“Sektor perekonomian e-commerce sedang dilanda badai PHK besar-besaran bahkan memilih untuk gulung tikar. Terbaru JD.ID resmi mengumumkan menutup permanen. Sebelumnya, ada Blanja.com, Rakuten, TaniHub dan Sayurbox yang sudah lebih dulu mengumumkannya. Alasannya, model persaingan mencapai titik jenuh serta adanya pola perubahan belanja masyarakat Indonesia karena kehadiran Social Commerce.”
30 Januari 2023, kabar tak menyenangkan datang dari dunia digital. Platform e-commerce yang dikenal dengan tagline #DijaminORI yaitu JD.ID mengumumkan secara resmi bakal menutup permanen layanan transaksi jual beli online per 31 Maret 2023.
"Dengan berat hati, kami memberitahukan bahwa JD.ID akan berhenti menerima pesanan Anda mulai tanggal 15 Februari 2023. JD.ID dan semua layanannya akan dihentikan pada 31 Maret 2023,” tulis JD.ID melalui website resminya
Sebelum umumkan tutup permanen, JD.ID telah melakukan sejumlah langkah seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada sekitar 200 karyawan atau setara dengan 30% dari total pekerja pada pertengahan Desember 2022.
Head of Corporate Communications & Public Affairs JD.ID, Setya Yudha Indraswara menjelaskan langkah yang diambil oleh perusahaan adalah bentuk adaptasi menjawab tantangan perubahan bisnis yang terjadi belakangan.
“Bisnis harus beradaptasi untuk memenuhi tantangan perubahan bisnis yang cepat baru-baru ini. Salah satu tindakan manajemen adalah rasionalisasi, agar perusahaan dapat terus beradaptasi dengan perubahan,” ucap Setya.
JD.ID merupakan salah satu deretan e-commerce di tanah air yang gulung tikar. Sebelumnya, e-commerce yang memiliki konsep bisnis farm-to-table yaitu Sayurbox memilih menutup operasional di Bali per 31 Desember 2022 dan menutup toko offline di Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Juni tahun lalu.
Tak hanya itu, Sayurbox juga memilih langkah untuk lakukan PHK terhadap 5% karyawan demi keberlangsungan perusahaan. “Keputusan sulit ini tidak dapat dihindari supaya perusahaan lebih agile dan mampu menjaga tingkat pertumbuhan,” kata Amanda Susanti, CEO Sayurbox, (7/12/2022).
Jauh sebelum itu, e-commerce lain seperti Blanja.com, Rakuten, TaniHub juga memilih gulung tikar dari bisnis e-commerce serta melakukan PHK kepada karyawannya. Bahkan, startup yang bergerak dibidang pertanian di Indonesia yaitu TaniHub memilih switch fokus ke sektor Business to Business (B2B).
Banyaknya e-commerce yang memilih gulung tikar di pasar Indonesia, tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa hal itu terjadi ditengah pandemi yang mendorong masyarakat untuk berbelanja secara online?
Ketua Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro mengungkapkan hal menarik bahwa pengguna atau pelanggan mendapat pengalaman tidak bagus yang menimbulkan e-commerce tersebut ditinggalkan bahkan beralih ke tempat lain.
Terdapat indikasi kuat, bahwa peralihan tempat belanja online masyarakat bukanlah sesama e-commerce, melainkan beralih ke media sosial. Indikasi tersebut diperkuat data yang dikeluarkan Populix pada tahun 2022 yang menyebut 86% masyarakat Indonesia mencoba belanja di sosial media serta 14% belum pernah mencobanya.
Habis E-Commerce, Terbitlah Social Commerce
Fenomena perubahan pola belanja masyarakat Indonesia didukung para pemiliki sosial media untuk mengembangkan platform-nya, dari yang sebelumnya merupakan ruang untuk bersosial menjadi ruang perekonomian, seiring perkembangan jaman. Bentuk baru media sosial ini yang kemudian dikenal dengan nama social commerce. Beberapa media sosial menambahkan layanan untuk membuka toko antara lain TikTok Shop, WhatsApp, Facebook Shop, Instagram Shop, Telegram, Line Shop, dan Pinterest.
