top ads
Home / Telik / Ekonomi / Ketatnya Persaingan Jagat E-commerce

Ekonomi

  • 68

Ketatnya Persaingan Jagat E-commerce

  • February 09, 2023
Ketatnya Persaingan Jagat E-commerce

“Jagat e-commerce saat ini diramaikan dengan sejumlah persaingan dari mulai harga barang, barang yang dijual, hingga modal dari investor. Ketiga persaingan itu menjadi tiga elemen penting yang diperebutkan oleh e-commerce agar dapat berkembang atau minimal bertahan hidup sebagai sebuah perusahaan. Sebagian e-commerce ada yang menyadari kondisi bisnisnya sehingga harus melakukan peralihan prioritas bisnis agar tetap bersaing dengan perusahaan-perusahaan di sektornya masing-masing. Dari ketiga persaingan yang ditunjukkan, persaingan modal menjadi elemen yang paling menentukkan ketimbang harga dan barang yang dijual demi kelangsungan hidup para e-commerce.”

 

Peralihan prioritas bisnis mulai terjadi akhir-akhir ini. Hal itu terjadi pada dua startup e-commerce di Indonesia, yaitu OLX Indonesia dan Blibli. Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terjadi di kedua tubuh internal mereka yang bertujuan untuk peralihan prioritas bisnis itu sendiri.

 

Dilansir dari DealStreetAsia pada Senin (30/1/2023), terdapat sekitar 300 karyawan dari total 1.000 karyawan yang dikenakan PHK oleh OLX Indonesia.

 

Perusahaan tersebut juga berencana mengubah model bisnis penjualan mobil dari yang saat ini business to consument (B2C) menjadi consument to business (C2B) dan business to business (B2B).

 

Sementara JD.ID juga memutuskan untuk menutup semua layanannya per 31 Maret 2023. Penutupan layanan JD.ID merupakan keputusan strategis dari perusahaan induknya JD.COM untuk berkembang di pasar internasional dengan fokus pada pembangunan jaringan rantai pasok lintas-negara, dengan logistik dan pergudangan sebagai intinya.

 

Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga menyampaikan, fenomena PHK dan penutupan layanan oleh perusahaan merupakan hal yang wajar. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kemunculan kebijakan seperti itu.

 

Begitu pun dengan peralihan prioritas lanjutnya, mau tidak mau harus dilakukan agar perusahaan dapat tumbuh secara berkelanjutan di masa depan sekaligus bersaing dengan perusahaan-perusahaan di sektornya masing-masing.

 

Bicara soal bersaing, startup-startup yang bergerak di bidang e-commerce terus menunjukkan persaingan yang cukup ketat hingga saat ini.

 

Jagat e-commerce menunjukkan sejumlah elemen yang dipersaingkan, seperti harga barang, barang-barang yang dijual, hingga persaingan dalam memperebutkan modal dari investor. Persaingan-persaingan tersebut sangat menarik untuk dicermati lebih lanjut.

 

Dimulai dari harga, para penjual di masing-masing e-commerce kerap kali memilih harga sebagai elemen yang digunakan untuk dipersaingkan. Perang harga sangat sering terjadi untuk menarik perhatian para customer.

 

Jagat e-commerce di Indonesia sering mempertontonkan persaingan diskon dan cashback yang sangat besar. Hal itu menjadi persaingan harga yang sangat kental dilakukan oleh masing-masing e-commerce.

 

Bahkan selama proses persaingan harga, ada aksi memasang harga yang sangat rendah atau biasa dikenal dengan strategi predatory pricing di dalam salah satu e-commerce.

 

Meski demikian, menurut studi dari Kadence International, harga itu sendiri tidak mejadi faktor utama penentu kepuasan customer. Saat ini customer juga memperhatikan aspek keamanan dan kualitas customer journey yang ditawarkan platform e-commerce, termasuk dari sisi produk hingga proses pengiriman.

 

Terlebih lagi, mayoritas penjual di seluruh e-commerce menjual barang-barang impor. Jumlah barang-barang yang diimpor pada e-commerce meningkat tiap tahunnya.

 

Institute for Developments of Economics and Finance (Indef) menyoroti maraknya produk impor yang dijual melalui platform e-commerce. Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Media, Wahyudi Askar mengatakan, porsi produk impor bisa mencapai 90 persen.

 

Menurutnya, adanya fenomena tersebut, maka Kementerian Perdagangan akan sulit membasmi praktik predatory pricing.

 

Predatory pricing itu kan harus melihat mana yang menguntungkan mana yang diuntungkan. Kalau kita melihat strukturnya 90 persen adalah produk impor bagaimana kita membandingkannya dengan produk lokal?,” ujarnya, Senin (8/3/2021).

 

Mengutip berbagai riset, Wahyudi mengatakan bahwa sebagian besar produk impor yang dijual di marketplace berasal dari China. Senada, data Bea Cukai juga menunjukkan adanya kenaikan jumlah barang impor e-commerce yang pesat di tahun 2019.

 

 

Sebanyak 6,1 juta paket barang impor masuk ke Indonesia pada tahun 2012. Jumlah barang impor terus mengalami kenaikan hingga tiga kali lipat menjadi 19,57 juta paket pada tahun 2018.

 

Namun, perlu dicermati bahwa pada tahun 2019, jumlah barang yang diimpor e-commerce justru meroket dengan sangat singnifikan menjadi 57,92 juta paket yang masuk.

 

Terakhir, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Teten Masduki pun mengatakan hal yang sama. “Selama ini di e-commerce, UMKM kita kalah bersaing. Harus diakui bahwa lebih dari 50 persen produk yang dijual di e-commerce itu produk impor,” katanya, Sabtu (4/9/2021).

