top ads
Home / Telik / Ekonomi / Indikasi Privatisasi LPG

Ekonomi

  • 412

Indikasi Privatisasi LPG

  • March 02, 2022
Indikasi Privatisasi LPG

Impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) akan disubstitusi dengan produksi dalam negeri. Pemerintah akan mendatangkan investasi dari Air Products and Chemicals Inc.asal Amerika Serikat untuk mensukseskan proyek besar ini. Menteri investasi, Bahlil Lahadalia bahkan mengklaim telah melaksanakan penandatanganan MoU dengan perusahaan asing sebesar USD 15 miliar. Dibalik besarnya angka investasi terdapat bayang-bayang indikasi privatisasi.

 

Liquefied Petroleum Gas (LPG) menjadi salah satu kebutuhan vital yang masih bergantung pada pasokan dari luar negeri. Nilai impor LPG tidak main-main, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai USD 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat USD 2,58 miliar. Selain impor yang jumbo, subsidi untuk LPG juga sangat besar yakni mencapai Rp 80 triliun per tahun.

 

Tingginya nilai impor LPG tak lain disebabkan oleh kilang minyak dalam negeri hanya mampu memasok sekitar 20 persen dari seluruh kebutuhan masyarakat. minimnya produksi kilang minyak lantaran bahan baku yang dihasilkan sumur gas Indonesia tidak memenuhi karakteristik yang sesuai.

 

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan stagnasi produksi LPG nasional dikarenakan terbatasnya bahan baku dari dalam negeri. Produksi LPG membutuhkan spesifikasi kandungan rantai karbon propana (C3) dan butana (C4). Sementara produksi gas di dalam negeri mayoritas mengandung metana (C1) dan etana (C2).

 

"LPG hanya bisa diproduksi dari gas yang mempunyai spesifikasi C3 dan C4, sedangkan Indonesia punya banyak gas bumi dengan kandungan C1 dan C2 yang diekspor dalam bentuk LNG maupun gas pipa," tuturnya, Rabu (11/11/2020).

 

Membengkaknya nilai impor menggugah cita-cita pengurangan ketergantungan terhadap LPG yang telah ada sejak periode pertama Jokowi, tepatnya enam tahun lalu. Saat itu, Jokowi menyampaikan bagaimana pentingnya mengurangi impor, industrialisasi serta hilirisasi. Setelah enam tahun berlalu, impian itu mulai terlihat nyata dengan direalisasikannya proyek hilirisasi batubara.

 

"Ini perintah sudah 6 tahun lalu saya sampaikan tapi memang kita ini sudah berpuluh-puluh tahun nyaman dengan impor, ada yang nyaman dengan impor," kata Jokowi dalam groundbreaking proyek hilirisasi batubara menjadi DME, Senin (24/1/2022).

 

Proyek hilirisasi batubara adalah pengolahan batubara kalori rendah menjadi DME (Dimethyl Ether) termasuk dalam perwujudan dari ketahanan energi, menjadi solusi yang ditawarkan untuk menekan impor LPG. Nantinya, DME diklaim mampu menggantikan penggunaan LPG di masyarakat.

 

Inovasi gasifikasi batubara sejatinya sudah ada sejak akhir abad ke 18. Gas Sintesis gasifikasi batubara telah digunakan di Indonesia untuk memasok gas ke kota oleh perusahaan gas swasta Belanda, I.J.N. Eindhoven & Co yang didirikan pada tahun 1859. Perusahaan ini menjadi cikal bakal Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGN).

 

Pada pelaksanaannya, proyek ini dipegang oleh PT. Pertamina sebagai BUMN, Perusahaan Gas Negara (PGN), serta PT. Bukit Asam Tbk.


Proyek ini mendapat perhatian dari perusahaan Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc. Bahkan di tahun 2020, perusahaan asal negeri Paman Sam itu telah meneken komitmen investasi. Perwujudan komitmen itu kemudian terjadi di Dubai, November 2021 lalu dengan penandatanganan MoU dengan jumlah investasi sebesar USD15 miliar.

