MUI: Potensi Perbedaan Awal Puasa Ramadan 2025, Namun Lebaran Dipastikan Bersama

28 February 2025 10:44 WIB
ketua-majelis-ulama-indonesia-mui-bidang-dakwah-dan-ukhuwah-muhammad-cholil-nafis-belia-detikcom_169.jpeg

Kuatbaca.com - Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melakukan berbagai persiapan dalam menyambut bulan Ramadan 2025. Dalam pernyataannya, Ketua MUI Bidang Dakwah, Cholil Nafis, mengungkapkan bahwa ada potensi perbedaan dalam menentukan awal puasa Ramadan antara Pemerintah Indonesia dan Muhammadiyah pada tahun 2025. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam cara melihat hilal atau bulan sabit sebagai penentu awal Ramadan. Meskipun demikian, Cholil Nafis memastikan bahwa Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah akan dilaksanakan pada tanggal yang sama oleh seluruh umat Islam di Indonesia.

Menurut MUI, perbedaan ini kemungkinan besar terjadi karena adanya perbedaan metode dalam melihat hilal antara pemerintah dan organisasi seperti Muhammadiyah. Cholil Nafis menambahkan bahwa meskipun ada potensi perbedaan pada awal puasa, semua pihak telah sepakat bahwa Hari Raya Idul Fitri akan dirayakan secara bersama-sama, tanpa ada perbedaan.

1. Potensi Perbedaan Awal Puasa: Imkanurru'yah dan Kriteria MABIMS

Cholil Nafis menjelaskan lebih lanjut bahwa pada 28 Februari 2025, kriteria imkanurru'yah di Indonesia hanya bisa terpenuhi di Aceh. Imkanurru'yah adalah kondisi di mana hilal dapat terlihat dengan jelas pada posisi tertentu. MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) telah menetapkan bahwa hilal harus memiliki ketinggian minimal 3 derajat dengan elongasi atau sudut antara bulan dan matahari mencapai 6,4 derajat untuk memenuhi syarat.

Menurut MUI, pada akhir bulan Syakban, 28 Februari, tinggi hilal di Jakarta sudah mencapai 4 derajat dengan elongasi 6,02 derajat. Namun, kriteria MABIMS untuk melihat hilal adalah tinggi 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat. Sementara itu, di beberapa wilayah lainnya seperti Jawa Timur, ketinggian hilal masih berada di bawah kriteria yang telah ditetapkan, sehingga mempengaruhi kemungkinan perbedaan dalam penentuan awal puasa.

2. Penyebab Potensi Perbedaan: Kondisi Rukyah di Wilayah Indonesia

Penting untuk dicatat bahwa tidak semua wilayah di Indonesia memiliki kondisi yang sama dalam melihat hilal. Cholil Nafis menyebutkan bahwa di beberapa wilayah, terutama di bagian timur Indonesia, seperti Jawa Timur dan daerah sekitarnya, kondisi untuk melakukan rukyah (pemantauan hilal) sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti cuaca, geografis, dan atmosfer yang mempengaruhi visibilitas hilal. Oleh karena itu, meskipun pemerintah dan Muhammadiyah sama-sama mengikuti kriteria MABIMS, hasil rukyah yang dilakukan di daerah-daerah tertentu bisa jadi berbeda.

Namun demikian, MUI juga menegaskan bahwa keputusan akhir tetap harus didasarkan pada hasil rukyah yang sah dan diterima secara luas. Jika rukyah di Aceh menghasilkan bukti yang jelas mengenai hilal, maka awal puasa Ramadan akan dimulai pada 1 Maret 2025. Namun jika tidak ada hasil yang memadai, maka bulan Sya'ban akan digenapkan menjadi 30 hari, dan puasa baru akan dimulai pada 2 Maret 2025.

3. Kesepakatan Bersama tentang Hari Raya Idul Fitri

Meskipun ada potensi perbedaan dalam penentuan awal puasa, Cholil Nafis menegaskan bahwa Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah dipastikan akan jatuh pada tanggal yang sama bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Hal ini merupakan hasil kesepakatan yang telah dicapai oleh MABIMS dan diikuti oleh berbagai organisasi Islam di Indonesia, termasuk Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Menurut keterangan Cholil Nafis, meskipun awal Ramadan dapat dimulai pada tanggal yang berbeda, proses Ijtimak atau pemantauan hilal pada akhir Ramadan akan menghasilkan kesepakatan yang sama mengenai tanggal 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri. Dengan demikian, umat Islam di seluruh Indonesia dapat merayakan Idul Fitri bersama tanpa adanya perbedaan dalam penentuan tanggal.

Fenomena Terkini






Trending