“Di tengah susahnya miliki rumah, Sri Mulyani mengeluarkan skema pembiayaan baru melalui sekuritisasi aset KPR. Cara ini dianggap ampuh menjawab backlog perumahan yang mencapai 12 juta. Namun, skema ini dinilai hanya memperluas KPR bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tapi tak menjawab persoalan harga rumah yang terus meningkat di tengah pendapatan yang masih rendah. Malahan, skema ini menguntungkan bagi bank penyalur KPR dan developer perumahan. Selain itu, ada mimpi buruk skema serupa yang sempat menyebabkan krisis finansial Amerika Serikat di tahun 2008.”
Orang Indonesia semakin kesulitan memiliki rumah. Dalam beberapa tahun terakhir, harga properti konsisten meningkat. Data BI menunjukkan sejak 2002, peningkatan harga properti berada pada 8-10%. Harga ini bahkan pernah melejit di tahun 2012-2014 yang mencapai 20%.
Covid-19 turut menghantam sektor perumahan. Alhasil, kenaikan harga properti tak lagi sebesar sebelumnya, walau juga tak turun. Semenjak masa pandemi, kenaikan hanya sekitar 1 persenan.
Data terbaru dari SHPR (Survei Harga Properti Residensial) Bank Indonesia mencatat kenaikan harga properti residensial (rumah, rumah susun, dan apartemen) di pasar primer pada kuartal I 2022 sebesar 1,77%. Kenaikan indeks harga properti residensial pun juga terjadi pada semua tipe rumah, tipe kecil 2,01% dari periode sebelumnya 1,99%, tipe menengah 2,18% dari kuartal sebelumnya 1,48%, dan tipe besar 1,11% disbanding sebelumnya 0,93%.
Kenaikan harga properti yang tak masuk akal semakin terlihat jika dibandingkan pendapatan masyarakat. Karena itu, perbandingan harga rumah dan rasio pendapatan menjadi indikator penting dalam kepemilikan rumah. Data Bank Indonesia menunjukkan harga properti terus naik, tapi tak diimbangi tingkat pendapatan masyarakat. Bahkan, di tahun 2019, Bank Dunia melaporkan harga rumah per rasio pendapatan di Jakarta lebih besar di banding kota luar negeri sekelas New York.
Dalam 10 tahun terakhir, kenaikan harga rumah lebih cepat dibanding pendapatan per kapita, terkecuali 2016-2019. Ditilik dari tipe rumah, rata-rata angka kenaikan terbesar terjadi pada rumah tipe kecil yang menyasar masyarakat miskin sebesar 3,4%.
Di saat PDB per kapita melandai di 2020, indeks harga properti tetap positif naik. Data BPS menunjukkan setidaknya ada 11 kota yang warganya sulit miliki rumah akibat selisih pendapat dan kenaikan harga rumah negatif. Itu artinya, kenaikan harga rumah lebih besar dibanding pendapatan.
“Generasi muda ini kemudian akan berumah tangga, kemudian mereka membutuhkan rumah. Tapi mereka cannot afford untuk mendapatkan rumah. Mereka butuh, tapi cannot afford karena purchasing power mereka dibandingkan harga rumahnya, lebih tinggi,” ujar Sri Mulyani di Securitization Summit 2022 pada 7 Juli 2022.
Namun, pandemi semakin menurunkan daya beli masyarakat, termasuk pembelian rumah. Dari data Indonesia Property Watch (IPW), CEO IPW Ali Tranghanda mengungkapkan ada penurunan penjualan rumah di Jabodetabek dan Banten selama 3 bulan pertama 2020, yaitu 14,5 persen dibandingkan 3 bulan terakhir 2021.
Di Indonesia, cara utama miliki rumah yaitu dengan adanya KPR. Data Bank Indonesia mencatat per triwulan I-2018, sebesar 75,6% pembeli rumah di Indonesia menggunakan KPR. Hanya 14,93 membeli rumah dengan tunai bertahap dan 9,27% dengan pembelian tunai.
