karena pemerintah tidak konsisten menerapkan kebijakan subsidi. Hal ini dijelaskan oleh Faisal Basri dalam kajiannya berjudul Kebijakan Subsidi BBM: Menegakkan Disiplin Anggaran. Dalam tulisannya, Faisal Basri menjelaskan seharusnya Jokowi konsisten pada Perpres 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
“Perpres 191/2014 mencerminkan semangat untuk melakukan pengurangan subsidi BMM,” tulis Dosen Fakultas Ekonomi UI tersebut.
Peraturan tersebut mengharuskan harga BBM mengikuti harga minyak bumi di pasar global, mengikuti bursa minyak Singapura (MOPS). Tetapi, sayangnya, Perpres 43/2018 mengubah Perpres 191/2014. Dari peraturan ini, menteri berwenang menetapkan harga jual eceran BBM berbeda dari perhitungan formula yang ada. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan; kemampuan keuangan negara, kemampuan daya beli masyarakat, dan ekonomi rill dan sosial masyarakat.
Selain itu, menteri keuangan dapat menetapkan kebijakan pengaturan kelebihan/kekuarangan penerimaan Badan Usaha dari penetapan harga jual eceran BBM. Inilah asal muasal dana kompensasi BBM yang harus dibayarkan pemerintah kepada Pertamina.
Faisal Basri menyetujui subsidi BBM harus dihilangkan dengan catatan dilakukan dengan bertahap. Hal serupa juga diungkapkan oleh Andri Perdana. Menurutnya, kenaikan harus dilakukan dengan bertahap untuk menyesuaikan kemampuan daya beli dan menahan kenaikan harga.
“Kenaikan BBM yang drastis lebih dari 30% ini membuat kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi tidak terkontrol, apalagi karena harga minyak dunia masih bisa berfluktuatif naik atau turun selama setahun ke depan,” tutupnya.(*)