Duel Panas Elon Musk vs Donald Trump: Ancaman yang Mengguncang NASA dan ISS

Kuatbaca - Ketegangan antara Elon Musk dan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memanas. Kali ini, pertikaian mereka tak hanya menciptakan drama politik di jagat maya, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran besar bagi dunia antariksa. Bahkan, NASA dan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) nyaris terdampak serius akibat perseteruan dua tokoh besar ini.
Awal Mula Ketegangan: Serangan dari Trump
Perseteruan ini bermula dari sebuah unggahan Donald Trump di platform media sosial miliknya, Truth Social. Dalam pernyataannya, Trump melontarkan kritik tajam terhadap besarnya dana pemerintah yang mengalir ke bisnis Elon Musk. Ia menyebut bahwa cara paling mudah untuk menghemat anggaran negara adalah dengan memangkas subsidi dan kontrak pemerintah yang diterima oleh perusahaan-perusahaan milik Musk, seperti SpaceX dan Tesla.
Pernyataan Trump itu sontak memicu reaksi keras dari Musk, yang selama ini dikenal memiliki relasi naik-turun dengan mantan Presiden tersebut. Meski sebelumnya mereka terlihat berada dalam satu kubu dalam berbagai isu politik dan teknologi, pernyataan Trump kali ini menjadi titik balik yang memperkeruh hubungan mereka.
Musk Balas Mengancam: Dragon Siap Dipensiunkan
Tak tinggal diam, Elon Musk langsung membalas pernyataan Trump melalui akun media sosial X (sebelumnya Twitter). Dalam tanggapannya, ia secara terbuka mengancam akan menghentikan operasional kapsul luar angkasa Dragon milik SpaceX. Kapsul ini merupakan andalan utama NASA dalam mengirimkan astronaut dan suplai logistik ke Stasiun Luar Angkasa Internasional.
"Jika kontrak kami dibatalkan, kami akan memensiunkan pesawat luar angkasa Dragon," tulis Musk dalam unggahannya yang turut menampilkan tangkapan layar dari pernyataan Trump.
Ancaman tersebut sontak menimbulkan kegelisahan di kalangan komunitas ilmiah dan antariksa. Bagaimana tidak? Saat ini, SpaceX adalah satu-satunya perusahaan swasta yang mampu menjalankan misi berawak secara reguler ke ISS. Ketergantungan NASA terhadap kapsul Dragon sangat tinggi, apalagi sejak mereka tak lagi menggunakan roket Soyuz milik Rusia.
Drama yang Mereda, Tapi Dampaknya Terasa
Meski unggahannya kemudian dihapus, dan Musk menyatakan telah berubah pikiran setelah menerima masukan dari pengguna X untuk “tenang dulu selama beberapa hari”, bayangan ancaman itu tetap membekas. Musk mengatakan bahwa SpaceX tidak jadi menghentikan operasional Dragon, tetapi sempatnya ancaman itu muncul menunjukkan betapa rapuhnya ketergantungan NASA pada satu pihak swasta.
NASA sendiri belum memiliki pengganti kapsul Dragon yang sepenuhnya bisa diandalkan. Proyek Boeing Starliner, yang selama ini diharapkan menjadi alternatif, masih belum terbukti mampu menjalankan misi dengan tingkat keberhasilan yang konsisten. Tanpa Dragon, praktis NASA akan mengalami kebuntuan akses terhadap ISS, baik untuk rotasi awak maupun pengiriman suplai penting.
Selama bertahun-tahun, NASA telah menjadi salah satu mitra terbesar SpaceX. Lembaga antariksa Amerika ini telah menginvestasikan dana tak kurang dari USD 15 miliar untuk mendukung pengembangan teknologi peluncuran dan misi luar angkasa SpaceX. Sementara itu, bisnis Musk secara keseluruhan—termasuk Tesla—telah menerima lebih dari USD 38 miliar dalam bentuk kontrak, subsidi, pinjaman, dan insentif pajak dari pemerintah AS.
Fakta ini menambah lapisan kompleks dalam konflik antara Musk dan Trump. Di satu sisi, perusahaan Musk berkembang pesat berkat dukungan negara. Di sisi lain, Trump kini mengusulkan agar semua dukungan itu dihentikan, yang tentu akan mengguncang fondasi bisnis Elon Musk yang sangat tergantung pada proyek-proyek strategis bersama pemerintah.
Meskipun perseteruan ini tampak seperti drama personal dua tokoh dengan ego besar, dampaknya jauh lebih luas. Ketika ancaman Musk sempat mengguncang ISS, publik mulai menyadari betapa rapuhnya sistem kemitraan luar angkasa Amerika jika hanya bergantung pada satu entitas swasta. Ini menjadi pengingat bahwa investasi dan strategi jangka panjang harus mencakup diversifikasi mitra serta kesiapan menghadapi potensi konflik di luar aspek teknis.
Pada akhirnya, pertikaian ini menyiratkan bahwa masa depan antariksa bukan hanya soal teknologi, melainkan juga diplomasi dan kebijakan publik yang cerdas. Apakah pemerintah akan mencari alternatif baru? Ataukah drama Musk dan Trump hanya akan menjadi babak baru dalam kisah panjang tarik-menarik kepentingan antara negara dan pengusaha?
Yang pasti, insiden ini memberi pelajaran penting: eksplorasi luar angkasa bukan sekadar urusan sains, tapi juga permainan kekuasaan di balik layar.