Kehadiran social commerce tak hanya memberikan warna baru di sektor perekonomian. Akan tetapi, memberikan tekanan kepada e-commerce yang sudah lebih dulu hadir.
Bank Indonesia (BI) menyampaikan nilai transaksi e-commerce sepanjang tahun 2022 tercatat hanya Rp 476,3 triliun dengan volume transaksi sebanyak 3.486 juta transaksi. Realisasi ini masih di bawah target 2022 yang canangkan sebesar Rp 498 triliun.
Deputi Gubernur BI Doni P. Joewono mengatakan tergerusnya nilai transaksi e-commerce karena mulai terjadi tren social commerce di mana masyarakat melakukan belanja online melalui platform media sosial.
“Sekarang tren yang cukup menarik itu social commerce juga sudah mulai menjadi pesaing daripada e-commerce,” kata Doni, Kamis (19/1/2023).
Apa yang diucapkan oleh Doni ada benarnya jika melihat data belanja online masyarakat Indonesia dalam menggunakan media sosial sepanjang tahun 2022.
Hasil survei Populix menunjukkan TikTok Shop menjadi platform media sosial terfavorit masyarakat Indonesia. Pasalnya, ada 46% responden yang pernah menggunakan TikTok Shop untuk berbelanja online.
Whatsapp berada di posisi kedua lantaran 21% responden pernah berbelanja online lewat aplikasi percakapan instan tersebut. Kemudian, responden yang berbelanja online melalui Facebook Shop dan Instagram Shop sama-sama sebesar 10%. Sedangkan, Telegram, Line Shop, dan Pinterest sama-sama digunakan oleh 1% responden untuk berbelanja online.
Sirclo dan Ravenry, dalam laporannya, memperkirakan nilai penjualan bruto atau gross merchandise value (GMV) dari social commerce terus meningkat setiap tahunnya.
Pada 2019, GMV social commerce di tanah air tercatat sebesar US$6,1 juta atau sekitar Rp91 miliar. Nilainya diproyeksi melonjak hingga mencapai US$25 juta atau sekitar Rp372,8 miliar pada tahun ini.
Selain faktor adanya pengalaman tidak bagus yang diterima sebabkan pola perubahan belanja masyarakat Indonesia, tawaran kemudahan yang diberikan social commerce kepada penjual hingga konsumen menjadi faktor penguat lainnya.
Hal itu tergambarkan berdasarkan data hasil survei PayPal 2021 yang mengatakan penjual lebih mudah untuk memasarkan serta membangun bisnisnya di media sosial.
64% penjual lapak di social commerce menyatakan lebih mudah untuk membangun bisnis lewat sosial media. 60% menyatakan berdagang di media sosial dapat dengan mudah menjangkau lebih banyak kelompok konsumen.
Sementara itu, 56% penjual di Indonesia yang merasa berjualan lewat media sosial dapat memanfaatkan jejaring pertemanan dan kerabat. Meski demikian, persentase tersebut merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik.
Di lain pihak, meski terlihat mengancam e-commerce di satu sisi malah menjadi peluang baru bagi sebagian pengusaha terkhusus yang bergerak di bidang jasa logistik dan ekspedisi.
Hal itu tergambarkan dari JNE yang mulai mengekspansi bisnisnya dengan mendekati seller-seller baru yang berjualan lewat di social commerce guna meningkatan revenue pengiriman.
“Memasuki 2023 JNE Cilacap punya optimisme dan semangat tinggi, karena dengan hal tersebut, berharap dapat menumbuhkan tren positif untuk peningkatan revenue pengiriman setahun ke depan. Mindset harus berubah dan harus memiliki mindset terhadap pertumbuhan yang lebih baik lagi dari tahun sebelumnya,” ujar kepala Cabang Utama JNE Cilacap, Bagus Indra Zulfikar, Kamis (19/1/2023). (*)