 

Berdasarkan ketiga data itu, dapat disimpulkan bahwa saat ini e-commerce masih didominasi oleh barang-barang impor yang berasal dari China.

 

Meski kenyataannya seperti itu, tidak bisa dipungkiri bahwa masifnya barang-barang impor China akan menunjang keberlangsungan hidup e-commerce itu sendiri karena para konsumen di Indonesia lebih condong memburu barang-barang murah.

 

Ekonom Institute of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda menjelaskan, produk yang diimpor dari beberapa negara sebenarnya lebih murah dibandingkan produk sejenis buatan dalam negeri. Hal ini tak lepas dari kondisi produksi yang belum efisien.

 

“Konsumen di ekonomi digital Indonesia memiliki karakteristik price oriented consumer, artinya mereka rasional. Selama produk di luar negeri lebih murah mereka akan lebih memilih produk impor,” kata Nailul, Rabu (24/2/2021).

 

Selain itu, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjuk gambaran data bahwa masing-masing e-commerce memiliki ketersediaan varian produk yang serupa. Varian produk tersebut dilihat dari kategorisasi barangnya.

 

 

Dari sekitar 15,6 ribu usaha e-Commerce yang disurvei pada 2021 oleh BPS, mayoritas atau 41,5 persen menjual produk makanan dan minuman. Jenis produk lain yang banyak dijual adalah busana atau fashion, diikuti kelompok produk kebutuhan rumah tangga.

 

Sementara itu, persaingan modal dana menjadi penentu dari segalanya. Modal menjadi pondasi bagi jagat e-commerce agar bisa bertahan dan berkembang menjadi perusahaan yang lebih besar.

 

Sektor e-commerce Indonesia cukup menarik buat para investor asing. Hal itu terbukti dari banyaknya investor asing yang beramai-ramai mulai menyuntikkan dana pada sejumlah e-commerce di Indonesia.

 

Berdasarkan laporan iPrice yang bertajuk ‘Map of E-commerce Indonesia Q1 2019’, sebanyak lima dari sepuluh e-commerce terbesar di Indonesia dapat sebagian sokongan dana dari China.

 

Kelima e-commerce tersebut adalah Tokopedia, Lazada dan AliExpress yang mendapat sokongan dana dari Alibaba. Kemudian ada Shopee yang mendapat suntikan dana dari Tencent dan JD.id yang memperoleh dana dari JD.com.

 

Sementara Bukalapak mendapatkan kucuran dana dari investor asal Korea Selatan, Mirae Asset dan Naver Asia Growth Fund.

 

Menarik untuk dicermati lebih detail siapa saja pengucur dana di balik e-commerce asal Indonesia, yakni Tokopedia dan Bukalapak berdasarkan data yang dihimpun dari crunchbase.com.

 

Pada 19 April 2011, Tokopedia mendapatkan kucuran dananya pertama kali dari CyberAgent Capital sebesar USD700 ribu. Selang setahun tepatnya pada 4 April 2012, Beenos Partners menyuntikkan dana dengan jumlah nominal yang tidak diketahui.

 

Pada 12 Juni 2013, Softbank Ventures Asia juga menyuntikkan dana kepada Tokopedia dengan jumlah nominal yang tidak diketahui. Selang setahun pada 21 Oktober 2014, SoftBank Telecom Corp menginvestasikan dana sebesar USD100 juta kepada Tokopedia.

 

Pada 11 April 2016, sebuah perusahaan yang tidak disebutkan namanya turut menggelontorkan dana sebesar USD147 juta ke Tokopedia. Pada 17 Agustus 2017, Alibaba Group mulai tertarik dengan Tokopedia dan menyuntikkan dana sebesar USD1,1 miliar. Selang setahun tepatnya pada 21 November 2018, Alibaba Group kembali menggelontorkan dana beserta SoftBank Vision Fund sebesar USD1,1 miliar.

 

Terakhir, Tokopedia mendapatkan suntikan dana sebesar USD350 juta dari Google dan Temasek Holdings pada 16 November 2020.



Sementara itu, Bukalapak juga tak kalah dalam mendapatkan kucuran dana dari investor asing. Pada 17 Januari 2019, Bukalapak mendapatkan kucuran dananya pertama kali dari Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund sebesar USD50 juta.

 

Pada 4 Oktober 2019, Shinhan Financial Group menyuntikkan dana dengan jumlah nominal yang tidak diketahui. Pada 12 Desenver 2019, 500 Global juga menyumbang dana kepada Bukalapak dengan jumlah nominal yang tidak diketahui.

 

Selang setahun, pada 4 November 2020, sebuah perusahaan yang tidak disebutkan namanya turut menggelontorkan dana sebesar USD100 juta. Pada 14 Januari 2021, sebuah bank ternama, Standard Chartered Bank Group menyuntikkan dana dengan jumlah nominal yang tidak diketahui.

 

Pada 14 April 2021, Emtek Group, GIC, dan Microsoft menginvestasikan dana sebesar USD234 juta. 28 April 2021, sebuah perusahaan yang tidak disebutkan namanya menyuntik dana sebesar USD400 juta.

 

Selang 4 bulan, pada 5 Agustus 2021, GIC kembali menggelontorkan dana ke Bukalapak sebesar Rp1,4 miliar. Terakhir, pada 12 November 2021, PT Bank DBS Indonesia turut menyumbangkan dana kepada Bukalapak sebesar Rp2 triliun.

 

Setelah mengetahui fakta soal dana yang didapat dari Tokopedia maupun Bukalapak menggenapi bahwa persaingan dalam memperebutkan modal dari investor sangat menentukkan langkah perusahaan e-commerce ke depan. (*) 

Jurnalis :Muhammad Fadhil
Editor :Gery Gugustomo
Illustrator :Bagus Maulana
Infografis :Bagus Maulana
side ads
side ads