Dari sisi KPR, pandemi membuat banyak debitur menghadapi kredit macet, terutama milenial yang jadi korban PHK atau dirumahkan.
“Harus diakui sejak 2020 kecenderungan gagal bayar meningkat. Kalau 2019 misalnya ada 1.000 milenial yang mengajukan KPR, tahun 2020 ini tinggal 30 persen yang mengajukan kreditnya,” kata Niaga Heintje Mogi, Mortgage & Secured Loan Business Head CIMB Niaga, Kamis (18/3/2021).
Adanya penurunan KPR semakin terlihat ketika BTN memancing minat beli masyarakat dengan penurunan suku bunga. Di Februari 2021, suku bunga KPR BTN mengalami penurunan menjadi 7,1%.
Terbaru, strategi BTN untuk kurangi bunga yaitu dengan menurunkan jumlah deposito. Per Maret 2022, jumlah deposito menurun 10,96%, dari Rp 182,25 triliun menjadi Rp 162,2 triliun.
“Ini maksudnya agar menyalurkan pinjaman dengan bunga yang lebih murah. Jadi penurunan bukan suatu yang harus dikhawatirkan, tapi termasuk tujuan BTN agar bisa menyalurkan pinjaman dengan bunga yang lebih murah kepada para debitur,” jelas Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (22/4/2022).
Bunga KPR memang masih menjadi salah satu faktor pertimbangan dalam membeli rumah. Sekitar 11,7% responden menyatakan penyebab tak beli rumah karena bunga KPR. Bunga KPR dari 2020 dan 2021 masih di angka 8%.
“Untuk membeli rumah 15 tahun mencicil di awal berat, suku bunga dulu, prinsipalnya di belakang. Itu karena dengan harga rumah tersebut dan interest rate sekarang harus diwaspadai karena cenderung naik dengan inflasi tinggi,” ujar Sri Mulyani, Minggu (10/7/2022).
Baru-baru ini, harga rumah subsidi pemerintah ikut naik sebesar 7%. Kenaikan tersebut disebabkan perang Russia-Ukraina, sehingga hambatan logistik membuat harga material bangunan turut naik.
“Akibat perang (Rusia-Ukraina) dan terhambatnya logistik, harga bahan material bangunan semakin naik harganya, material besi misalnya naik dari Rp6.500 sekarang sudah Rp14.000. Selain itu harga semen juga naik. Oleh sebab itu, harga rumah subsidi harus dinaikkan,” sebut Ketua Umum DPP REI (Realestate Indonesia) Pulus Totok Lusida dikutip dari Bisnis.com, Selasa (10/5/2022).
Sejumlah pengamat menilai angka ini terlalu besar dan tak ideal. Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia Panangian Simanungkalit menyatakan kenaikan itu terlalu besar karena daya beli masyarakat masih kecil selama dua tahun terakhir. Ia menyarankan agar kenaikan tak lebih dari 5 persen.
“Di tengah situasi dan kondisi perekonomian yang belum pulih seperti sekarang ini”, pungkasnya.
Sejalan dengan pernyataan Panangian, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menganggap kenaikan harga rumah subsidi sebesar 7% tak ideal sebab ia menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.
“Jika harga rumah subsidi rata rata asumsinya 150 juta per unit, maka kenaikan tujuh persen berarti ada biaya tambahan Rp11,7 juta. Cukup terasa juga kalau sasarannya MBR,” jelasnya.
1001 Cara Sediakan Rumah
Di hadapan situasi tersebut, pemerintah memutar akal. Sebelumnya, semasa COVID-19, ada insentif pembelian rumah untuk Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) dan pengenaan PPN 1% final bagi rumah sederhana dan sangat sederhana.
“Itu instrumen yang kami gunakan dalam situasi Covid-19 kemarin untuk melindungi dan memberikan stimulus sektor perumahan agar tidak terpukul sangat dalam akibat pandemi,” jelas Sri Mulyani, Rabu (6/7/2022).