 

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan Proyek ini seluruhnya akan menggunakan dana investasi yang dikucurkan oleh Air Product.

 

“Kemarin di Dubai tanda tangan investasi Air Product USD15 miliar. Investasi ini full dari Amerika Serikat. Ini investasi terbesar kedua setelah Freeport untuk tahun ini,” ungkap Bahlil dalam acara Groundbreaking Proyek Hilirisasi Batu Bara, Senin (24/1/2022).

 

Amanat gasifikasi batubara sudah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No.109/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN. Proyek yang menggandeng investor luar negeri ini dikalim mampu mengurangi impor gas Indonesia sebesar USD7,6 miliar selama masa produksi, dan meningkatkan perolehan devisa hingga USD4,7 miliar selama masa konstruksi serta produksi yang berujung pada cita-cita stop impor LPG tahun 2030.

 

Taburan klaim tidak hanya sampai disitu saja, pemerintah menyampaikan setidaknya ada enam manfaat dari gasifikasi ini, diantaranya:

  • DME meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan impor LPG.
  • Menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan menghemat Neraca Perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun.
  • Menambah investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar USD2,1 miliar (sekitar Rp 30 triliun). 
  • Pemanfaatan sumberdaya batubara kalori rendah sebesar 180 juta ton selama 30 tahun umur pabrik. 
  • Adanya multiplier effect berupa manfaat langsung yang didapat pemerintah hingga Rp800 miliar per tahun. 
  • Hilirisasi batubara dapat mendorong pemberdayaan industri nasional yang melibatkan tenaga lokal dengan penyerapan jumlah tenaga kerja sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi.

 

Meski demikian, ekses negatif yang tidak terelekkan dari rencana ini adalah indikasi privatisasi atas dari investasi 100 persen perusahaan raksasa Amerika Serikat. Pengamat Energi Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan batubara mengatakan bahwa jika ada investasi dari swasta sudah termasuk dalam privatisasi.

 

“Itu sudah privatisasi, kalau investasinya swasta mau gak mau mereka yang jadi pemilik,” katanya pada Kuatbaca.com Selasa (1/3/2022).

 

Lebih lanjut Marwan mengatakan bahwa pola pembagian saham harus jelas diantara perusahaan. Tetapi jika memang perusahaan Air Product melakukan investasi secara keseluruhan, maka jumlah sahamnya juga lebih banyak.

 

“Pembagian saham harus jelas. pola pemilikan saham harus jelas. Kalau sampai segitu banyak (investasi) saya rasa pemilik mayoritas sahamnya adalah perusahaan Amerika itu. Gak mungkin dia mau invest segitu, resiko di dia, tapi nanti yang mengendalikan pertamina atau bukit asam atau PGN,” tegasnya.

 

Jumlah investasi yang luar biasa itu juga diragukan oleh Salamudin Daeng. Pengamat ekonomi ini mengatakan jumlah yang fantastis tersebut sulit untuk dipercayai kebenarannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa investasi yang dikatakan menteri Bahlil hanyalah pepesan kosong. Hal itu dilakukan tidak lebih sekedar maneuver agar tidak di reshuffle Jokowi.

 

“Saya rasa kalau memang perusahaan Amerika itu mau investasi sebesar itu untuk batubara, saya ga percaya. Gak yakin. Karena dana itu besar sekali untuk investasi baru. Jadi itu uang USD15 miliar yang dikatakan menteri Bahlil seperti pepesan kosong. Itu cuma manuver saja agar tidak di reshuffle Jokowi saja,” ungkapnya.

 

Proyek besar ini yang diklaim telah ada sejak enam tahun lalu justru dirasa belum jelas meski sudah ada MoU dengan investor.

 

“Perusahaan Amerika itu masih belum jelas. Mou ya cuma mou saja. Biasanya tidak jelas juga. Tidak ada indikasi privatisasi karena justru proyek ini belum jelas,” ucapnya pesimis. (*)

 

 

 

Jurnalis :
Editor :
Illustrator :Rahma Monika
Infografis :Zakki Fauzi
side ads
side ads