Orang Indonesia sendiri terbukti mempunyai keinginan membeli rumah. Riset dari Rumah.com mencatat 71% orang Indonesia berniat membeli rumah. Akan tetapi, hanya 27% responden saja yang sedang mewujudkan target tersebut.
Tetapi, fakta dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2020 menyebut angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta. Angka ini naik dari yang sebelumnya sebesar 11,4 juta. Dari laman resmi Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), Backlog menjadi indikator untuk mengukur jumlah kebutuhan rumah di Indonesia.
Menanggapi angka backlog 12 juta ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menganggap persoalan ini tak bisa diatasi hanya melalui APBN saja.
“Kita ingin mengejar kebutuhan perumahan dengan backlog 12 juta, sementara ini tidak akan mampu dicapai kalau hanya menggunakan APBN saja dan tidak mungkin bisa terkejar secara cepat,” ujarnya, Rabu (6/7/2022).
Untuk diketahui, alokasi anggaran subsidi perumahan mencapai Rp28,2 triliun untuk tahun 2022. Sedangkan laporan Kementerian Keuangan soal realisasi APBN semester I 2022 mencatat subsidi perumahan yang telah diberikan bernilai Rp400 miliar. Artinya, hanya 7,1% dari pagu Perpres No. 98/2022.
Sebelumnya, sebesar Rp8,57 triliun dari APBN bantu biayai 1.038.538 unit rumah. Dana tersebut diberikan melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahaan (FLPP) sejak 2010 sampai semester 1 2022.
Untuk itulah, Sri Mulyani menggaungkan skema sekuritisasi aset KPR untuk pembiayaan perumahan rakyat.
“Sekuritisasi ini bagaimana aset rumah yang jangka panjang, 15 tahun dicicil pemiliknya bisa jadi underlying asset yang bisa di-issue dengan SBN (Surat Berharga Negara) baru jadi bisa dijual di pasar sekunder. Ini namanya Efek Beragun Aset (EBA),”kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, Kamis, 7 Juli 2022.
Aset yang menjadi surat hutang berasal dari KPR, bukan rumahnya sendiri. Dana dari surat berharga yang dibeli investor nantinya akan dipakai untuk biayai proyek perumahan kembali.
“Asetnya itu mortgage, bukan rumahnya. Cicilan setiap bulannya itu yang kemudian dipackage dalam bentuk sekuriti baru, surat berharga baru, yang kemudian bisa dibeli oleh investor, sehingga bisa menciptakan likuiditas baru dan membuat mortgage baru lagi,” jelasnya.
Sri Mulyani menambahkan, hal tersebut merupakan strategi untuk mengejar kebutuhan yang begitu besar (12 juta backlog), sementara kemampuan APBN saja tidak akan bisa mengejar secara cepat.
“Kemudian, investor bisa meng-assess beberapa risikonya dan rate of return dia bisa menciptakan likuiditas baru bagi penerbit EBA-SP yang kemudian dia bisa meng-create mortgage baru lagi. Hal itu keinginan untuk mengejar kebutuhan yang begitu besar, 12 juta backlog sementara kemampuan kita untuk menggunakan APBN saja tidak akan bisa mengejar secara cepat”, lanjut Menteri Keuangan tersebut.
Efek Beragun Aset awalnya diperkenalkan oleh Bank BTN di tahun 2009. Kala itu, Bank BTN menjual aset KPR kepada Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragu Aset (KIK-EBA) yang dikelola Danreksa selaku manajer invetasi dan Bank Rakyat Indonesia.
Pada selanjutnya, Bank BTN bekerja sama dengan Sarana Multigriya Finansial untuk terbitkan produk serupa dengan nama EBA-SP (Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi). Di laporan OJK Triwulan IV 2013, EBA-SP disebutkan dalam proses penyusunan guna mendukung kebijakan pembiayaan sekunder perumahan sebagai sumber dana perbankan untuk KPR melalui sekuritisasi.
Maka, pada 2014, OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi.
Adapun peneliti CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Muhammad Andri Perdana menjelaskan sekuritisasi aset KPR akan menguntungkan bagi developer perumahan dan banyak penyalur KPR karena akan menjaga permintaan properti residensial.
Dengan skema ini, bank akan mendapatkan kembali jumlah dana yang dipinjamkan debitur KPR dari hasil jual piutang ke PT SMF. Selain itu, risiko gagal bayar ditanggung investor EBA-SP, PT SMF, dan asuransi penjamin EBA-SP.
Skema sekuritisasi ini membuat pinjaman KPR lebih luas dan terjangkau, terutama bagi generasi milenial. Namun, kata Andri, cara ini tak membuat harga dasar rumah menjadi lebih murah. Ia malah justru menjaga agar harga rumah tidak turun, dengan memastikan permintaan properti tetap tinggi di tengah pendapatan yang rendah.
Mimpi Buruk Subprime Mortgage AS 2008
Krisis subprime akibat kredit macet di AS berdampak besar tak hanya pada AS sendiri, melainkan pada ekonomi dunia. Sebelumnya, awal krisis muncul karena perbankan AS secara membabi buta memberikan kredit, termasuk kepada profil risiko tinggi atau disebut subprime mortgage.
Bank tertarik untuk mendapatkan likuiditas yang banyak, tanpa pertimbangan risiko. Gagal bayar terjadi ketika suku bunga The Fed naik hingga 5% di 2007. Ini akhirnya berdampak domino. Bank mengalami kesulitan likuiditas. Para investor pun kesusahan ekspansi usaha. Kontraksi ekonomi AS pada akhirnya tak bisa dihindari. Pasar saham anjlok, dan salah satu krisis terburuk dalam sejarah AS dan dunia terjadi, akibat sekuritisasi KPR.
Sri Mulyani sendiri sepertinya sudah mengantisipasi pelajaran dari subprime mortgage 2008. “Kita dapat belajar dari kegagalan Amerika Serikat pada tahun 2008-2009 di mana aset backed security-nya mereka nggak tahu lagi apa aset yang ada di dalam security-nya itu dan bahkan mereka tidak bisa mengetahui berapa risiko dari aset tersebut. Ini ekstrem yaitu excessive securitization dengan risk framework yang sangat mungkin tinggi, kita berharap Indonesia belajar dari hal tersebut,” papar Sri Mulyani.
Andri Perdana menjelaskan risiko sekuritisasi tak hanya terjadi pada krisis 2008. Ketika ekonomi mengalami kontraksi, bank sentral akan intervensi dengan quantitative easing untuk beli EBA KPR agar aset terjaga dan mencegah krisis dari tingkat gagal bayar yang naik.
Namun perlu digaris bawahi, sekuritisasi KPR bukan solusi untuk mahalnya harga rumah, melainkan memudahkan masyarakat berpenghasilan rendah mendapat KPR.
“Jika tujuannnya untuk memberikan rumah bagi generasi muda yang kesulitan untuk mendapatkan rumah, maka pada akhirnya KPR akan disalurkan kepada orang yang saat ini semestinya tak mendapatkan KPR”, ucap peneliti CELIOS tersebut kepada Kuatbaca.com, Kamis (14/7/2022).
Secara tegas Andri mengatakan, program yang dicanangkan oleh Sri Mulyani ini bukanlah sebuah solusi bagi masyarakat untuk mendapatkan rumah dengan kondisi ekonomi yang kian merendah.
”Inilah yang membuat KPR bukanlah obat yang dapat menyembuhkan mahalnya harga rumah. Mengandalkan sekuritisasi KPR untuk mengatasi mahalnya harga rumah adalah obat untuk mengatasi gejala, bukan untuk menyembuhkan penyakit,” pungkasnya.